Media massa yang dimiliki atau dikontrol oleh pihak-pihak tertentu sering kali digunakan untuk mendiskreditkan lawan politik dan memperkuat posisi calon yang mereka dukung.
Selain itu, dalam konteks Pilkada, manipulasi kesadaran massa rakyat juga sering kali dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan sosial. Misalnya, kegiatan bakti sosial, bantuan langsung tunai, hingga kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan.Â
Dalam beberapa kasus, praktik-praktik seperti ini bahkan mendekati politik uang, di mana bantuan atau hadiah diberikan dengan harapan mendapatkan dukungan suara. Fenomena ini kemudian tampak nyata dalam praktik politik yang disebut patronase dan klientilisme.
Politik Uang, Patronase dan Klientilisme Politik Elektoral
Merujuk pada pengelaman penyelenggaraan Pilkada tahun 2020, berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), bahwa politik uang sangat marak terjadi. LSI mencatat bahwa 21,9% responden di wilayah Pilkada 2020 mengaku pernah satu atau dua kali ditawari uang atau barang untuk memilih calon gubernur tertentu (https://databoks.katadata.co.id, 2020).
Selain itu, 4,7% responden menyatakan bahwa mereka beberapa kali ditawari uang atau barang untuk memilih calon gubernur tertentu. Dan diantara 22,7% responden di wilayah Pilkada 2020 melaporkan pernah ditawari uang atau barang untuk memilih calon bupati atau wali kota tertentu. Sebanyak 5,7% responden mengaku beberapa kali menerima tawaran serupa (https://databoks.katadata.co.id, 2020).
Praktik politik uang dan atau tukar tambah suara dengan bantuan atau hadiah, memvalidasi fragmen politik patronase dan klientilisme yang secara kultural politis-ekonimi sebagai implikasi dari keberlangsunga politik dinasti.
Penelitian oleh Yuliartiningsih dan Adrison (2022) menunjukkan bahwa dari 508 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada antara 2017-2020, sebanyak 247 wilayah (48,6 persen) terindikasi memiliki dinasti politik. Tingkat kemenangan kandidat dari dinasti politik juga sangat signifikan, dengan 69 persen dari kandidat tersebut berhasil memenangkan pemilihan di 170 dari 247 wilayah yang terindikasi dinasti politik. Hal ini menunjukkan bahwa dinasti politik semakin menguat dalam konteks Pilkada, menjadi sebuah pola yang semakin mapan dan terlegitimasi dalam arena elektoral (Apriandi, 2024).Â
Widdy Apriandi (2024) dalam artikelnya berjudul Menyambut Pilkada: Dinasti Politik dan Klientelisme (Kompas.com, 26 Maret 2024) menjelaskan bahwa keberadaan dinasti politik ini memiliki implikasi yang luas terhadap patronase, klientelisme, dan korupsi.Â
Dinasti politik cenderung memperkuat jaringan patronase, di mana hubungan antara pemimpin dan pengikut didasarkan pada pemberian patronase atau dukungan material sebagai imbalan atas loyalitas politik. Klientelisme, di mana pemilih diberikan keuntungan material langsung sebagai imbalan atas dukungan politik mereka, juga sering kali terjadi dalam konteks ini.
Kemudian implikasi dari patronase dan klientelisme adalah peningkatan risiko korupsi, terutama dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemimpin yang terpilih melalui jaringan dinasti politik mungkin merasa terikat untuk memberikan imbalan kepada para pendukung mereka, yang sering kali dilakukan melalui penyalahgunaan dana publik.Â
Korupsi ini pada akhirnya berdampak negatif terhadap pembangunan daerah dan memperburuk kondisi kemiskinan masyarakat. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan  dan layanan publik sering kali dialihkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan daerah.