Mohon tunggu...
Hen AjoLeda
Hen AjoLeda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Koalisi Nano-nano Pilkada 2024

24 Mei 2024   01:06 Diperbarui: 31 Mei 2024   07:04 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Koalisi partai jelang pilkada. (Sumber gambar: KOMPAS/Supriyanto)

Pembentukan koalisi partai politik dalam Pilkada merupakan hal yang tak terhindarkan dan menjadi pilihan yang diperlukan. Partai-partai politik yang ingin mengusung calon kepala daerah biasanya membentuk aliansi dengan partai-partai lain dalam suatu koalisi. 

Hal ini disebabkan oleh tidak adanya satu pun partai politik yang mendapatkan suara mayoritas, sehingga setiap partai harus bekerja sama dengan partai politik lainnya.

Selain karena kekuatan politik yang terbatas, pembentukan koalisi juga diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyatakan bahwa partai politik yang memiliki paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membentuk koalisi. 

Dengan demikian, partai yang memperoleh suara minoritas dapat mengonsolidasikan kekuatan politik agar kandidat yang diusung mendapatkan dukungan lebih besar dan terpilih saat pilkada.

Pilihan dalam pembentukan koalisi selanjutnya berimplikasi terhadap pola dan konfigurasi koalisi yang terbentuk. Salah satu pola konfigurasi koalisi partai politik yang menonjol adalah "koalisi nano-nano". 

Pola koalisi nano-nano merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan koalisi yang sangat bervariasi dan beragam, terdiri dari partai-partai dengan ideologi yang berbeda, baik nasionalis maupun religius. Pola koalisi ini cenderung pragmatis dan kontekstual, dibentuk bukan berdasarkan kesamaan visi dan misi, tetapi lebih kepada upaya meraih kemenangan elektoral. (Nurhasim, 2018).

Sejumlah pengamat politik berargumen bahwa, munculnya pola koalisi nano-nano dalam Pilkada dikarenakan ketidakmampuan partai politik dalam membangun koalisi partai politik yang sama di daerah dalam Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, dengan format koalisi di tingkat pusat atau nasional (Aditya Perdana, 2024).

Ketidakmampuan tersebut terbentur oleh berbagai faktor, diantaranya: Pertama, dinamika politik dan kepentingan lokal. Salah satu alasan utama ketidakselarasan koalisi antara nasional dan daerah adalah dinamika politik dan kepentingan lokal yang sangat berbeda. 

Di tingkat nasional, partai-partai politik cenderung membentuk koalisi berdasarkan ideologi dan platform politik yang lebih luas dan terstruktur. Koalisi di tingkat nasional sering kali didasarkan pada upaya untuk mencapai stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif, serta memenuhi agenda kebijakan nasional yang komprehensif.

Namun, di tingkat daerah, dinamika politik cenderung lebih dipengaruhi oleh kepentingan lokal yang spesifik. Faktor-faktor seperti pengaruh tokoh lokal, basis massa, dan isu-isu regional sering kali menjadi pertimbangan utama dalam pembentukan koalisi. 

Partai-partai politik di daerah cenderung lebih fleksibel dan pragmatis dalam membentuk koalisi, dengan tujuan utama memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) dan mengamankan posisi kekuasaan di pemerintahan lokal. 

Akibatnya, koalisi di tingkat daerah sering kali berbeda dengan koalisi di tingkat nasional, karena harus menyesuaikan diri dengan realitas politik dan kepentingan lokal yang unik.

Kedua, strategi elektoral dan kalkulasi kolitik. Faktor lain yang menyebabkan ketidakselarasan koalisi antara nasional dan daerah adalah strategi elektoral dan kalkulasi politik yang berbeda. Di tingkat nasional, partai-partai politik memiliki cakupan yang lebih luas dan harus mempertimbangkan dampak kebijakan dan keputusan politik pada seluruh wilayah negara. 

Koalisi di tingkat nasional sering kali dibentuk dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang dan stabilitas pemerintahan, sehingga partai-partai cenderung berkoalisi dengan partai-partai yang memiliki visi dan misi yang sejalan.

Sebaliknya, di tingkat daerah, strategi elektoral cenderung lebih berfokus pada hasil jangka pendek dan kemenangan dalam pilkada. Partai-partai politik di daerah lebih fleksibel dalam memilih mitra koalisi, bahkan jika mitra tersebut memiliki ideologi yang berbeda atau bertentangan di tingkat nasional. 

Keputusan untuk berkoalisi di tingkat daerah sering kali didasarkan pada kalkulasi politik yang pragmatis, seperti potensi kemenangan, popularitas calon, dan distribusi basis pemilih. Dengan demikian, ketidakselarasan antara koalisi nasional dan daerah menjadi hal yang biasa terjadi.

Ketiga, pengaruh tokoh lokal dan dinasti politik. Pengaruh tokoh lokal dan dinasti politik juga memainkan peran penting dalam pembentukan koalisi di tingkat daerah. Di banyak daerah, tokoh-tokoh lokal yang karismatik dan memiliki basis massa yang kuat dapat mempengaruhi arah koalisi partai politik. 

Tokoh-tokoh ini sering kali menjadi penentu dalam pembentukan koalisi, karena dukungan mereka dapat memberikan keuntungan elektoral yang signifikan.

Dinasti politik juga menjadi faktor yang mempengaruhi ketidakselarasan koalisi. Di beberapa daerah, keluarga atau kelompok tertentu memiliki pengaruh politik yang dominan dan mampu mengarahkan pembentukan koalisi sesuai dengan kepentingan mereka.

Pengaruh tokoh lokal dan dinasti politik ini sering kali menyebabkan partai-partai politik di daerah memilih untuk berkoalisi dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan pengaruh lokal, meskipun hal ini tidak selaras dengan koalisi di tingkat nasional.

Sejumlah faktor tersebut yang kemudian membentuk pola koalisi nano-nano di daerah yang hampir tidak sama persis baik antara Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur, Pilkada Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota maupun dengan koalisi nasional, pada akhirnya membawa beberapa implikasi penting dalam konteks demokrasi lokal.

Salah satu implikasinya adalah munculnya kompetisi yang tidak sehat dalam intra koalisi sendiri. Pola koalisi yang muncul cenderung lebih pada ukuran jumlah partai dan kursi partai sebagai konsekuensi syarat mengusung calon yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2016. 

Aturan itu menyebabkan bukan saja koalisi nano-nano, tetapi juga koalisi mayoritas mutlak manakala ada kombinasi unsur dinasti politik dan ancaman elektabilitas calon yang tinggi sehingga tidak ada calon alternatif lain untuk maju (Nurhasim, 2018).

Campuran koalisi yang tidak sama atau linear dalam pilkada, kemudian watak dan karakter koalisi dibentuk atas dasar pragmatisme dan bukan kesamaan ideologi atau program, sering kali terjadi friksi dan perselisihan di dalam koalisi, yang pada akhirnya dapat menghambat proses pemerintahan yang efektif.

Pilkada serentak yang diharapkan dapat membawa sinergi justru berjalan secara terpisah dan terfragmentasi. Koordinasi yang buruk antara berbagai tingkatan pemilihan membuat potensi kerjasama antar kandidat dari partai yang sama tidak optimal. 

Selain itu, pola ini juga dapat menghambat proses kaderisasi dalam partai politik. Dengan fokus pada kemenangan jangka pendek, partai-partai cenderung mengabaikan pentingnya membangun kader yang memiliki visi dan komitmen jangka panjang. Hal ini dapat berdampak negatif pada kualitas demokrasi dan kepemimpinan politik di masa depan

Prospek Koalisi Nano-Nano dalam Pilkada 2024

Menjelang Pilkada 2024, tanda-tanda pembentukan koalisi nano-nano masih sangat kuat. Kondisi politik yang tidak stabil, ditambah dengan dinamika elektabilitas calon yang selalu berubah, membuat partai-partai besar kemungkinan akan kembali memilih strategi koalisi nano-nano. 

Terlebih lagi, dengan semakin mahalnya biaya politik dan meningkatnya persaingan, partai-partai akan lebih cenderung mencari jalan pintas untuk meraih kemenangan.

Bahwasannya, gagasan agar ada pola koalisi pemerintahan dalam sistem presidensiil relatif sama dan sebagun dengan koalisi di tingkat pusat, tampaknya tidak terjadi. Polanya berserakan, tidak linear, dan sangat variatif serta bercampur aduk.

Aditya Perdana (dalam Kompas, 18 Mei 2024) menjelaskan bahwa format koalisi yang sama dan sebagun (linier) antara nasional dan daerah sulit untuk terwujud. Koalisi yang liner kurang relevan karena adanya perbedaan konstelasi politik di tingkat nasional dan daerah. 

Menurutnya, sulit untuk merealisasikan koalisi permanen di semua daerah karena kekuatan politik dan hasil pemilu yang relatif tidak sejalan antara tingkat nasional dan daerah (Kompas.id, 18 Mei 2024).

Analisis Litbang Kompas pada 18 Mei 2024, menunjukkan kekuatan KIM di enam provinsi di Jawa, hasilnya menunjukkan bahwa partai-partai yang tergabung dalam KIM tidak mampu mendominasi mayoritas kursi di DPRD Provinsi. Di Banten, KIM memiliki kekuatan paling tinggi dengan 49% kursi DPRD. 

Namun, di Jawa Tengah, kekuatan KIM hanya mencapai 41,7% kursi, yang merupakan pencapaian terendah di wilayah tersebut.

Sebaliknya, partai-partai politik di luar KIM justru memiliki kekuatan yang lebih besar di DPRD Provinsi. Misalnya, di Jawa Tengah, partai-partai di luar KIM menguasai 58,3% kursi DPRD. Bahkan di DI Yogyakarta, meskipun tidak ada pemilihan kepala daerah langsung, partai-partai di luar KIM menguasai 63,6% kursi DPRD.

Beberapa partai politik memiliki cukup kursi untuk mengajukan pasangan calon tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain. PDI-P di Jawa Tengah dan PKB di Jawa Timur adalah contoh partai yang memiliki kemampuan ini, dengan PDI-P menguasai 25% kursi di DPRD Jateng dan PKB menguasai 22,5% kursi di DPRD Jatim.

Sosok calon kepala daerah yang diusung menjadi faktor penting dalam menentukan koalisi di pilkada. Di Jawa Tengah, beberapa nama calon gubernur yang muncul antara lain Ketua DPD PDI-P Jateng Bambang Wuryanto, mantan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, dan Ketua DPD Partai Gerindra Jateng Sudaryono. 

Selain itu, ada juga nama kader Partai Golkar, Bupati Kendal Dico M Ganinduto, yang dikabarkan akan maju bersama artis Raffi Ahmad sebagai calon wakil gubernur. Nama Kapolda Ahmad Luthfi juga beredar sebagai calon potensial.

Relasi politik yang "dingin" antara PDI-P dan Presiden Jokowi, yang mulai terlihat sejak pemilihan presiden lalu, berpotensi menjadikan Pilkada Jawa Tengah sebagai arena pertarungan pengaruh antara kedua kekuatan ini. Pengaruh Jokowi akan diuji jika sosok yang ia dukung berlaga secara resmi dalam Pilkada Jateng 2024.

Di provinsi lain seperti Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur, ada peluang bagi petahana untuk maju kembali. Nama-nama seperti mantan Gubernur Banten Wahidin Halim, mantan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan muncul sebagai calon kuat.

Di Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa memiliki peluang kuat untuk maju kembali, didukung oleh partai-partai dalam KIM seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN. 

Namun, PKB juga berencana mengusung KH Marzuki Mustamar, yang bisa memicu kompetisi sengit di kalangan pemilih Nahdliyin (Kompas.id, 18 Mei 2024).

Dengan demikian, meskipun masih cukup waktu hingga pendaftaran calon resmi masih cukup yang panjang, taktik dan strategi partai politik dalam menyusun formasi koalisi tentunya akan berkembang dan berubah dalam beberapa bulan ke depan, sesuai dengan perkembangan dan perubahan dinamika politik.

Koalisi nano-nano, meski menjadi strategi yang dapat memberikan kemenangan elektoral dalam jangka pendek, namun mencerminkan gambaran pragmatisme partai politik di Indonesia. Watak partai politik semacam ini tentunya akan memiliki implikasi terhadap kualitas demokrasi dan pemerintahan lokal. 

Menghadapi Pilkada 2024, partai politik perlu mengevaluasi kembali strategi koalisi, dengan fokus pada pembangunan visi jangka panjang dan kaderisasi yang kuat. 

Dengan demikian, diharapkan proses demokrasi lokal dapat berjalan lebih sehat dan efektif, serta menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen untuk kepentingan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun