Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wacana Penambahan Kementerian: Antara Kebutuhan atau Kepentingan Politik?

8 Mei 2024   18:29 Diperbarui: 8 Mei 2024   18:29 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana Penambahan Kementerian: Antara Kebutuhan atau Kepentingan Politik?

Wacana penambahan jumlah kementerian dari 34 menjadi 41, seperti yang diusulkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pakar politik di Indonesia.

Penambahan kementerian Kabinet Prabowo-Gibran dipandang sebagai langkah yang diperlukan untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks ke depan. Pengelolaan program-program yang lebih luas dan kompleks membutuhkan struktur pemerintahan yang lebih fleksibel dan responsif. Dengan adanya kementerian tambahan, diharapkan pemerintah dapat lebih efisien dalam menjalankan program-programnya (https://www.kompas.id, 5 Mei 2024).

Menurut tim pengkaji APHTN-HAN, tidak semua urusan pemerintahan yang disebutkan dalam UUD 1945 diatur dalam UU Kementerian Negara. Selain itu, jumlah kementerian yang ada saat ini belum mencukupi untuk menampung semua urusan pemerintahan yang disebutkan dalam UUD 1945. Beberapa kementerian yang belum tercakup meliputi Kementerian Pangan Nasional, Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara, Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar, serta Kementerian Kebudayaan (https://www.kompas.id, 5 Mei 2024).

Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa penambahan kementerian akan membawa dampak negatif, terutama dalam hal biaya dan potensi korupsi. Beberapa pihak berpendapat bahwa penambahan ini akan meningkatkan beban fiskal negara, mengingat setiap kementerian memerlukan anggaran tersendiri untuk operasionalnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, misalnya, menilai bahwa penambahan jumlah kementerian hanya akan memperbesar ceruk terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini karena dengan semakin banyaknya kementerian, maka akan semakin banyak pula peluang untuk praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang (https://www.cnnindonesia.com, 8 Mei 2024).

Perdebatan ini semakin memanas karena mensyaratkan perubahan dalam peraturan-peraturan yang ada. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, misalnya, membatasi jumlah kementerian hingga maksimal 34. Oleh karena itu, perubahan undang-undang diperlukan agar penambahan jumlah kementerian menjadi 41 dapat dilaksanakan secara sah. Proses perubahan undang-undang ini tentu memerlukan waktu dan diskusi yang lebih mendalam di tingkat legislatif (https://www.kompas.com, 8 Mei 2024).

Kebutuhan atau Kepentingan Politik?

Namun, di balik perdebatan ini, terdapat dimensi politik yang tidak dapat diabaikan. Wacana penambahan kementerian bisa saja menjadi alat politik bagi pemerintah terpilih untuk memperluas basis politiknya. Dengan memberikan posisi kementerian kepada partai koalisi atau kelompok tertentu, pemerintah Prabowo-Gibran dapat memperoleh dukungan politik yang lebih luas.

Pasalnya, dalam beberapa pekan belakangan terjadi perebutan soal jatah kursi menteri yang perlu diisi oleh partai-partai koalisi, termaksuk kursi menteri untuk partai politik yang bergabung setelah Pemilihan Presiden 2024 usai, yakni Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (https://majalah.tempo.co, 5 Mei 2024).

Dengan demikian, polemik terkait wacana penambahan jumlah kementerian semakin memperkuat dugaan adanya motif dan kepentingan politik di balik perdebatan tersebut. Perebutan jatah kursi menteri ini semakin memperjelas bahwa penambahan jumlah kementerian tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan kebutuhan dan efisiensi pemerintahan, melainkan juga untuk mengakomodasi kepentingan politik partai-partai pendukung. 

Dengan memberikan jatah kursi menteri kepada partai-partai koalisi, pemerintah dapat memperoleh dukungan politik yang lebih luas dan memperkuat koalisi pendukungnya.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keputusan pemerintah dalam menambah jumlah kementerian lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek daripada pertimbangan kebutuhan nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien. 

Pembagian jatah kursi menteri dapat menjadi ajang perebutan kekuasaan dan sumber daya di antara partai-partai koalisi, dengan mengesampingkan prioritas pembangunan nasional yang seharusnya menjadi tujuan utama.

Praktik seperti ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika keputusan pemerintah dipengaruhi oleh kepentingan politik semata, maka tujuan utama untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dan melayani kepentingan rakyat dapat terganggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun