Mohon tunggu...
Hen AjoLeda
Hen AjoLeda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Program Penanggulangan Kemiskinan Prabowo-Gibran: Ambisi atau Basa-Basi?

8 Mei 2024   14:34 Diperbarui: 8 Mei 2024   15:04 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://nasional.kompas.com

Program Penanggulangan Kemiskinan Prabowo-Gibran: Ambisi atau Basa-Basi?

Kemiskinan seperti momok yang menakutkan, lantaran karena masih sekitar 11,74 juta orang perkotaan, dan sekitar 14,16 juta orang pedesaan yang miskin, atau sekitar 25,9 juta orang indonesia yang tinggal di kota dan desa yang hidup dalam kemiskinan.

Walaupun masih menjadi momok, pemerintah bertepuk dada soal tren kemiskinan yang katanya menurun, meski pelan dan melambat.

Data BPS menunjukkan, persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2023 sebesar 7,29 persen, menurun dibandingkan September 2022 yang sebesar 7,53 persen.

Sementara itu, persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2023 sebesar 12,22 persen, menurun dibandingkan September 2022 yang sebesar 12,36 persen (bps.go.id, 2024).

Seiring dengan penurunan tren angka kemiskinan, janji-janji heroik Capres-Cawapres terpilih-Prabowo-Gibran soal taktik multi bentuk untuk menurunkan tren kemiskinan bergema dengan sumbringah.

Pasangan nomor 2 itu, menargetkan akan menurunkan tingkat kemiskinan hingga menargetkan 6 persen di tahun 2029 dan kemiskinan ekstrem lenyap di tahun 2026.

Obsesi heroik Prabowo-Gibran dalam menurunkan angka kemiskinan perlu diapresiasi, namun menurut orang-orang yang mafhum dengan soal kebijakan kemiskinan, bilangnya terlalu ambisius dan tidak realistis.

Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir (2013-2023) penurunan tingkat kemiskinan hanya sekitar 2 point persen atau sekitar 1 point persen per lima tahun atau 0,2 poin persen per tahun (kompas.id, 16 Januari 2024).

Maka jika taktik multi bentuk program penurunan kemiskinan Prabowo-Gibran masih sama dengan program pemerintahan saat ini, itu berarti target penurunan kemiskinan yang ambisius di tahun 2029 yang digembar-gemborkan oleh mereka tidak dapat tercapai.

Bila menengok pendekatan dan strategi Prabowo-Gibran untuk menekan angka kemiskinan secara drastis, kita menemukan ada kesamaan rupa dengan program pemerintahan Joko Widodo, meskipun dengan polesan narasi yang berbeda.

Program pendekatan dan strategi Prabowo-Gibran untuk menekan angka kemiskinan yakni dengan menguatkan sinergi program sosial yang masing tersebar di sejumlah kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah (kompas.id, 16 Januari 2024).

Mereka juga akan melanjutkan program sosial dan kartu-kartu kesejahteraan sosial, seperti PHK, dana desa, subsidi pupuk, MEKAR, kartu usaha dan kartu bantuan pangan nontunai. Menyediakan transportasi publik murah bagi pekerja rakyat tidak mampu (kompas.id, 16 Januari 2024).

Obsesi heroik Prabowo-Gibran dalam menurunkan angka kemiskinan dianggap sulit tercapai karena mereka hanya mengandalkan program-program bantuan sosial (Kompas.id, 31 Oktober 2023; Tempo.com, 22 Desember 2023). Pandangan ini tidak terlepas dari "ilusi" program bansos yang sudah-sudah.

Alih-alih hendak menanggulangi kemiskinan, bansos menjadi pilihan untuk memperbaiki, hasilnya mudah diprediksi, bansos hanya mampu mengeluarkan seseorang dari dalam lingkaran kemiskinan untuk sementara waktu, namun kemudian kembali tergelincir ke dalam lingkaran kemiskinan.

Sejumlah riset juga mengkonfirmasi hal tersebut bahwa masyarakat penerima program bansos cenderung resisten untuk berupaya merawat kemiskinan agar terus menerima bantuan (Cima, et all, 2018; Ngea, 2023).

Saya sepakat dengan hasil riset para pakar yang mengatakan bansos itu tidak mencerdaskan dan tidak memberdayakan, faktanya memang demikian. Pengalaman empirik di lapangan, bansos membuat masyarakat menggantungkan harapan pada bantuan pemerintah atau pihak luar.

Pengalaman lain juga mengejutkan, ketika saya hendak berkegiatan ke desa bersama mahasiswa atau untuk pendampingan pengabdian masyarakat, hal berikut yang ditanyakan oleh masyarakat yang mungkin pernah "keenakan" menerima bansos adalah "kalian datang bawa uang atau tidak"?

Saya kira pertanyaa masyarakat desa semacam ini merupakan dampak dari program bansos yang terus diawetkan oleh rezim yang sudah-sudah, membuat masyarakat cenderung pragmatis.

Selain itu, bansos mudah dipolitisai, akibat carut marutnya datakrasi yang kebablasan dan koruptif. Sebagaimana ditenggarai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa ada praktik oknum pemerintah daerah, kecamatan, pemeritah desa, yang memanipulasi data penerima bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan politik tertentu (Kompas.com, 10 Mei 2023).

Manipulasi data itu dilakukan oleh oknum dengan memasukkan pendukung atau bahkan tim suksesnya (timses) atau keluarga, teman, kerabat, handai tolannya ke dalam data penerima bansos. Walhasil banyak masyarakat yang benar-benar membutuhkan justru tidak terdaftar ke dalam program bansos.

Dengan demikian penanggulangan kemiskinan melalui bansos atau bantuan tunai sejenisnya ialah dampak, sekaligus kondisi yang diperlukan.

Para pembuat kebijakan menjawab persoalan kemiskinan hanya sekadar sebagai “permasalahan teknis” yang dapat diintervensi dengan“bansos”.

Teknikalisasi kemiskinan pada akhirnya cenderung mengarah pada kegagalan; kemiskinan tidak turun-turun. Masyarakat bergantung pada bansos pemerintah, kemudian masyarakat "beternak" kemiskinan supaya terus mendapat bansos.

Kegagalan pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan malahan membuat cengkeram aparat pemerintah menjadi semakin besar, yang kemudian diikuti dengan gelontoran anggaran yang besar pula. Selain tidak tepat sasaran karena dipolitisasi dan dikorupsi, juga sebagai kondisi yang diperlukan untuk menaikkan citra populis.

Karena itu, selain ambisius, obsesi presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran, juga mungkin hanya sekedar basa-basi, mereka tidak serius mengusir momok kemiskinan yang menakutkan itu.

Jika mereka serius mengusir momok kemiskinan, mereka mestinya juga sensitif dan respek pada aspek relasi kuasa dan ketimpangan struktrual ekonomi-politik, yang melihat pendekatan bansos memiliki masalah utama: tidak menyentuh akar persoalan yang mengkondisikan kemiskinan terjadi, yakni ketimpangan penguasaan alat-alat produksi yang sudah saya ulas pada tulisan tentang: UU Desa dan Tantangan dalam Pembangunan Desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun