Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Tinggi di Indonesia: antara Komodifikasi dan Tuntutan Demokrasi

19 Mei 2024   12:50 Diperbarui: 19 Mei 2024   12:55 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilihat dari tingkat pendidikan, lulusan SMA yang tergolong NEET mencapai 3,57 juta orang, lulusan SMK 2,29 juta orang, lulusan SMP 1,84 juta orang, dan lulusan SD 1,63 juta orang. Lulusan universitas (S1, S2, S3) yang tergolong NEET ada sebanyak 452.713 orang, sedangkan lulusan diploma ada 108.464 orang (https://www.kompas.com, 18 Mei 2024).

Dengan demikian, berdasarkan data di atas menunjukan bahwa, UU Cipta Kerja terbukti tidak mampu mengatasi krisis yang dialami oleh kaum muda, terutama dalam hal ketidakpastian kerja dan kerentanan masa depan. Akibatnya, kaum muda semakin terjerumus dalam ketidakpastian masa depan yang mengkhawatirkan. Kebijakan ekonomi politik yang diimplementasikan melalui UU Cipta Kerja oleh pemerintah, alih-alih memberikan solusi, justru memperpanjang karpet merah bagi barisan pengangguran baik di pedesaan atau perkotaan.

Kontradiksi ini kemudian direspon oleh negara dan para teknokrat dengan mendorong berbagai solusi seperti menjadi wirusaha atau pekerja mandiri, baik di sektor pertanian maupun jasa. Tentu saja ada yang berhasil, namun karena tidak mampu bersaing dalam sistem ekonomi kapitalistik yang kompetitif, selain juga karena perubahan iklim, banyak diantara usaha-usaha kecil dan mikro yang tidak bertahan dan gulung tikar. Mereka yang gagal ini kemudian di cap sebagai pemalas, tidak punya mental dan spirit beriwausaha, tidak tahan banting, tidak inovatif, tidak kreatif dan sebagainya. 

Sebagian dari mereka kemudian menjadi surplus populasi relatif yakni kombinasi antara pengangguran dan proletriat informal baik di pedesaan atau perkotaan, yang hilir-mudik tidak menentu mencari pekerjaan atau melakukan migrasi, baik di desa-kota atau terbang dan berlayar ke luar negeri untuk mencari pekerjaan guna sekedar bertahan hidup.

Dalam pandangan perspektif Marxian surplus populasi relatif sering disebut sebagai tentara cadangan pekerja (populasi terbuang) yaitu para pekerja yang tidak terserap dalam produksi inti kapitalisme (bersifat formal) sehingga mereka mengantri untuk mendapatkan pekerjaan  (Muchtar Habibi, 2016).

Sebagai tentara cadangan pekerja, tentu saja mereka tidak semua dibutuhkan dalam pasar tenaga kerja kapitalis. Mereka dapat dimobilisasi kapan saja oleh kapital untuk menggantikan pekerja aktif yang "memberontak" misalnya menuntut kenaikan upah, demonstrasi dan mogok kerja, atau melakukan tindakan lain yang dianggap mengancam kepentingan pemodal. Dengan demikian, kehadiran tentara cadangan pekerja memberikan fleksibilitas dan kontrol bagi pemilik modal dalam mempertahankan stabilitas upah dan kekuasaan dalam hubungan kerja.

Mereka yang terlempar dari produksi inti kapitalisme kemudian menjadi apa yang disebut Muchtar Habibi sebagai "informal proletariat, yang bertahan hidup dengan bergelut di sektor informal tanpa sarana produksi yang memadai, yang ditandai dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar dalam hal remunerasi, representasi dan perlindungan sosial. Mereka bekerja dalam kondisi terengah-engah untuk sekedang menyambung hidup"(Muchtar Habibi, 2016).

Kesimpulan

Tantangan terbesar dalam pendidikan tinggi di Indonesia adalah keterbatasan akses dan komodifikasi pendidikan. Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi semua warga negara, yang harus dijamin dan dibiayai oleh negara, sehingga akses pendidikan bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat, bukan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan di pasar. 

Pendidikan juga harus berpihak pada rakyat yang berarti pendidikan harus diarahkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan, pintu masuk bagi warga memperoleh kesempatan bekerja dengan upah yang layak, dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat, seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi.

Namun kini lebih menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar. Sebagaimana respon pemerintah bahwa kuliah hanyalah "plihan/tidak wajib dan hanya sekedar kebutuhan tersier". Pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier berarti bersifat mewah dan hanya dapat diakses oleh individu dengan pendapatan tinggi. Dengan demikian statement pemerintah bahwa pendidikan tinggi tidaklah wajib dan hanya kebutuhan tersier, cukup memberi bukti bahwa negara abai terhadap tuntutan pendidikan tinggi sebagai hak bagi semua warga, dan ini bukanlah sebuah rumor atau isapan jempol belaka.

Lalu, manakah partai politik, para celeg dan kandidat capres yang baru saja menebar janji politiknya saat kampanye? Jelas kenaikan harga harga UKT dan biaya pendididakan yang melambung tinggi akibat komodifikasi dan kapitalisasi, membeludaknya anak muda Indonesia yang menganggur dan tidak bekerja, tidak menjalani pendidikan, dan tidak mendapatkan pelatihan, luput dari arena debat pilres dan visi-misi para elit politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun