Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Tinggi di Indonesia: antara Komodifikasi dan Tuntutan Demokrasi

19 Mei 2024   12:50 Diperbarui: 19 Mei 2024   12:55 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://transisi.org

Pendidikan Tinggi di Indonesia: Antara Komodifikasi dan Tuntutan Demokrasi

Aksi protes dan perlawanan mahasiswa menolak kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang dinggap terlalu mahal, menjadi tema yang hangat di beberapa universitas negeri di Indonesia. Protes dan perlawanan tersebut cukup memberi bukti bahwa kapitalisasi dan komodifikasi pendidikan di Indonesia, bukanlah sebuah rumor atau isapan jempol belaka.

Fenomena kapitalisasi dan komodifikasi merupakan bagian dari gejala yang lebih luas, yaitu penyebaran kapitalisme neoliberal atau neoliberalisme. Dalam konteks ini, neoliberalisme dapat dipahami sebagai bentuk ekstrem dari fundamentalisme pasar. Neoliberalisme menekankan penghapusan segala bentuk regulasi yang mengatur kehidupan ekonomi, sehingga menciptakan kondisi di mana mekanisme pasar yang tidak terkendali mendominasi dan memicu situasi "hukum rimba" dalam ekonomi bisnis (Wattimena, 2020).

Argumen bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah menjadi medan pertempuran kepentingan kapitalistik neoliberal dapat ditelisik dalam perjalanan sejarahnya, bahwa pendidikan tinggi telah terperangkap dalam jaringan kepentingan politik dan ekonomi, yang kemudian membentuk relasi antara negara dan lembaga pendidikan. Sebagaimana pendapat Daniel Dakidae (2003) bahwa selama rezim Orde Baru berkuasa lembaga pendidikan dan para ilmuwan telah memberikan dampak besar bagi keberlangsungan  Orde Baru, melalui upaya yang dalam konsep Foucault disebut sebagai “Govenmentality” atau “pendispilinan” tehadap lembaga pendidikan dan ilmuwan. Lembaga-lembaga pendidikan kehilangan otonomi karena dikorbankan untuk suatu kepentingan rezim Orde Baru (Dakidae, 2003).

Sejak era Soeharto, pendidikan tinggi telah digunakan sebagai instrumen untuk memperkuat dominasi rezim. Pasca-gerakan mahasiswa tahun 1978, rezim mulai menerapkan depolitisasi dan demobilisasi di kampus-kampus. Pada dekade 1980-an, di tengah pertumbuhan industri yang pesat, Rezim Militer Soeharto mulai memperkenalkan sejumlah program pendidikan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil yang diperlukan oleh industri. Program Diploma serta Sekolah Teknik Menengah dan Sekolah Menengah Ekonomi Atas merupakan inisiatif awal yang diambil oleh pemerintah untuk menjembatani kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan industri (Suharsih & Ign Mahendra K, 2007). 

Namun, perubahan signifikan dalam kebijakan pendidikan mulai tampak pada dekade 1990-an dengan pengenalan konsep "link and match" oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Wardiman Djojonegoro. Konsep ini mengarahkan pendidikan tinggi agar lebih relevan dengan kebutuhan industri, menciptakan hubungan yang lebih erat antara dunia pendidikan dan pasar kerja (Tajudin Nur, 2009).

Pada tahun 1995, pembentukan World Trade Organization (WTO) menandai babak baru dalam liberalisasi perdagangan global. Pendidikan, yang termasuk dalam sektor jasa yang diliberalisasi oleh WTO, mulai mengalami perubahan signifikan.  Indonesia, di bawah pemerintahan Soeharto, mendukung dan berpartisipasi dalam pendirian WTO melalui pengesahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Langkah ini menegaskan komitmen Indonesia terhadap liberalisasi pendidikan sebagai bagian dari kebijakan global yang lebih luas (Komara, 2004).

Bersamaan dengan keterlibatan dalam WTO, Bank Dunia mulai memperluas pengaruhnya dalam sektor pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1994, Bank Dunia meluncurkan proyek University Research for Graduate Education (URGE), yang kemudian diikuti oleh proyek Development of Undergraduate Education (DUE) dan Quality of Undergraduate Education (QUE) (Suharsih & Ign Mahendra K, 2007). 

Proyek-proyek ini bukanlah bentuk bantuan amal melainkan bagian dari strategi untuk meliberalisasi sektor pendidikan. Selain itu, UNESCO turut serta dengan mensponsori proyek Higher Education for Competitiveness Project (HECP), yang kemudian berevolusi menjadi Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Proyek-proyek ini mengarahkan pendidikan tinggi Indonesia menuju standar global yang lebih kompetitif dan efisien (Tajudin Nur, 2009)

Proses pelepasan tanggung jawab negara dalam pendidikan tinggi semakin nyata pasca reformasi, tercermin dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi tonggak awal dari perubahan ini. Kebijakan ini memberikan otonomi yang lebih besar kepada perguruan tinggi negeri dalam mengelola keuangan dan operasionalnya. Langkah ini diikuti oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003 yang memperkuat kerangka hukum untuk liberalisasi pendidikan (Wahono, 2001).

Lebih lanjut, kebijakan pendidikan tinggi terus berkembang dengan pengesahan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 28/DIKTI/Kep/2002 tentang penyelenggaraan program non-reguler di perguruan tinggi negeri. Kebijakan ini memungkinkan PTN untuk menawarkan program studi yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan pasar (Tajudin Nur, 2009).

Pada tahun 2005, PP No. 23 mengatur penerapan pola keuangan Badan Layanan Umum (BLU) di PTN, yang memberikan fleksibilitas lebih dalam pengelolaan keuangan dan mendorong efisiensi berbasis kinerja. Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2005 tentang Subsidi Silang Biaya Operasional Pendidikan Tinggi memperkenalkan sistem subsidi silang untuk mendukung operasional PTN. PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan semakin memperjelas komitmen pemerintah terhadap pendekatan baru dalam pendanaan pendidikan tinggi.

Meskipun Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tahun 2009 dibatalkan setelah mendapat banyak perlawanan, upaya liberalisasi pendidikan terus berlanjut. Pengesahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU DIKTI) dan peraturan turunannya, seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT), menunjukkan arah kebijakan yang konsisten. Kebijakan-kebijakan ini mendorong PTN untuk mengadopsi sistem pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel, otonom, mandiri dan berbasis kinerja (Subkhan & Panimbang, 2009)

Transformasi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia sejak era Soeharto hingga reformasi mencerminkan perubahan paradigma yang signifikan. Dari pendekatan yang berfokus pada penyediaan tenaga kerja terampil untuk industri, kebijakan pendidikan tinggi telah beralih menuju liberalisasi dan efisiensi. Proyek-proyek internasional dan kebijakan nasional yang mengiringinya menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menyesuaikan sistem pendidikan tinggi Indonesia dengan standar global.

Namun, liberalisasi pendidikan tinggi ini juga menimbulkan berbagai tantangan. Otonomi dan fleksibilitas yang diberikan kepada PTN di satu sisi dapat meningkatkan efisiensi dan relevansi pendidikan, namun di sisi lain juga dapat meningkatkan beban biaya pendidikan bagi mahasiswa.

Pada era Presiden Jowidodo, Kemendikbudristek mendorong perguruan tinggi negeri untuk bertransformasi menjadi PTN-BH. Hal tersebut sesuai dengan kebijakan Kampus Merdeka yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (https://www.arahjuang.com, 2020).

Sebanyak 21 kampus negeri di Indonesia menyandang status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum atau PTN-BH hingga kini. Dari deretan kampus tersebut, sebanyak lima di antaranya pada 20 Oktober 2022 baru ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. Salah satu kebijakan yang nampak mencolok kapitalistik era Jokowidodo adalah UU Cipta Kerja, khususnya dalam paragraf 12 yang membahas pendidikan dan kebudayaan di pasal 65, menetapkan bahwa perizinan di sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan usaha (https://www.arahjuang.com, 2020).

Hal ini mendorong perguruan tinggi untuk beralih ke model corporate university (PTN-BH), yang menuntut mereka menjadi lebih mandiri dan kompetitif. Dengan regulasi ini, kemudian perguruan tinggi diberikan keleluasaan untuk mencari dana sebesar-besarnya dari masyarakat atau melalui kerjasama dengan pihak swasta, dengan alasan berkurangnya anggaran dari negara.

Konsekuensi dari regulasi ini adalah peningkatan biaya pendidikan secara konsisten setiap tahunnya, yang didorong oleh praktik komersialisasi dan privatisasi. Riset dan aktivitas akademik semakin dikomodifikasi, dengan fokus pada hilirisasi penelitian dan kerjasama dengan korporasi. Metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan juga mengalami manufakturisasi dengan program Kampus Merdeka (https://www.arahjuang.com, 2020).

Hampir empat tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan, investasi dan kemudahan bisnis yang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja ternyata tidak membawa dampak signifikan. Menurut data World Employment and Social Outlook (WESO) pada 2022, angka pengangguran di Indonesia diperkirakan mencapai 6,1 juta orang, meningkat sebesar 1,2 juta orang dibandingkan tahun-tahun sebelum UU Cipta Kerja disahkan (https://www.ilo.org, 2022).

Kemudian menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Agustus 2023, terdapat 9,9 juta anak muda Indonesia berusia 15 hingga 24 tahun (Gen Z) yang termasuk kategori Not in Employment, Education, and Training (NEET) atau tidak bekerja, tidak menjalani pendidikan, dan tidak mendapatkan pelatihan (https://www.kompas.com, 18 Mei 2024).

Angka ini setara dengan 22,25 persen dari total 44,7 juta anak muda dalam kelompok usia tersebut. Dari jumlah ini, 5,2 juta berada di perkotaan dan 4,6 juta di pedesaan. Jika dilihat dari jenis kelamin, perempuan NEET mencapai 5,73 juta orang (26,54 persen) dan laki-laki 4,17 juta orang (18,21 persen). Berdasarkan usia, yang paling banyak adalah usia 20-24 tahun dengan 6,46 juta orang, sementara usia 15-19 tahun berjumlah 3,44 juta orang.

Dilihat dari tingkat pendidikan, lulusan SMA yang tergolong NEET mencapai 3,57 juta orang, lulusan SMK 2,29 juta orang, lulusan SMP 1,84 juta orang, dan lulusan SD 1,63 juta orang. Lulusan universitas (S1, S2, S3) yang tergolong NEET ada sebanyak 452.713 orang, sedangkan lulusan diploma ada 108.464 orang (https://www.kompas.com, 18 Mei 2024).

Dengan demikian, berdasarkan data di atas menunjukan bahwa, UU Cipta Kerja terbukti tidak mampu mengatasi krisis yang dialami oleh kaum muda, terutama dalam hal ketidakpastian kerja dan kerentanan masa depan. Akibatnya, kaum muda semakin terjerumus dalam ketidakpastian masa depan yang mengkhawatirkan. Kebijakan ekonomi politik yang diimplementasikan melalui UU Cipta Kerja oleh pemerintah, alih-alih memberikan solusi, justru memperpanjang karpet merah bagi barisan pengangguran baik di pedesaan atau perkotaan.

Kontradiksi ini kemudian direspon oleh negara dan para teknokrat dengan mendorong berbagai solusi seperti menjadi wirusaha atau pekerja mandiri, baik di sektor pertanian maupun jasa. Tentu saja ada yang berhasil, namun karena tidak mampu bersaing dalam sistem ekonomi kapitalistik yang kompetitif, selain juga karena perubahan iklim, banyak diantara usaha-usaha kecil dan mikro yang tidak bertahan dan gulung tikar. Mereka yang gagal ini kemudian di cap sebagai pemalas, tidak punya mental dan spirit beriwausaha, tidak tahan banting, tidak inovatif, tidak kreatif dan sebagainya. 

Sebagian dari mereka kemudian menjadi surplus populasi relatif yakni kombinasi antara pengangguran dan proletriat informal baik di pedesaan atau perkotaan, yang hilir-mudik tidak menentu mencari pekerjaan atau melakukan migrasi, baik di desa-kota atau terbang dan berlayar ke luar negeri untuk mencari pekerjaan guna sekedar bertahan hidup.

Dalam pandangan perspektif Marxian surplus populasi relatif sering disebut sebagai tentara cadangan pekerja (populasi terbuang) yaitu para pekerja yang tidak terserap dalam produksi inti kapitalisme (bersifat formal) sehingga mereka mengantri untuk mendapatkan pekerjaan  (Muchtar Habibi, 2016).

Sebagai tentara cadangan pekerja, tentu saja mereka tidak semua dibutuhkan dalam pasar tenaga kerja kapitalis. Mereka dapat dimobilisasi kapan saja oleh kapital untuk menggantikan pekerja aktif yang "memberontak" misalnya menuntut kenaikan upah, demonstrasi dan mogok kerja, atau melakukan tindakan lain yang dianggap mengancam kepentingan pemodal. Dengan demikian, kehadiran tentara cadangan pekerja memberikan fleksibilitas dan kontrol bagi pemilik modal dalam mempertahankan stabilitas upah dan kekuasaan dalam hubungan kerja.

Mereka yang terlempar dari produksi inti kapitalisme kemudian menjadi apa yang disebut Muchtar Habibi sebagai "informal proletariat, yang bertahan hidup dengan bergelut di sektor informal tanpa sarana produksi yang memadai, yang ditandai dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar dalam hal remunerasi, representasi dan perlindungan sosial. Mereka bekerja dalam kondisi terengah-engah untuk sekedang menyambung hidup"(Muchtar Habibi, 2016).

Kesimpulan

Tantangan terbesar dalam pendidikan tinggi di Indonesia adalah keterbatasan akses dan komodifikasi pendidikan. Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi semua warga negara, yang harus dijamin dan dibiayai oleh negara, sehingga akses pendidikan bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat, bukan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan di pasar. 

Pendidikan juga harus berpihak pada rakyat yang berarti pendidikan harus diarahkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan, pintu masuk bagi warga memperoleh kesempatan bekerja dengan upah yang layak, dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat, seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi.

Namun kini lebih menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar. Sebagaimana respon pemerintah bahwa kuliah hanyalah "plihan/tidak wajib dan hanya sekedar kebutuhan tersier". Pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier berarti bersifat mewah dan hanya dapat diakses oleh individu dengan pendapatan tinggi. Dengan demikian statement pemerintah bahwa pendidikan tinggi tidaklah wajib dan hanya kebutuhan tersier, cukup memberi bukti bahwa negara abai terhadap tuntutan pendidikan tinggi sebagai hak bagi semua warga, dan ini bukanlah sebuah rumor atau isapan jempol belaka.

Lalu, manakah partai politik, para celeg dan kandidat capres yang baru saja menebar janji politiknya saat kampanye? Jelas kenaikan harga harga UKT dan biaya pendididakan yang melambung tinggi akibat komodifikasi dan kapitalisasi, membeludaknya anak muda Indonesia yang menganggur dan tidak bekerja, tidak menjalani pendidikan, dan tidak mendapatkan pelatihan, luput dari arena debat pilres dan visi-misi para elit politik.

Tidak perlu menunggu janji-janji heroik para elit politik, atau menunggu janji ideologis negara untuk mencerdaskan dan mesejahterakan rakyatnya, mari kita satukan kekuatan dan lancarkan perlawan. Lebih dari itu, orientasi pembangunan Indonesia yang adil dan sejahtera hanya dimungkinkan ketika didukung oleh partai politik berbasis kelas pekerja yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun