Meningkatkan Kesiapsiagaan dan Ketahanan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Letusan Gunung Ruang
Gunung Ruang, sebuah gunung berapi yang terletak di wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) di Sulawesi Utara (Sulut), Indonesia, telah menjadi pusat perhatian setelah serangkaian letusan yang terjadi beberapa kali dalam beberapa bulan terakhir.Â
Letusan Gunung Ruang, menimbulkan berbagai dampak yang meluas, termasuk pengungsian massal, ancaman terhadap kehidupan, dan gangguan pada sektor ekonomi dan transportasi.Â
Dalam situasi seperti ini, persiapan yang matang dan respons yang cepat menjadi kunci untuk mengurangi risiko dan melindungi masyarakat serta harta benda mereka.
Kesiapsiagaan Awal dan Respons Terhadap Letusan Gunung Ruang
Pada tanggal 16 April 2024, Gunung Ruang kembali erupsi dengan mengeluarkan hujan batu dan awan panas. Dalam laporan sementara Basarnas Manado, sebanyak 159 KK 495 Jiwa mengungsi dan jumlah tersebut terus bertambah.Â
Akibat dari letusan ini, status aktivitas Gunung Ruang dinaikan dari Level III (Siaga) menjadi Level IV (Awas) oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).Â
Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, kemudian mengumumkan pada 2 Mei 2024 bahwa dua desa di sekitar Gunung Ruang, Laingpatehi dan Pumpente, akan dikosongkan permanen karena ancaman dari erupsi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia segera meluncurkan proses evakuasi yang melibatkan koordinasi antara pemerintah, Basarnas, BNPB, PVMBG, dan masyarakat setempat.Â
Sekitar 4.278 warga yang terdampak langsung oleh erupsi Gunung Ruang telah dievakuasi dari Pulau Tagulandang. Meskipun evakuasi ini menunjukkan respons yang cepat, masih terdapat kebutuhan untuk meningkatkan infrastruktur evakuasi dan respons yang lebih terkoordinasi untuk mengurangi potensi korban jiwa dan mempercepat pemulihan pasca-bencana.
Tantangan dalam Menghadapi Letusan Gunung Ruang
Proses evakuasi menjadi semakin rumit karena adanya dampak pada sektor transportasi, terutama penerbangan udara. Penutupan sementara bandara-bandara di wilayah tersebut mengakibatkan infrastruktur penerbangan belum sepenuhnya siap untuk menghadapi bencana semacam ini.
Dalam situasi seperti ini, pengembangan teknologi dan sistem peringatan dini yang lebih canggih dan terintegrasi antarinstansi akan membantu mengurangi gangguan pada penerbangan dan mempercepat pemulihan aktivitas ekonomi pasca-bencana.