Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dinamika Hubungan Industrial di Indonesia pada Era Rezim Militer Soeharto

1 Mei 2024   11:20 Diperbarui: 1 Mei 2024   11:35 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika Hubungan Industrial di Indonesia pada Era Rezim Militer Soeharto

Pada era kekuasaan Rejim Militer Soeharto di Indonesia, hubungan antara buruh, pengusaha, dan negara mengalami transformasi yang signifikan. 

Konsolidasi kekuasaan di tangan militer membawa perubahan dalam tata kelola politik, ekonomi, dan sosial, termasuk dalam bidang hubungan industrial. 

Dinamika hubungan industrial di Indonesia selama periode kekuasan rezim Soehato, diulas secara singkat dalam tulisan ini dengan melihat bagaimana pengaruh rezim Soeharto dalam membentuk doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP), peran serikat pekerja, serta dampaknya terhadap kondisi buruh dan masyarakat secara keseluruhan.

Konsolidasi Kekuasaan dan Pembentukan Doktrin HIP

Ketika Soeharto menggulingkan Soekarno pada tahun 1965, kekuasaan militer menjadi dominan dalam pemerintahan. Rezim Militer Soeharto menghadapi tugas besar untuk merestrukturisasi ekonomi dan politik nasional. 

Salah satu langkah penting adalah pembentukan doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP) pada tahun 1974. HIP menjadi landasan bagi hubungan antara pengusaha, buruh, dan negara.

Doktrin ini menekankan hubungan yang harmonis antara tiga pihak tersebut, di mana negara bertindak sebagai penengah. HIP menciptakan kerangka kerja yang mengikat untuk mencapai stabilitas dalam pembangunan ekonomi nasional. 

Namun, di balik retorika harmonis, HIP juga bertujuan untuk mengendalikan buruh dan memastikan kestabilan politik yang mendukung kekuasaan militer.

Peran Serikat Pekerja dalam Konteks Rezim Soeharto

Rejim Soeharto secara aktif terlibat dalam pembentukan dan pengendalian serikat pekerja. Organisasi seperti SEKBER GOLKAR dan OPSUS bertujuan untuk mengontrol serikat pekerja agar sesuai dengan kepentingan rezim. 

Pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada tahun 1973 adalah contoh konkret dari upaya tersebut.

FBSI, yang kemudian berganti nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), didirikan dengan dukungan rezim dan pengusaha. 

Namun, serikat pekerja ini lebih berfungsi sebagai alat untuk mencengkram kelas buruh dan mempertahankan kekuasaan politik. Banyak pengurus SPSI di tingkat pabrik diisi oleh militer atau anggota Partai Golkar.

Dampak Terhadap Buruh dan Masyarakat

Dalam kerangka HIP, upah buruh diatur sedemikian rupa untuk memastikan stabilitas ekonomi dan politik. Namun, hal ini sering kali mengakibatkan kondisi buruh yang tidak memadai. Pada tahun 1970-an, upah rata-rata buruh hanya sekitar Rp 400 per hari, jauh di bawah kebutuhan hidup layak. 

Bahkan, pada 1990-an, upah minimum dihitung berdasarkan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), yang masih jauh dari cukup untuk kebutuhan dasar.

Selain upah rendah, buruh juga tidak memiliki jaminan sosial yang memadai, cuti dipotong upah, dan sering diabaikannya keselamatan kerja. Jumlah kecelakaan kerja pun meningkat, mencapai hampir 25 ribu kasus pada tahun 1989. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun doktrin HIP menjanjikan hubungan industrial yang harmonis, kenyataannya buruh sering menjadi korban dalam sistem yang lebih menguntungkan pengusaha dan pemerintah.

Perlawanan dan Perkembangan Gerakan Buruh

Meskipun terjadi kontrol yang ketat terhadap serikat pekerja, gerakan perlawanan buruh tidak sepenuhnya diredam. Pada periode 1977-1980, terjadi gelombang pemogokan buruh yang menuntut upah dan kondisi kerja yang lebih baik, serta hak mogok. Namun, pemogokan ini kemudian mereda karena represi dan resesi ekonomi pada tahun 1982-1983.

Baru pada dekade 1990-an, gerakan untuk membangun serikat pekerja yang independen dan memperjuangkan hak-hak buruh mulai berkembang. 

Meskipun dihadapkan pada tekanan politik dan represi, gerakan ini menjadi semakin kuat dan merupakan salah satu faktor yang mempercepat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.

Kesimpulan

Hubungan industrial di Indonesia pada era Rejim Militer Soeharto tercermin dalam doktrin HIP yang menekankan harmoni antara pengusaha, buruh, dan negara. 

Namun, di balik retorika tersebut, kontrol terhadap serikat pekerja dan kondisi buruh yang tidak memadai menunjukkan bahwa kepentingan politik dan ekonomi rezim lebih diutamakan daripada kesejahteraan buruh.

Meskipun demikian, tidak semua upaya untuk mengendalikan buruh berhasil, dan gerakan perlawanan buruh terus berkembang, terutama pada dekade 1990-an. 

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dihadapkan pada tekanan politik yang kuat, kelas buruh tetap memiliki potensi untuk mengubah dinamika kekuasaan dan mencapai perubahan yang lebih baik bagi kondisi sosial dan ekonomi mereka.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun