Dinamika Hubungan Industrial di Indonesia pada Era Rezim Militer Soeharto
Pada era kekuasaan Rejim Militer Soeharto di Indonesia, hubungan antara buruh, pengusaha, dan negara mengalami transformasi yang signifikan.Â
Konsolidasi kekuasaan di tangan militer membawa perubahan dalam tata kelola politik, ekonomi, dan sosial, termasuk dalam bidang hubungan industrial.Â
Dinamika hubungan industrial di Indonesia selama periode kekuasan rezim Soehato, diulas secara singkat dalam tulisan ini dengan melihat bagaimana pengaruh rezim Soeharto dalam membentuk doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP), peran serikat pekerja, serta dampaknya terhadap kondisi buruh dan masyarakat secara keseluruhan.
Konsolidasi Kekuasaan dan Pembentukan Doktrin HIP
Ketika Soeharto menggulingkan Soekarno pada tahun 1965, kekuasaan militer menjadi dominan dalam pemerintahan. Rezim Militer Soeharto menghadapi tugas besar untuk merestrukturisasi ekonomi dan politik nasional.Â
Salah satu langkah penting adalah pembentukan doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP) pada tahun 1974. HIP menjadi landasan bagi hubungan antara pengusaha, buruh, dan negara.
Doktrin ini menekankan hubungan yang harmonis antara tiga pihak tersebut, di mana negara bertindak sebagai penengah. HIP menciptakan kerangka kerja yang mengikat untuk mencapai stabilitas dalam pembangunan ekonomi nasional.Â
Namun, di balik retorika harmonis, HIP juga bertujuan untuk mengendalikan buruh dan memastikan kestabilan politik yang mendukung kekuasaan militer.
Peran Serikat Pekerja dalam Konteks Rezim Soeharto
Rejim Soeharto secara aktif terlibat dalam pembentukan dan pengendalian serikat pekerja. Organisasi seperti SEKBER GOLKAR dan OPSUS bertujuan untuk mengontrol serikat pekerja agar sesuai dengan kepentingan rezim.Â
Pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada tahun 1973 adalah contoh konkret dari upaya tersebut.
FBSI, yang kemudian berganti nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), didirikan dengan dukungan rezim dan pengusaha.Â