Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kehampaan dan Kerentanan dalam "Doa Seorang Pesolek" karya Joko Pinurbo

2 Juli 2024   14:41 Diperbarui: 2 Juli 2024   14:53 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehampaan dan Kerentanan dalam "Doa Seorang Pesolek" karya Joko Pinurbo

Puisi merupakan salah satu bentuk seni yang mampu menggambarkan kehidupan manusia dalam segala kompleksitasnya. 

Salah satu contoh puisi yang menghadirkan gambaran akan kehampaan, dan kerentanan manusia adalah "Doa Seorang Pesolek" karya Joko Pinurbo. 

Dalam puisi ini, Penyair menggambarkan sebuah doa dari seorang pesolek kepada Tuhan, yang memohon agar kecantikannya tetap abadi. 

Puisi ini mengungkapkan banyak lapisan makna, mulai dari pencarian akan keabadian hingga kritik terhadap standar kecantikan yang tidak realistis. 

Puisi ini mencerminkan tema utama tentang kecantikan dan kerentanan manusia terhadap waktu. Dari awal, Penyair menggambarkan pesolek yang berdoa kepada Tuhan agar kecantikannya tetap abadi. 

Pesolek tersebut berada di "rimba kosmetik", sebuah metafora yang menunjukkan bahwa ia tengah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kecantikannya. 

Bahwa kecantikan tersebut tidaklah kekal dan bisa lenyap dengan cepat. Penyair mengeksplorasi ketidakpastian ini melalui gambaran "jari-jari waktu yang lembut dan nakal", yang mengancam untuk "merobek-robek bajuku". Betapa rentannya manusia terhadap penuaan dan perubahan yang tak terelakkan.

Puisi ini juga mengandung elemen kritik terhadap standar kecantikan yang tidak realistis dalam masyarakat. Meskipun pesolek berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kecantikannya, ia sadar bahwa upaya tersebut bisa sia-sia di hadapan Tuhan yang melihat lebih dari sekadar penampilan fisik. 

Penyair menggunakan metafora yang kuat untuk menyoroti hal ini, seperti "ceburkan bulan ke lubuk mataku yang dalam" dan "taburkan hitam pada rambutku yang suram". 

Dengan demikian, puisi ini menegaskan bahwa kecantikan sejati tidak hanya terletak pada penampilan fisik, melainkan juga pada keindahan inner yang lebih dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun