Momentum peringatan Hari Kartini disinyalir telah memberikan ruang bagi masyarakat Indonesia untuk merenungkan perjalanan perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan. Raden Ajeng Kartini, sebagai sosok yang sangat menginspirasi banyak perempuan, dan mewakili semangat perjuangan untuk membebaskan perempuan dari belenggu tradisi patriarki, feodalisme dan seksisme.
Namun demikian, di tengah semangat perayaan Hari Kartini, realitas meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak menghadirkan tantangan yang menyayat hati kita.
Data dari Laporan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender telah menggerogoti keamanan dan martabat perempuan di Indonesia. Dalam rentang sepuluh tahun terakhir, lebih dari 2.5 juta kasus kekerasan berbasis gender dilaporkan kepada berbagai lembaga (https://komnasperempuan.go.id, 21 April 2024).
Di tahun 2023 tercatat ada 289.111 kasus kekerasan, dengan sebagian besar merupakan kekerasan dalam rumah tangga, dan sepertiganya adalah kekerasan seksual. Yang lebih menyedihkan, pelaku kekerasan seksual seringkali adalah orang-orang terdekat korban, seperti mantan pacar, pacar, atau bahkan suami (https://komnasperempuan.go.id, 21 April 2024).
Kasus-kasus ini menggambarkan betapa rapuhnya perlindungan yang seharusnya ada bagi perempuan dan anak-anak, terutama di lingkungan yang seharusnya paling aman bagi mereka, seperti dalam rumah tangga atau di institusi pendidikan. Pelaku kekerasan seringkali berada dalam posisi yang seharusnya menjadi pelindung atau mentor bagi korban, sehingga melukai kepercayaan dan menimbulkan trauma yang mendalam.
Selain kekerasan dalam rumah tangga, kasus kekerasan di ranah negara juga mengalami peningkatan, dari 68 kasus di tahun 2022 menjadi 88 kasus di tahun 2023. Kekerasan terhadap perempuan di ranah negara meliputi berbagai kasus, mulai dari perempuan berkonflik dengan hukum, kekerasan oleh anggota TNI/Polri, hingga kekerasan terhadap perempuan di dunia politik (https://nasional.kompas.com, 07 Maret 2024).
Kekerasan terhadap Perempuan: Akar Masalah dan Tantangan Hak-hak DasarÂ
Kekerasan terhadap perempuan bukanlah sekadar masalah individu, tetapi merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Akar masalah ini menghasilkan berbagai tantangan bagi perempuan dalam pemenuhan hak-hak dasar mereka, seperti keamanan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Pertama, kekerasan terhadap perempuan dipicu oleh ketidakseimbangan kekuasaan gender yang masih ada dalam masyarakat. Perempuan seringkali berada dalam posisi yang lebih rendah secara sosial, ekonomi, dan politik dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini menciptakan dinamika dimana perempuan rentan menjadi korban kekerasan karena sulitnya mereka untuk mengambil kontrol atas kehidupan mereka sendiri.
Ketidakseimbangan ini tercermin dalam banyak aspek kehidupan. Misalnya, dalam lingkungan rumah tangga, perempuan sering kali tidak memiliki kekuatan ekonomi atau keputusan yang sama dengan pasangan laki-laki mereka. Ini dapat menyebabkan perempuan terjebak dalam situasi kekerasan yang tidak dapat mereka hindari karena ketergantungan finansial atau ancaman yang dialami.
Kedua, korban kekerasan sering menghadapi berbagai tantangan dalam pemenuhan hak-hak dasar mereka. Salah satu hak yang seringkali terancam adalah hak atas keamanan. Kekerasan yang dialami di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di tempat umum menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi perempuan. Mereka hidup dalam ketakutan dan stres konstan akan ancaman kekerasan yang mungkin mereka hadapi.
Tantangan lainnya adalah dalam akses terhadap pendidikan. Banyak perempuan yang mengalami kekerasan juga mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan yang layak. Kekerasan tersebut bisa menghambat partisipasi mereka dalam proses pendidikan atau bahkan memaksa mereka untuk meninggalkan sekolah secara permanen.
Ketiga, masalah kesehatan perempuan juga terpengaruh oleh kekerasan yang mereka alami. Kekerasan seksual, misalnya, dapat menyebabkan cedera fisik dan mental yang serius, termasuk trauma psikologis dan risiko tinggi terhadap penyakit menular seksual. Namun, akses perempuan terhadap layanan kesehatan yang memadai seringkali terhalang oleh berbagai faktor, seperti stigma dan kurangnya dukungan.
Keempat, tantangan terakhir adalah dalam pemenuhan hak pekerjaan. Kekerasan yang dialami di tempat kerja, seperti pelecehan seksual atau diskriminasi gender, dapat menghambat kemajuan karir perempuan atau bahkan membuat mereka kehilangan pekerjaan secara keseluruhan. Ini mengakibatkan ketidaksetaraan ekonomi antara laki-laki dan perempuan semakin memperdalam.
Hari Kartini dan Momentum Pembebasan
Menyikapi tantangan ini, peringatan Hari Kartini harus menjadi momentum untuk lebih dari sekadar perayaan. Hari Kartini harus menjadi panggilan pembebasan untuk tindakan nyata dalam melindungi perempuan dan anak-anak dari segala bentuk kekerasan.Â
Perlu langkah-langkah konkret perlu diambil, baik oleh pemerintah, lembaga penegak hukum, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Pertama, diperlukan penguatan sistem perlindungan bagi korban kekerasan. Ini meliputi pendirian dan peningkatan kualitas pusat-pusat layanan bagi korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, serta penguatan hukum yang menjamin keadilan bagi para korban.
Kedua, pendidikan dan kesadaran harus ditingkatkan secara luas. Pendidikan mengenai kesetaraan gender, hak-hak perempuan, dan pentingnya menghormati serta melindungi satu sama lain harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan. Selain itu, kampanye-kampanye publik perlu terus dilakukan untuk mengubah mindset dan perilaku yang merugikan perempuan.
Ketiga, perlindungan hukum yang kuat harus diberlakukan terhadap pelaku kekerasan. Penegakan hukum yang tegas dan adil adalah kunci dalam mencegah tindakan kekerasan dan memberikan keadilan bagi korban. Tidak boleh ada toleransi terhadap kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun.
Keempat, pentingnya peran aktif perempuan dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Perempuan harus memiliki peran yang lebih besar dalam menyuarakan kepentingan dan perlindungan dirinya sendiri dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya.
Demikian hari Kartini harus menjadi momen refleksi dan aksi kolektif untuk mengatasi tantangan kekerasan terhadap perempuan. Kesetaraan dan perlindungan bagi perempuan adalah prasyarat bagi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Negara, masyarakat dan kita semua tidak boleh membiarkan seorang Kartini berjuang begitu keras hanya untuk melihat perlakuan yang tidak manusiawi terhadap sesama perempuan lain terus berlanjut di zaman ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H