Pertanian merupakan sektor penting dalam keberlanjutan ekonomi dan ketahanan pangan di banyak negara, terutama di wilayah tropis yang rentan terhadap perubahan iklim.Â
Petani sebagai aktor utama dalam sektor pertanian berada di garis depan dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata dan signifikan.
Di berbagai wilayah tropis, termasuk Indonesia, petani sering kali menghadapi tantangan ekstrem seperti curah hujan yang tidak teratur, kekeringan, banjir, dan serangan hama dan penyakit yang semakin parah akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim kemudian menyebabkan variasi musiman yang tidak stabil dalam curah hujan dan suhu, yang secara langsung memengaruhi pola tanam dan panen tanaman.Â
Penurunan produktivitas tanaman, kegagalan panen, dan kerugian finansial yang diakibatkan oleh perubahan iklim mengancam ketahanan pangan dan ekonomi petani.Â
Selain itu, perubahan iklim juga dapat menyebabkan perubahan dalam penyebaran hama dan penyakit tanaman, yang dapat mengancam hasil pertanian. Salah satu tanaman yang rentan terhadap penyakit dan hama adalah pisang kepok.Â
Penyakit darah pisang, disebabkan oleh bakteri patogen tanaman Ralstonia solanacearum ras 2 atau banana blood disease (BDB), memiliki dampak yang merusak terhadap tanaman pisang kepok. Gejala penyakit ini mudah dikenali, termasuk penguningan daun, kerusakan pada batang, dan busuk pada buah pisang.
Beberapa wilayah di Kabupaten Nagekeo-NTT, terancam oleh serangan penyakit darah pisang yang telah menyebar dengan cepat sejak pertengahan 2023 (https://ekorantt.com, 04 Mei 2023).
Para petani yang bergantung pada pisang sebagai salah satu sumber pendapatan utama mereka mengalami kerugian finansial yang signifikan akibat gagal panen dan rusaknya tanaman pisang.Â
Penurunan produksi pisang kepok menyebabkan penurunan pendapatan petani, yang mengancam keberlanjutan ekonomi rumah tangga mereka. Selain itu, harga beras yang terus meningkat juga menambah beban ekonomi bagi petani dan masyarakat setempat.
Di Nageko misalnya, pisang kepok juga bukan hanya menjadi sumber pendapatan, tetapi juga memiliki nilai sosial dan budaya yang penting bagi masyarakat lokal. Pisang kepok digunakan dalam berbagai upacara adat, seperti pembuatan muku ghe'u, yang merupakan bagian integral dari tradisi lokal. Serangan penyakit darah pisang mengancam kelangsungan tradisi dan budaya ini, serta mengurangi ketersediaan makanan alternatif bagi masyarakat.
Resiliensi dan Adaptasi Petani
Di tengah tantangan yang dihadapi, masyarakat Nagekeo mengembangkan resiliensi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, seperti cuaca panas dan kemarau yang berkepanjangan dan penyebaran penyakit darah pisang.
Resiliensi petani dalam menghadapi perubahan iklim, melibatkan kemampuan petani untuk bertahan dan pulih dari dampak penyakit, baik secara ekonomi maupun sosial.Â
Resiliensi petani mencakup kemampuan untuk menyesuaikan praktik pertanian, diversifikasi sumber pendapatan, mengakses sumber daya dan informasi yang diperlukan, mencari pekerjaan di luar sektor pertanian, atau merantau sebagai opsi untuk mencari penghidupan yang lebih baik, serta membangun jaringan sosial dan dukungan komunitas yang kuat.
Resiliensi petani perlu didukung dengan kapasitas adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim menjadi kunci dalam menjaga produktivitas dan keberlanjutan pertanian.Â
Kapasitas adaptasi mencakup pemahaman petani tentang gejala dan penyebaran penyakit, penggunaan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap penyakit, praktik pengelolaan lahan yang ramah lingkungan, dan penerapan teknologi pertanian yang inovatif untuk meminimalkan risiko infeksi.
Namun, dalam proses adaptasi ini, juga perlunya intervensi pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim di tingkat lokal. Perlu adanya langkah konkret dan terintegrasi dari pemerintah dalam mendukung resiliensi dan adaptasi masyarakat pedesaan, termasuk dalam pemantauan dan pengendalian penyakit tanaman serta dalam memfasilitasi diversifikasi mata pencaharian.
Selain itu, penting juga untuk memperkuat kapasitas masyarakat pedesaan dalam menghadapi perubahan iklim melalui pendidikan dan pelatihan. Masyarakat perlu diberi pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk mengenali, mencegah, dan mengatasi dampak perubahan iklim terhadap mata pencaharian petani dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Melalui langkah-langkah konkret dan sinergis, resiliensi masyarakat pedesaan dapat diperkuat, dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H