Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menakar Pola Pembentukan Koalisi dan Oposisi Pasca Pilpres 2024

29 Februari 2024   21:26 Diperbarui: 29 Februari 2024   21:30 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar. Sumber: kompas.com

Dalam praktik politik kepartaian dengan sistem multi partai seperti Indonesia dikenal dengan dua model koalisi, yakni koalisi sembelum pemilu dan koalisi sesudah pemilu.

Pembentukan koalisi partai politik sebelum pemilu, biasaya menjadi pilihan yang tak terelakan bagi partai-partai politik. Pasalnya tidak terdapat satupun partai politik yang memperoleh suara mayoritas, sehingga setiap partai harus membangun kerja sama atau koalisi dengan partai politik lain.

Selain karena minimnya kekuatan politik, sistem perundang-undangan pemilu memberi ruang bagi partai-partai politik untuk mengadakan koalisi partai politik. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden (pasal 9), bahwa “pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Hal ini berarti bahwa, bagi partai-partai yang memperoleh suara minoritas dapat memobilisasi kekuatan dan negosisasi politik untuk membentuk koalisi, agar dapat mengusung kandidat dalam kontestasi politik.

Dengan demikian koalisi sebelum pemilu adalah bentuk koalisi partai-partai politik dalam rangka membentuk kekuatan politik untuk ikut serta dalam kontestasi politik elektoral.

Sedangkan pembentukan koalisi partai politik setelah pemilu dalam sistem multi partai adalah aliansi partai politik yang berhasil memenangi kontestasi politik elektoral (pemilu) dan memperoleh kursi dalam pemilu berusaha untuk membentuk aliansi atau kerjasama dengan partai lainnya yang biasanya partai lawan, guna mencapai mayoritas atau kekuatan politik yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan atau mengambil peran dalam parlemen. 

Proses pembentukan koalisi setelah pemilu seringkali melibatkan negosiasi antara partai-partai politik yang sempat bertarung dalam kontestasi elektoral, atau juga karena perbedaan ideologi, visi, dan agenda politik untuk mencapai kesepakatan tentang program pemerintahan bersama atau penugasan kekuasaan dalam struktur pemerintahan. Koalisi semacam itu dapat dibentuk setelah pemilihan umum dan setelah melewati beragam dinamika negosiasi atau konsensus politik.

Dalam konteks pemilu 2024, koalisi partai-partai politik terbentuk dalam tiga kubu koalisi, yakni koalisi pengusung Anis-Amin, Koalisi pengusung Prabowo-Gibran dan Koalisi pengusung Ganjar-Mafhud.

Koalisi partai politik pengusung Anies-Muhaimin di Pilpres 2024 diusung oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang terdiri Partai NasDem, PKS, PKB, dan Partai Ummat. Pembentukan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) cukup dinamis, pasalnya Partai Demokrat pada akhirnya menarik diri setelah Anies mengumumkan pencalonannya dengan Muhaimin Iskandar. Partai Demokrat kemudian bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo-Gibran. 

Koalisi partai politik pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki dukungan yang sangat gemuk, dibandingkan paslon lain. Selain disokong sejumlah parpol besar seperti Golkar, PAN, dan Demokrat, beberapa parpol kecil juga turut merapat seperti  PBB, Gelora, Garuda, Prima dan PSI .

Sedangkan koalisi partai politik pengusung Ganjar dan Mahfud diusung oleh gabungan partai politik parlemen dan non parlemen, yang mana partai penguasa PDIP menjadi partai utama yang mengusung pasangan ini. Pada Minggu, 30 April 2023,  PPP secara resmi merapat ke kubu Ganjar, kemudian disusul oleh dua partai non parlemen lainnya yaitu Hanura dan Perindo.

Kendati demikian, koliasi kubu 01 dan koalisi 03  yang tampaknya solid pada pilpres 2024, kemudian mulai renggang pasca pilpres 2024, selain karena aksi safari atau silaturahmi oleh Jokowi dengan Surya Paloh, setelah empat hari pemungutan suara Pemilu 2024, juga karena Nasdem adalah partai yang selalu mencari aman. Hal ini memberi sinyal bahwa koalisi Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) sedang dirayu.

Beberapa pekan belakangan, dinamika politik mulai bergeser, disinyalir ada sinyal positif dari kubu lawan politik seperti partai PKB untuk bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Alih-alih bersembunyi dibalik kalim "kami tidak memiliki sejarah dan riwayat oposisi", PKB diprediksi bergabung bersama koalisi Prabowo-Gibran. 

Tidak menutup kemungkinan juga bagi PPP menyusul untuk bergabung ke gerbong koalisi Prabowo-Gibran, mengingat PPP pernah berbulan madu kenikmatan politik bersama Jokowi dalam Pilpres 2019. Dinamika koalisi bisa saja berubah, karena politik itu adalah seni untuk mempertahankan kepentingan yang telah dikalkulasi secara akurat dan presisi.

Karenanya setiap keputusan politik partai politik akan memiliki dampak yang signifikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, misalnya dalam menyongsong Pigub dan Pikada 2024 mendatang dan investasi Pilperes 2029.

Dengan demikian, menurut penulis budaya koalisi kepartai sebagaimana digambarkan diatas, mengejawantakan hubungan antara partai politik yang cenderung tidak konsisten dan terus berubah-ubah, dan kemudian menimbulkan ketidakpastian mengenai siapa yang merupakan lawan atau sekutu politik yang konstan dalam jangka panjang.

Koalisi Pragmatis 

Dalam teori politik kepartaian, pilihan dalam pembentukan koalisi tentunya didasari oleh beragam perimbangan. Terdapat dua kecenderungan pilihan koalisi partai politik yakni koalisi office-seeking dan koalisi policy-seeking (Riker, 1962; Axelrod, 1970).

Model koalisi office-seeking merupakan gabungan beberapa partai politik yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan atau menduduki posisi strategis dalam struktur pemerintahan.

Sedangkam koalisi model policy-seeking mendasarkan pertimbangan penggabungan beberapa partai politik karena mempertimbangkan keselarasan kebijakan partai, kesamaan ideologi dan program kegiatan partai politik (Riker, 1962; Axelrod, 1970).

Di Indonesia, berdasarkan studi para sarjana menunjukan bahwa dalam praktik politik kepartaian, model koalisi partai-partai politik cenderung bersifat office-seeking. Bahwasannya partai-partai politik membentuk koalisi berdasarkan pertimbangan pragmatis seperti memburu jabatan, uang dan kekuasaan, tidak memperhatikan kesamaan ideologi ataupun platform partai (Ekawati, 2019; Hendrawan et al., 2021; Nadir, 2013; Romli, 2017; Tjahjoko, 2015).

Sealin itu, koalisi model office-seeking cenderung bersifat incidental (adh occoalition) serta bersifat jangka pendek, yang pembentukannya terikat pada suatu agenda politik tertentu. Koalisi model ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama jika terdapat keselarasan kepentingan di antara anggotanya. Namun, jika terjadi perbedaan kepentingan, koalisi tersebut bisa cepat berakhir (Nadir, 2013; Suryani & Hanafi, 2018).

Model koalisi office-seeking kemudian membentuk partai-partai politik berada dalam relasi kerjasama antagonistis. Artinya partai politik senantiasa berusaha untuk mengakhiri rivalitas (konflik) dan menciptakan konsensus jika memiliki persamaan kepentingan, begitupun sebaliknya partai politik akan menciptakan konsensus melalui kerja sama meskipun telah melalui rivalitas (konflik) di antara partai yang bersinggungan.

Model koalisi pragmatis sebagaimana digambarkan diatas, cukup sulit untuk memprediksi dinamika partai-partai yang sangat beragam orientasi politiknya. Karena mayoritas partai politik di Indonesia cenderung memiliki ideologi dan karakternya yang moderat serta bersifat pragmatis, sehingga perbedaan antara satu partai dengan yang lain hampir tidak terlihat.

Siapa Oposisi Pasca Pilpres 2024?

Kendati demikian, walaupun Nasdem, PKB  dan PPP memberi sinyal untuk bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran, posisi PKS dan PDI Perjuangan disinyalir masih teguh pendirian untuk berada dalam barisan oposisi, meskipun belum secara resmi dimumkan pimpinan partai masing-masing. 

Posisi PKS yang bepeluang menjadi oposisi, karena memiliki pengelaman menjadi parpol di luar pemerintahan pada masa dua periode (2014-2024) Presiden Joko Widodo. PDIP walaupun sebagai kontestan yang gagal di Pilpres, namun memperoleh suara terbesar di Parlemen (16,51%), sehingga peran oposisi oleh sebagian pengaman cukup memungkinkan. 

Masih menjadi tanda tanya, apakah PDIP dan PKS kembali menjadi partai oposisi seperti pengelaman pemilu sebelunya (PDIP pada tahun 2004 dan 2009; PKS pada tahun 2014-2024) atau ikut berkoalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Sebagaimana diberitakan oleh media, bahwa pernyataan sikap PDIP dan PKS sebagai oposisi akan dilakukan setelah rampunya rekapitulasi oleh KPU dan menunggu keputusan pimpinan partai. Namun tampaknya, upaya merayu PDIP ke dalam gerbong pemerintahan Prabowo-Gibran nampak nyata ketika Jokowi meminta bantuan Sultan Hamengku Buwono X untuk menjembatani pertemuan dirinya dengan pendiri PIP Perjuangan Megawati Soekarno Putri.

Menurut penulis, sikap menunggu untuk menyatakan sikap sebagai oposisi merupakan bentuk lain bahwa PDIP dan PKS sedang "bermain layang-layang" dalam dinamika politik. Sebagimana pepatah klasik bahwa, politik memerlukan pertimbangan yang matang dan kalkulasi yang presisi.

Jika kemudian pada akhirnya PDIP mengambil peran oposisi, maka garis oposisi mana yang akan dilalui? Apakah oposisi pragmatis atau oposisi ideologis? Mengingat posisi Presiden Jokowi yang masih menjadi bagian dari PDI-P, bisa saja ada kemungkinan PDIP legowo ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Sebagaimana diungkapkan oleh para pengamat bahwa, watak dan karakter dari partai-partai politik yang pragmatis dan oportunis warisan orde baru, membuat demokrasi di Indonesia nyaris tanpa oposisi yang kuat dan konsisten dalam mengkritik dan mengawasi pemerintahan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun