Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menakar Pola Pembentukan Koalisi dan Oposisi Pasca Pilpres 2024

29 Februari 2024   21:26 Diperbarui: 29 Februari 2024   21:30 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar. Sumber: kompas.com

Model koalisi office-seeking kemudian membentuk partai-partai politik berada dalam relasi kerjasama antagonistis. Artinya partai politik senantiasa berusaha untuk mengakhiri rivalitas (konflik) dan menciptakan konsensus jika memiliki persamaan kepentingan, begitupun sebaliknya partai politik akan menciptakan konsensus melalui kerja sama meskipun telah melalui rivalitas (konflik) di antara partai yang bersinggungan.

Model koalisi pragmatis sebagaimana digambarkan diatas, cukup sulit untuk memprediksi dinamika partai-partai yang sangat beragam orientasi politiknya. Karena mayoritas partai politik di Indonesia cenderung memiliki ideologi dan karakternya yang moderat serta bersifat pragmatis, sehingga perbedaan antara satu partai dengan yang lain hampir tidak terlihat.

Siapa Oposisi Pasca Pilpres 2024?

Kendati demikian, walaupun Nasdem, PKB  dan PPP memberi sinyal untuk bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran, posisi PKS dan PDI Perjuangan disinyalir masih teguh pendirian untuk berada dalam barisan oposisi, meskipun belum secara resmi dimumkan pimpinan partai masing-masing. 

Posisi PKS yang bepeluang menjadi oposisi, karena memiliki pengelaman menjadi parpol di luar pemerintahan pada masa dua periode (2014-2024) Presiden Joko Widodo. PDIP walaupun sebagai kontestan yang gagal di Pilpres, namun memperoleh suara terbesar di Parlemen (16,51%), sehingga peran oposisi oleh sebagian pengaman cukup memungkinkan. 

Masih menjadi tanda tanya, apakah PDIP dan PKS kembali menjadi partai oposisi seperti pengelaman pemilu sebelunya (PDIP pada tahun 2004 dan 2009; PKS pada tahun 2014-2024) atau ikut berkoalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Sebagaimana diberitakan oleh media, bahwa pernyataan sikap PDIP dan PKS sebagai oposisi akan dilakukan setelah rampunya rekapitulasi oleh KPU dan menunggu keputusan pimpinan partai. Namun tampaknya, upaya merayu PDIP ke dalam gerbong pemerintahan Prabowo-Gibran nampak nyata ketika Jokowi meminta bantuan Sultan Hamengku Buwono X untuk menjembatani pertemuan dirinya dengan pendiri PIP Perjuangan Megawati Soekarno Putri.

Menurut penulis, sikap menunggu untuk menyatakan sikap sebagai oposisi merupakan bentuk lain bahwa PDIP dan PKS sedang "bermain layang-layang" dalam dinamika politik. Sebagimana pepatah klasik bahwa, politik memerlukan pertimbangan yang matang dan kalkulasi yang presisi.

Jika kemudian pada akhirnya PDIP mengambil peran oposisi, maka garis oposisi mana yang akan dilalui? Apakah oposisi pragmatis atau oposisi ideologis? Mengingat posisi Presiden Jokowi yang masih menjadi bagian dari PDI-P, bisa saja ada kemungkinan PDIP legowo ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Sebagaimana diungkapkan oleh para pengamat bahwa, watak dan karakter dari partai-partai politik yang pragmatis dan oportunis warisan orde baru, membuat demokrasi di Indonesia nyaris tanpa oposisi yang kuat dan konsisten dalam mengkritik dan mengawasi pemerintahan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun