Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi tantangan serius dalam sektor pagan dan pertanian akibat kekeringan yang semakin ekstrem.Â
Reportase majalah Kompas pada 20 Desember 2023 bertajuk "Alarm Bencana Pangan di NTT", menjelaskan bahwasannya pada saat ini kekeringan ekstrim membuat sumber air semakin minim. Hampir sebagian besar areal sawah pertanian masyarakat NTT terancam gagal panen (Kompas, 20 Desember 2023).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) NTT telah memprediksi bahwa kekeringan ekstrem di seluruh wilayah daratan NTT pada tahun ini akan lebih luas lagi. Sebab, menurut BMKG NTT kondisi iklim di NTT hampir 100% dari total zona musim telah berada dalam periode musim kemarau (BMKG NTT, 2023).
Beberapa wilayah di NTT mengalami periode hari tanpa hujan (HTH) selama lebih dari 30 hingga lebih dari 60 hari secara berkesinambungan. Selain itu, curah hujan yang sangat minim, kurang dari 20 mm/dasarian terjadi dengan kemungkinan lebih dari 70%. Diperparah oleh fenomena El Nino yang telah mengakibatkan sebagian besar kota dan kabupaten di NTT menghadapi status awas kekeringan (BMKG NTT, 2023).
Kondisi ini membuat sebagian besar wilayah di NTT yang memiliki luas area pertanian sawah irigasi hanya 185.737,54 hektar, tidak mampu memproduksi beras untuk mencukupi kebutuhan masyarakat NTT.Â
Kalkulasi Bulog NTT bahwa deret ukur atas kebutuhan konsumsi beras jauh lebih besar dibandingkan deret hitung produksi beras. Produksi beras di NTT hanya mencapai 430.948,5 ton, namun kebutuhan beras mencapai 642.367,53 ton (Kompas, 20 Desember 2023).
Meskipun pemeritah telah membangun tujuh (7) buah bendungan digunakan untuk pengairan pertanian irigasi, namun keberadaan bendungan belum mampu menjawab persoalan ketersediaan air.Â
Investigasi Kompas pada Agustus 2023 di Belu-NTT menunjukkan, pasokan air dari Bendungan Rotiklot terhenti akibat kekeringan, sehingga petani membeli air tangki untuk menyiram tanaman (Kompas, 20 Desember 2023).
Pemerintah NTT telah menyalakan lampu merah, bahwa alarm rawan pangan di NTT sudah berbunyi. Seluruh pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat di NTT sejatinya bersiaga menghadapi kemungkinan krisis pangan. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pertanian lahan kering dengan beragam pangan lokal.
Kajian Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) menunjukan kondisi alam dan iklim di NTT tidak cocok untuk pengembangan pertanian berbasis pengairan irigasi. NTT lebih cocok pengembangan pertanian lahan kering (Pikul.id, 2010).
Pertanian lahan kering dengan beragam pangan lokal terbukti menjadi solusi yang berhasil di beberapa komunitas. Sistem ini dapat memastikan ketersediaan pangan mandiri tanpa terlalu bergantung pada pasokan pangan (beras) dari luar atau bergantung bantuan pemerintah (Kompas, 20 Desember 2023).
Karenanya seruan untuk kembali ke ragam pangan lokal sebagai pengganti beras, yang adaptif terhadap kondisi lingkungan dan iklim yang berubah menjadi kunci daya tahan ketersediaan pangan masyarakat NTT. Beberapa jenis pangan lokal pengganti beras yang bisa dikembangkan adalah jagung dan ubi-ubian.
Menurut kajian beberapa ahli bahwa kondisi iklim dan geografis di NTT cocok untuk menanam jagung dan ubi-ubian. Dengan kondisi ilkim sebagaimana telah dijelaskan terdahulu di atas, tanaman jagung dan ubi merupakan tanaman pangan yang tahan kekeringan dan dapat tumbuh dengan relatif baik di lingkungan yang kurang air seperti ladang-ladang di NTT (Setiawan, 2014).
Secara geografis, wilayah NTT memiliki ketinggian rata-rata antara 100-500 meter di atas permukaan laut, dengan sebagian kecil wilayah (3,6%) berada di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Kebanyakan wilayah di NTT bergunung-gunung, lahan pertanian cenderung memiliki kemiringan lebih dari 40%, yang rentan terhadap erosi, namun jagung dan ubi-ubian tetap dapat tumbuh efektif dalam kondisi seperti ini (Tolo, 2017).
Selain itu, jagung dan ubi juga memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan dapat menjadi aspek penting dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat di NTT. Kaya akan karbohidrat, serat, vitamin, dan mineral, jagung dan ubi dapat menjadi sumber pangan yang baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi penduduk, terutama dalam kondisi sulit seperti krisis kekeringan (Irma Eva Yani, Hasnarianti Ramadhani, & Zulkifli, 2021).
Oleh karena itu, dalam menghadapi perubahan iklim yang telah memaksa masyarakat NTT bergantung pada pasokan beras dari luar, maka pengembangan dan penguatan sistem pertanian lahan kering dengan beragam pangan seperti jagung dan ubi-ubian menjadi urgen untuk mencegah bencana pangan di masa depan di NTT.
Mengingat luas areal ladang di NTT yang belum dimanfaatkan secara optimal, yang digarap hanya 355.971 hektar dari total luas ladang mencapai 3,6 juta hektar atau kurang dari 10 persen (BPS NTT, 2022), maka optimalisasi potensi pertanian lahan kering menjadi opsi yang cocok untuk ditanam tanaman jagung dan ubi-ubian.
Selain bermanfaat untuk pangan pengganti beras, tanaman jagung dan ubi-ubian juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, khususnya sapi dan babi. Pasalnya, NTT memiliki potensi dan pasar ternak yang menjanjikan di masa datang.
Potensi ternak di NTT juga dapat menyokong penyediaan pangan daerah dan memperkuat perkembangan serta pelestarian warisan budaya NTT yang terkait dengan tradisi penyembelihan hewan dalam upacara adat (Tolo, 2012).Â
Di masa kepemimpinan presiden Joko Widodo, NTT tengah menjadi "lumbung" ternak nasional karena produksi ternak di NTT dapat mendukung persediaan pangan nasional (Kompas, 2019).
Dengan demikian sebagian besar lahan pertanian di NTT yang bergantung pada irigasi yang terganggu oleh kekurangan air, maka upaya untuk mengubah fokus pertanian dari lahan irigasi menjadi lahan kering dengan menanam jagung dan ubi-ubian muncul sebagai solusi yang tepat.
Selain tanaman-tanaman ini terbukti lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan yang kurang air serta memiliki nilai nutrisi yang tinggi, jagung dan ubi-ubian juga dapat mendukung ketahanan pangan secara lokal, mengurangi ketergantungan pada pasokan beras dari luar, serta memperkuat keberlanjutan ekonomi masyarakat NTT.Â
Upaya ini tentu membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder untuk meredam alarm bencana pangan di NTT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H