Pertanian lahan kering dengan beragam pangan lokal terbukti menjadi solusi yang berhasil di beberapa komunitas. Sistem ini dapat memastikan ketersediaan pangan mandiri tanpa terlalu bergantung pada pasokan pangan (beras) dari luar atau bergantung bantuan pemerintah (Kompas, 20 Desember 2023).
Karenanya seruan untuk kembali ke ragam pangan lokal sebagai pengganti beras, yang adaptif terhadap kondisi lingkungan dan iklim yang berubah menjadi kunci daya tahan ketersediaan pangan masyarakat NTT. Beberapa jenis pangan lokal pengganti beras yang bisa dikembangkan adalah jagung dan ubi-ubian.
Menurut kajian beberapa ahli bahwa kondisi iklim dan geografis di NTT cocok untuk menanam jagung dan ubi-ubian. Dengan kondisi ilkim sebagaimana telah dijelaskan terdahulu di atas, tanaman jagung dan ubi merupakan tanaman pangan yang tahan kekeringan dan dapat tumbuh dengan relatif baik di lingkungan yang kurang air seperti ladang-ladang di NTT (Setiawan, 2014).
Secara geografis, wilayah NTT memiliki ketinggian rata-rata antara 100-500 meter di atas permukaan laut, dengan sebagian kecil wilayah (3,6%) berada di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Kebanyakan wilayah di NTT bergunung-gunung, lahan pertanian cenderung memiliki kemiringan lebih dari 40%, yang rentan terhadap erosi, namun jagung dan ubi-ubian tetap dapat tumbuh efektif dalam kondisi seperti ini (Tolo, 2017).
Selain itu, jagung dan ubi juga memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan dapat menjadi aspek penting dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat di NTT. Kaya akan karbohidrat, serat, vitamin, dan mineral, jagung dan ubi dapat menjadi sumber pangan yang baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi penduduk, terutama dalam kondisi sulit seperti krisis kekeringan (Irma Eva Yani, Hasnarianti Ramadhani, & Zulkifli, 2021).
Oleh karena itu, dalam menghadapi perubahan iklim yang telah memaksa masyarakat NTT bergantung pada pasokan beras dari luar, maka pengembangan dan penguatan sistem pertanian lahan kering dengan beragam pangan seperti jagung dan ubi-ubian menjadi urgen untuk mencegah bencana pangan di masa depan di NTT.
Mengingat luas areal ladang di NTT yang belum dimanfaatkan secara optimal, yang digarap hanya 355.971 hektar dari total luas ladang mencapai 3,6 juta hektar atau kurang dari 10 persen (BPS NTT, 2022), maka optimalisasi potensi pertanian lahan kering menjadi opsi yang cocok untuk ditanam tanaman jagung dan ubi-ubian.
Selain bermanfaat untuk pangan pengganti beras, tanaman jagung dan ubi-ubian juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, khususnya sapi dan babi. Pasalnya, NTT memiliki potensi dan pasar ternak yang menjanjikan di masa datang.
Potensi ternak di NTT juga dapat menyokong penyediaan pangan daerah dan memperkuat perkembangan serta pelestarian warisan budaya NTT yang terkait dengan tradisi penyembelihan hewan dalam upacara adat (Tolo, 2012).Â
Di masa kepemimpinan presiden Joko Widodo, NTT tengah menjadi "lumbung" ternak nasional karena produksi ternak di NTT dapat mendukung persediaan pangan nasional (Kompas, 2019).
Dengan demikian sebagian besar lahan pertanian di NTT yang bergantung pada irigasi yang terganggu oleh kekurangan air, maka upaya untuk mengubah fokus pertanian dari lahan irigasi menjadi lahan kering dengan menanam jagung dan ubi-ubian muncul sebagai solusi yang tepat.