Stunting masih menjadi masalah yang serius, karena berkaitan dengan soal mutu sumber daya manusia, kesehatan, kesejahteran dan keberlanjutan hidup masa depan generasi Indonesia.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan setidaknya telah melakukan intervensi spesifik melalui 2 cara utama yakni intervensi gizi pada ibu sebelum dan saat hamil, serta intervensi pada anak usia 6 sampai 2 tahun.
Upaya ini dilakukan untuk mengejar angka prevelansi stanting yang dipatok Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada 2024, yaitu masing-masing di bawah 20% dan 14% ( https://stunting.go.id, Agustus 2023).
Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran triliunan rupiah untuk mendukung Program Percepatan Pencegahan Stunting. Dalam lima tahun terakhir, anggaran kesehatan terus mengalami kenaikan.Â
Angkanya dari sebesar Rp119,9 triliun pada tahun 2020, menjadi Rp124,4 triliun pada tahun 2021, menjadi Rp134,8 triliun pada tahun 2022, menjadi Rp172,5 triliun pada tahun 2023 dan sebesar Rp186,4 triliun pada tahun 2024 ( https://stunting.go.id, Agustus 2023).
Namun demikian, meskipun pemerintah telah melakukan upaya untuk mencegahnya, prevalensi stunting masih cukup tinggi, mencapai sekitar 21,6% (Kementerian Kesehatan RI).Â
Hal ini menunjukkan bahwa masih ada tantangan besar dalam menangani masalah stanting, terutama karena dampaknya yang luas terhadap kesehatan dan kesehatan anak.
Stunting ditandai dengan pertumbuhan fisik yang terhambat pada anak, memiliki dampak jangka panjang terhadap peningkatan risiko cacat hingga penurunan kognitif dan performa. Bahkan, risiko penyakit tidak menular seperti diabetes dan kanker pada masa dewasa juga terkait dengan stunting pada masa anak-anak.
Anak dengan stunting berisiko mengalami penurunan IQ, memengaruhi prestasi akademis, dan mengurangi peluang pendidikan, pekerjaan, serta pendapatan. Stunting juga terkait dengan risiko infeksi, perkembangan psikomotor terhambat, dan keterlambatan perkembangan anak.
Faktor-faktor yang menyebabkan stunting sangat kompleks. Selain gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil dan balita, lingkungan tempat anak dibesarkan juga memainkan peran penting.Â
Praktik pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan selama masa kehamilan, kurangnya akses keluarga terhadap makanan bergizi, serta terbatasnya akses ke air bersih dan sanitasi semuanya dapat berkontribusi pada risiko stunting (Mulyaningsih, et all, 2021).
Dwan Vilcins, peneliti dari Child Health Research Centre, The University of Queensland, Australia, dalam laporannya di Annals Global Health pada 2018 menjelaskan bahwa, masalah lingkungan seperti sanitasi yang buruk dan pencemaran lingkungan juga merupakan faktor penting dalam risiko stunting.
Infeksi yang sering terjadi atau kronis dapat mengganggu penyerapan nutrisi dan mengurangi asupan makanan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan stunting.Â
Selain itu, polusi udara dan zat kimia berbahaya seperti logam berat dapat berdampak langsung pada pertumbuhan anak dan kesehatan ibu hamil.
Lebih jauh lagi, stunting juga terkait erat dengan kondisi kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia menurut data terkini menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 adalah sekitar 25,9 juta orang (kompas.id, 15 Januari 2024).Â
Kalau di Indonesia, kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah (https://www.djkn.kemenkeu.go.id, 12 September 2022).
Penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi rendah atau miskin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stunting.Â
Hal ini terkait dengan akses terbatas terhadap sumber daya, termasuk akses terhadap makanan bergizi dan layanan kesehatan yang memadai. Kemiskinan juga dapat memperburuk kondisi lingkungan tempat anak dibesarkan, seperti sanitasi yang buruk dan pencemaran lingkungan (kompas.id, 10 April 2023).
Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mencegah masalah stunting agar tidak menjadi masalah yang genting di masa depan. Diperlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi.Â
Upaya pencegahan dan penanggulangan stunting tidak hanya mencakup aspek gizi dan kesehatan, tetapi juga melibatkan perbaikan lingkungan dan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan dan sumber daya.
Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai intervensi kebijakan, program dan anggaran untuk mengurangi prevalensi stunting, seperti intervensi gizi pada ibu hamil dan anak usia 6 sampai 2 tahun. Namun, upaya ini harus terus ditingkatkan dan didukung dengan kebijakan yang komprehensif dan implementasi yang efektif.
Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi yang baik dan lingkungan yang sehat dalam mencegah stunting. Pendidikan dan advokasi juga dapat memainkan peran penting dalam mengubah perilaku dan kebiasaan yang dapat mengurangi risiko stunting.
Perlunya upaya bersama antar sektor dan pemangku kepentingan untuk mengatasi masalah stunting. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan masyarakat sipil dapat memperkuat upaya penanggulangan stunting melalui pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan.
Yang terpenting adalah dalam menghadapi kompleksitas masalah stunting, tidak ada solusi instan atau pendekatan yang dapat diterapkan secara teknis prosedural. Namun, satu hal yang menjadi kunci dalam upaya mengatasi stunting adalah dengan penanggulangan kemiskinan.
Dengan demikian, mengatasi stunting tidak hanya melibatkan upaya untuk memperbaiki asupan gizi anak dan ibu hamil, tetapi juga memerlukan pendekatan yang menyeluruh dalam memerangi kemiskinan.Â
Hal ini karena kemiskinan memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kesehatan dan nutrisi keluarga, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pertumbuhan anak sebagai generasi Indonesia mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H