masyarakat sipil semakin merasakan perjalanan demokrasi Indonesia yang mengalami langkah mundur yang mengkhawatirkan. Ancaman terhadap fondasi demokrasi tercermin dalam dua aspek utama yakni penegakan hukum yang lemah terhadap korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlangsung (Kompas, 7 Desember 2023).
AliansiPada masalah korupsi, data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Dari tahun 2004 hingga 2022, sebanyak 1.519 tersangka terlibat dalam kasus korupsi, dan tak kurang dari 521 di antaranya memiliki kaitan dengan politik. Para pelaku korupsi ini tak hanya berasal dari lingkungan legislatif seperti DPR RI dan DPRD, namun juga mencakup kepala daerah seperti gubernur, wali kota, dan bupati (Kompas, 29 Maret 2023).
Ironisnya, meskipun maraknya kasus korupsi telah menjadi sorotan masyarakat, eks napi korupsi masih mampu meraih kesempatan politik. Bahkan, partai politik masih mengusung mereka sebagai calon tetap pada Pemilu 2024. Data dari Indonesia Corruption Watch mencatat kehadiran 33 eks napi korupsi yang mencalonkan diri melalui partai politik untuk menjadi anggota DPR dan DPRD pada Pemilu dan Pilkada 2024 (Kompas, 30 Agustus 2023).
Tidak hanya korupsi, Komnas HAM pun memberikan penilaian yang memprihatinkan terhadap POLRI, dengan menyoroti penggunaan kekerasan berlebih pada tahun 2022. Kasus-kasus seperti di Wadas (Jateng), Pulau Rempang (Kepulauan Riau) dan Tragedi Kanjuruhan (Jatim) menjadi contoh yang mencuat di public (news.detik.com, 2023)
Kondisi ini menggambarkan betapa rapuhnya demokrasi di Indonesia. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap integritas politikus dan penegakan hukum merosot, fondasi demokrasi terancam. Kebijakan politik yang tidak memadai dalam menanggulangi korupsi serta perlindungan hak asasi manusia yang belum memadai dapat menghambat kemajuan menuju demokrasi yang sehat dan berkembang.
Sebagaimana dikatakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, bahwa demokrasi di Indonesia tengah dalam proses resesi yang ditandai dengan melemahnya kebebasan berekspresi juga tidak adanya oposisi aktif di parlemen, kemudian membuat kekuasaan berjalan tanpa control (Kompas, 7 Desember 2023).
Pernyataan Usman Hamid di atas sebenarnya menggarisbawahi perjalanan dan dinamika demokrasi di Indonesia, bahwa meskipun Indonesia memiliki sejarah panjang dalam demokrasi, namun dalam beberapa tahun terakhir, terjadi beberapa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, termasuk pembatasan terhadap aktivitas jurnalistik, ruang gerak organisasi masyarakat sipil, serta kasus-kasus penindasan terhadap pengkritik pemerintah.Â
Sebagaimana kasus Haris Azhar terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menambah kompleksitas isu perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi (news.detik.com, 2023). Semua ini mencerminkan potensi ancaman terhadap demokrasi yang sehat dan inklusif.
Kurangnya oposisi aktif di parlemen melemahkan kontrol dan keseimbangan dalam sistem politik, mengarisbawahi opini Egi Primayogha dan Bavitri (Kompas, 7 Desember 2023) bahwa parlemen telah dikuasai oleh elit oligarki yang berasal dari elit partai, pengusaha. Mereka masuk dalam parlemen melewati pemilu oligarkis yang kemudian menghasilkan buah pahit demokrasi.
Ketika oligarki menjadi dominan dalam suatu sistem politik, menjadi ancaman serius bagi demokrasi, karena oligarki cenderung mengonsolidasikan kekuatan di tangan sekelompok kecil elit politik (Winters, 2014). Inilah buah pahit demokrasi yang mengkondisikan penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi proses politik, pembajakan institusi negara, stagnasi sirkulasi politik, pengekangan hak-hak dasar masyarakat, dan kebijakan publik.
Selain karena cengkraman elit oligarki yang kuat dan dominan dalam sistem politik, menurut Antonius Steven Un (Kompas, 23 Oktober 2022) bahwa cengkraman elit oligarki juga merenggut independensi para pegiat, terutama kalangan intelektual, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil.
Terdapat keyakinan bahwa dengan memegang posisi kekuasaan politik, mereka dapat memberikan perubahan yang lebih besar dalam masyarakat. Keterlibatan dalam politik seringkali dianggap sebagai jalur yang lebih langsung dan efektif untuk mewujudkan perubahan dibandingkan dengan upaya mereka di masyarakat sipil.
Akan tetapi, sebagian besar dari mereka yang melangkah ke ranah politik menemui kegagalan. Menurut Antonius Steven Un, hal ini disebabkan oleh kecenderungan mereka yang terlalu naif atau kurangnya dukungan sumber daya dalam kompetisi yang didominasi oleh transaksi politik dan kekuasaan oligarkis (Kompas, 23 Oktober 2022).
Mereka mungkin memiliki semangat yang tinggi untuk membawa perubahan, namun lingkungan politik yang serba transaksional dan oligarkis juga menjadi penghalang utama. Politik praktis seringkali diwarnai dengan hubungan yang didasarkan pada pertukaran kepentingan atau transaksi politik. Bagi para pegiat yang berkomitmen pada nilai-nilai etika dan integritas, hal ini bisa menjadi konflik moral yang besar. Mereka mungkin merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan politik yang terlalu terfokus pada kepentingan sempit dan praktik korupsi.
Menghadapi kondisi ini, maka untuk memperbaiki sistem demokrasi Indonesia menurut Antonius Steven Un memerlukan "kesalingtergantungan institusional" (institutional interdependencies). Ide tentang kesalingtergantungan institusional berarti adanya penyatuan secara intrinsik seluruh elemen atau entitas-entitas masyarakat sipil untuk menyusun langkah-langkah politik mengurangi kemunduran demokrasi. Ide kesalingtergantungan institusional ditempuh agar entitas-entitas masyarakat sipil tidak terjebak pada ego sektoral, tidak mengalami fragmentasi dan pada gilirannya tidak bergerak secara sporadic (Kompas, 23 Oktober 2022).
Akan tetapi menurut penulis, dewasa ini, entitas-entitas masyarakat sipil adalah bentukan negara, LSM atau penguasa dan pengusaha. Entitas masyarakat sipil semacam ini adalah organisasi borjuis dan bukan organisasi masyarakat sipil progresif revolusioner yang berlandasakan pada perspektif kelas.
Entitas masyarakat sipil seperti ini menuai beberapa persoalan baik watak dan karakter gerakannya. Pertama; cenderung menempuh jalur pergerakan yang bertendensi "kolaborasi kelas" dan selalu "menitipkan" agenda perjuangan kepada elit-elit borjuasi dan oligarkis. Sehingga menyebabkan, kedua; entitas masyarakat sipil semacam ini tidak mampu memetakan siapa kawan dan siapa lawan untuk memajukan potensi gerakan dan perjuangan guna menyelesaikan persoalan kerakyatan di Indonesia.
Oleh karena itu, hemat penulis, entitas masyarakat sipil mesti menjadi aliansi yang bertransformasi menjadi gerakan politik berpespektif kelas yang progresif revolusiner, independen dan permanen dengan mengorganisasi kelas-kelas pekerja seperti petani, buruh, pemuda/pemudi, mahasiswa/i, dll untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H