Terdapat keyakinan bahwa dengan memegang posisi kekuasaan politik, mereka dapat memberikan perubahan yang lebih besar dalam masyarakat. Keterlibatan dalam politik seringkali dianggap sebagai jalur yang lebih langsung dan efektif untuk mewujudkan perubahan dibandingkan dengan upaya mereka di masyarakat sipil.
Akan tetapi, sebagian besar dari mereka yang melangkah ke ranah politik menemui kegagalan. Menurut Antonius Steven Un, hal ini disebabkan oleh kecenderungan mereka yang terlalu naif atau kurangnya dukungan sumber daya dalam kompetisi yang didominasi oleh transaksi politik dan kekuasaan oligarkis (Kompas, 23 Oktober 2022).
Mereka mungkin memiliki semangat yang tinggi untuk membawa perubahan, namun lingkungan politik yang serba transaksional dan oligarkis juga menjadi penghalang utama. Politik praktis seringkali diwarnai dengan hubungan yang didasarkan pada pertukaran kepentingan atau transaksi politik. Bagi para pegiat yang berkomitmen pada nilai-nilai etika dan integritas, hal ini bisa menjadi konflik moral yang besar. Mereka mungkin merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan politik yang terlalu terfokus pada kepentingan sempit dan praktik korupsi.
Menghadapi kondisi ini, maka untuk memperbaiki sistem demokrasi Indonesia menurut Antonius Steven Un memerlukan "kesalingtergantungan institusional" (institutional interdependencies). Ide tentang kesalingtergantungan institusional berarti adanya penyatuan secara intrinsik seluruh elemen atau entitas-entitas masyarakat sipil untuk menyusun langkah-langkah politik mengurangi kemunduran demokrasi. Ide kesalingtergantungan institusional ditempuh agar entitas-entitas masyarakat sipil tidak terjebak pada ego sektoral, tidak mengalami fragmentasi dan pada gilirannya tidak bergerak secara sporadic (Kompas, 23 Oktober 2022).
Akan tetapi menurut penulis, dewasa ini, entitas-entitas masyarakat sipil adalah bentukan negara, LSM atau penguasa dan pengusaha. Entitas masyarakat sipil semacam ini adalah organisasi borjuis dan bukan organisasi masyarakat sipil progresif revolusioner yang berlandasakan pada perspektif kelas.
Entitas masyarakat sipil seperti ini menuai beberapa persoalan baik watak dan karakter gerakannya. Pertama; cenderung menempuh jalur pergerakan yang bertendensi "kolaborasi kelas" dan selalu "menitipkan" agenda perjuangan kepada elit-elit borjuasi dan oligarkis. Sehingga menyebabkan, kedua; entitas masyarakat sipil semacam ini tidak mampu memetakan siapa kawan dan siapa lawan untuk memajukan potensi gerakan dan perjuangan guna menyelesaikan persoalan kerakyatan di Indonesia.
Oleh karena itu, hemat penulis, entitas masyarakat sipil mesti menjadi aliansi yang bertransformasi menjadi gerakan politik berpespektif kelas yang progresif revolusiner, independen dan permanen dengan mengorganisasi kelas-kelas pekerja seperti petani, buruh, pemuda/pemudi, mahasiswa/i, dll untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H