Poligami, sebuah kata yang seringkali terdengar memiliki kesan pengkhianatan. Apa sih makna poligami yang sebenarnya? Poligami merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan cara menikahi perempuan lebih dari satu.Â
Terdapat berbagai alasan mengapa dilakukannya poligami bagi pihak laki-laki. Mayoritas pihak laki-laki menikahi perempuan lebih dari satu dikarenakan ingin memperbanyak keturunan.Â
Namun, berbagai alasan yang dilontarkan tidak akan artinya jika tidak mendapatkan persetujuan dari istri pertamanya.Â
Peran dari istri pertama dalam tindakan poligami yang dilakukan oleh sang suami sangatlah penting, diketahui syarat utama diperbolehkannya melakukan poligami adalah restu dan persetujuan dari istri.
Jika kita berbicara poligami, tentu akan menuai respon di masyarakat. Respon-respon tersebut dilontarkan kepada pelaku poligami serta keluarga pelaku poligami.
Respon yang diberikan tentu bermacam-macam dan tidak selalu positif. Ada sebagian orang yang memberikan respon atas tindakan poligami ini dengan tidak biasa.Â
Tidak biasa di sini bermakna adanya penolakan atau ketidaksetujuan atas adanya tindakan poligami di budaya Indonesia. Namun, kembali lagi ke tujuan awalnya, faktor-faktor dilakukannya poligami pasti ada berbagai macam.
Kita sebagai masyarakat harus bisa memandang adanya fenomena poligami dari berbagai sudut pandang. Karena memang telah kita ketahui, fenomena poligami ini menuai pro dan kontra di masyarakat, terlebih jika diterapkan di budaya negara kita, Indonesia.
Poligami tidak selamanya baik dan tidak pula selamanya buruk, tergantung bagaimana kita memandangnya. Fenomena poligami dapat dilakukan oleh siapa saja yang menginginkannya, dalam poligami tidak terdapat batasan bagi yang ingin melakukannya asalkan syarat-syaratnya terpenuhi.Â
Terlebih seorang ustadz ataupun kyai boleh melakukan poligami. Adanya poligami dalam sebuah keluarga tentu memunculkan berbagai masalah keluarga. Permasalahan yang pertama kali muncul saat adanya poligami adalah adanya perebutan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup keluarga seperti makanan dan pakaian. Lalu untuk problem yang lain adalah problem psikologis dalam keluarga poligami. Yang di mana pada problem psikologis di sini bermakna adanya konflik bersifat internal yang terjadi dalam keluarga. Konflik tersebut bisa terjadi antara istri-istri ataupun istri dengan anak tiri. Tidak hanya itu, konflik juga bisa muncul ketika sang ayah tidak bisa memberikan perlakuan yang adil kepada istri ataupun anak-anaknya. Hal tersebut tentu melahirkan perasaan cemburu, marah, serta iri dalam hubungan keluarga. Dengan adanya berbagai konflik tersebut pasti berpengaruh pada kondisi psikis anak.Â
Kasus Poligami Kyai Hafidin
Kasus poligami yang dapat dijadikan contoh yakni kasus poligami Kyai Hafidin. Poligami yang dilakukan oleh Kyai Hafidin ini sudah cukup terkenal di Indonesia. Kyai Hafidin dikenal masyarakat luas sebagai mentor poligami secara berbayar.
 Perlu diketahui, Kyai Hafidin sendiri telah berkali-kali melakukan poligami. Beliau mengaku bahwa beliau pernah menikahi enam perempuan sekaligus. Namun, hingga sekarang beliau hanya bertahan dengan empat istrinya dan dua istrinya sudah dilepas.
Kyai Hafidin tentu memiliki alasan tersendiri mengapa beliau melakukan tindak poligami. Ya, alasan Kyaii Hafidin menikahi beberapa perempuan ialah ingin memiliki keturunan yang banyak.
Namun, menurut penuturan beliau, beliau menikahi perempuan – perempuan yang masih di bawah umur dan kategori belum layak menikah. Hal tersebut dilakukan beliau dengan tujuan agar perempuan yang menjadi istrinya nanti masih awet muda dan tidak terjadi menopause secepat mungkin.
 Alih-alih takdir berkata lain, istri pertama dari Kyai Hafidin mengalami menopause. Kemudian, Kyai Hafidin tidak melanjutkan hubungannya dengan istri pertama tersebut. Alasan yang kedua beliau melakukan poligami ialah menolong seorang janda. Namun pada akhirnya tidak layak untuk diteruskan, begitu tuturnya.
Alasan yang dilontarkan Kyai Hafidin bisa dibilang masuk akal, namun kembali lagi pada target poligaminya. Jika beliau berpoligami dengan alasan ingin memperbanyak keturunan, namun dengan target perempuan-perempuan yang masih di bawah umur itu bisa dinyatakan tindakan yang salah.Â
Mengapa demikian? Di Indonesia terdapat aturan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengenai usia minimal diperbolehkan melakukan pernikahan. Berdasarkan syarat pernikahan di KUA, usia minimal yang ditentukan ialah 19 tahun.Â
Oleh karena itu, tindakan poligami yang dilakukan Kyai Hafidin tersebut bisa dikatakan salah karena target yang dituju tidak sesuai dengan usia minimal perempuan layak menikah.
Gimana Sih Solusi yang Ditawarkan dengan Adanya Problematika Poligami ?
Banyaknya kasus mengenai problematika poligami di Indonesia tentu membuat para perempuan di Indonesia merasa khawatir akan dirinya. Kekhawatiran tersebut dapat dikatakan normal jika muncul di benak para perempuan. Perlu kita ketahui bahwa tidak selamanya fenomena poligami ini boleh dilakukan.
Sebab, jika poligami yang dilakukan dinilai tidak sesuai syariat akan berpotensi merugikan perempuan. Maka dari itu, sangat diperlukan syarat-syarat diperbolehkannya poligami sesuai dengan aturan dan syariat yang telah berlaku.
Adanya poligami dalam keluarga pastinya memunculkan berbagai problem. Namun, adanya problematika tersebut dihadirkan sebagai solusi. Jadi, carilah solusi yang tepat untuk mengatasinya. Berbagai problem yang dimaksud di antaranya adalah ketidakadilan sang suami kepada istri ataupun anak-anaknya sehingga muncul perasaan iri dengan sesama istri atau anak yang lainnya. Solusi yang bijak dalam problematika tersebut yaitu sebagai suami sekaligus ayah pelaku tindak poligami, sudah seharusnya berlaku adil kepada para istri dan anak-anaknya. Adil di sini bukan hanya diartikan adil dalam pembagian urusan finansial. Namun juga adil dalam hal pembagian waktu, kasih sayang, serta perhatian kepada istri dan anak-anaknya. Selain itu, konflik juga dapat terjadi pada suami dengan istri yang bersifat internal seperti masih adanya rasa cemburu dengan istri lain. Munculnya problematika tersebut tentu menyebabkan adanya kerenggangan atau keretakan dalam suatu hubungan. Dalam hal itu, peran komunikasi dalam suatu hubungan sangatlah penting. Bicarakan dengan baik-baik apa permasalahannya, keluarkan segala perasaan dan pikiran-pikiran yang dirasa janggal agar ke depannya bisa menjadi pribadi yang lebih baik serta dapat meminimalisir terjadinya konflik internal antara suami dan istri.Â
Artikel ini dibuat berdasarkan hasil dari diskusi kelas mata kuliah Kinship dan Sosiologi Keluarga. Yang di mana mata kuliah ini membahas mengenai kajian-kajian keluarga berupa interaksi, realitas, serta perubahan dalam lingkup keluarga melalui sudut pandang sosiologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H