Mohon tunggu...
Helmi Faisal 55522110039
Helmi Faisal 55522110039 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Pajak International

Helmi Faisal Kholagi 55522110039; Jurusan Magister Akuntansi; Fakultas Ekonomi dan Bisnis; Universitas Mercubuana; Mata Kuliah Pajak International; Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 7 Diskursus Peleburan Fusi Horizon Sistem P3B Metode Gadamer

24 Oktober 2023   09:56 Diperbarui: 24 Oktober 2023   10:26 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa Pengertian Fusi Horison sebagai Konsep Kunci dalam Hermeneutika Hans-Georg Gadamer

Konsep horison dalam buku Truth and Method didasarkan pada pemikiran fenomenologis Edmund Husserl. Horison merupakan elemen kunci yang digunakan untuk menganalisis struktur pengalaman, yakni untuk menyelidiki esensi dari apa yang terjadi ketika seseorang mengalami sesuatu. Dalam konteks ini, horison berfungsi sebagai alat untuk menyelidiki pengalaman mengenai pengalaman itu sendiri.

Horison dapat dijelaskan sebagai kisaran pandangan yang dimiliki oleh individu ketika mereka memandang dunia objek dari sudut pandang tertentu. Sudut pandang ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti persepsi, kesan, pengalaman, dan keyakinan yang dimiliki individu. Horison mewakili cermin dari persepsi individu terhadap objek-objek sehari-hari yang berkembang selama proses pemahaman, membuka ruang di mana segala sesuatu dapat dilihat. Sebagai analogi, horison dapat diibaratkan sebagai jendela yang memberikan akses dan kesempatan untuk terhubung dengan dunia di luar diri kita. Seperti jendela yang menghubungkan pandangan kita dengan dunia luar, horison memberikan kerangka pandangan dan penilaian terhadap dunia.

Horison tidak hanya mencakup sudut pandang, tetapi juga mencakup situasi-situasi konkret yang memengaruhi bagaimana seseorang memandang, menilai, mempertimbangkan, dan memahami sesuatu. Jangkauan atau cakupan horison merentang di dalam pandangan kita, memungkinkan kita melihat realitas objek dari berbagai sudut atau dimensi. Setiap aktifitas memahami atau pemahaman yang dimiliki seseorang selalu berasal dari, dilatarbelakangi oleh, dan berada dalam suatu horison tertentu. Dengan kata lain, horison menjadi prasyarat esensial bagi setiap tindakan memahami yang kita lakukan. Karena proses memahami selalu melibatkan horison yang kita miliki, maka aktifitas memahami itu sendiri memiliki sifat perspektif dan dimensional.

Salah satu aspek yang menarik dari konsep horison adalah sifat dinamis dan terbuka yang dimilikinya. Berbeda dengan konsep statis dan tertutup, horison bersifat terbuka dan dinamis, memungkinkan adanya eksplorasi terhadap horison-horison yang berbeda. Eksplorasi ini membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi individu untuk memahami totalitas objek dari berbagai dimensi. Proses eksplorasi ini terjadi melalui perjumpaan dengan horison-horison lain, dan konsep fusi horison yang diperkenalkan oleh Gadamer menjadi relevan di sini.

Fusi horison dapat dipahami sebagai respon terhadap pandangan hermeneutika menurut Schleiermacher dan Dilthey. Hermeneutika Schleiermacher menekankan pada sifat fungsional dan mencari solusi untuk ketidakpahaman atau kesalahpahaman antara pembaca dan penulis. Interpretasi, menurut Schleiermacher, adalah proses memahami yang terjadi dalam hubungan antara pembaca dan pengarang. Di sisi lain, hermeneutika Dilthey menyoroti metodologi untuk mendekati realitas sosial dan sejarah, dengan fokus pada tindakan manusia sebagai ekspresi kehidupan batin-individual dan sosial.

Gadamer, dalam merespon pandangan tersebut, menyatakan bahwa interpretasi bersifat produktif sebagai hasil dari hubungan antara pembaca dan karya seni. Dia menekankan pada "dialog" antara pembaca dan teks, di mana teks diperlakukan sebagai entitas yang berbicara atau "engkau" yang menyatakan dirinya. Fusi horison, dalam konteks ini, dapat diartikan sebagai model saling memahami di mana horison pembaca dan horison teks bersatu dalam interaksi dinamis.

Penting untuk mencatat bahwa aktivitas memahami selalu terpapar dampak-dampak historis, sesuai dengan pandangan Gadamer. Setiap penafsir berada dalam konteks sejarah, dan horison pembaca terbentuk oleh sejarah pengaruh dan prasangka-prasangka. Fusi horison, dalam hal ini, terjadi dalam perjumpaan antara horison-horison masa lampau dan masa kini sebagai dampak-dampak historis yang membentuk seluruh aktivitas memahami.

Ketika seseorang terlibat dalam aktivitas memahami, fusi horison di dalam dirinya berkembang menjadi suatu bangunan pemahaman yang semakin luas. Ini terjadi melalui penilaian, evaluasi, dan kesadaran terhadap horison-horison yang berbeda. Setiap perjumpaan dengan horison yang berbeda menempatkan horison yang sudah ada untuk diuji, dievaluasi, dan disadari, membuka peluang untuk perluasan dan pengayaan pemahaman.

Dengan demikian, fusi horison dapat dilihat sebagai esensi dari keseluruhan proses aktivitas memahami secara eksistensial. Ini mencerminkan pertemuan yang melibatkan horison-horison masa lalu dan masa kini, saling memperkaya dan melengkapi satu sama lain. Melalui fusi horison, individu dapat membentuk pandangan yang lebih luas dan kompleks terhadap dunia, memberikan dimensi formatif yang signifikan bagi pembangunan horison pemahaman seseorang.

Dalam konteks ini, fusi horison juga memiliki dampak pada pembangunan karakter individu sebagai sosok manusia yang mampu berdialog dengan baik. Kemampuan untuk memahami melalui fusi horison memungkinkan seseorang untuk memiliki wawasan yang lebih dalam, kepekaan terhadap konteks sejarah, dan kemampuan untuk melihat situasi dari berbagai perspektif. Oleh karena itu, fusi horison bukan hanya sekadar konsep teoretis, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam membentuk kualitas manusia sebagai makhluk sosial.

Dalam kesimpulannya, konsep horison dalam Truth and Method memiliki peran sentral dalam memahami struktur pengalaman dan pembentukan pemahaman individu. Horison menjadi kerangka perspektif dan dimensional yang memengaruhi semua aktivitas memahami. Sifat dinamis dan terbuka horison memungkinkan eksplorasi dan fusi horison, yang memberikan dimensi formatif pada pembangunan pemahaman seseorang. Fusi horison juga memberikan wawasan yang lebih dalam terhadap sejarah dan konteks, membentuk karakter individu yang mampu berdialog dengan berbagai pandangan. Sebagai konsep yang mengakar dalam fenomenologi, horison dan fusi horison mengajak kita untuk melihat pemahaman sebagai proses yang terus berkembang, terbuka terhadap keragaman perspektif, dan membentuk esensi eksistensial manusia.

ddtc.go.id
ddtc.go.id

Mengapa Proses Kerja Fusi Horison Memberikan Kontribusi bagi Pembentukan Karakter Dialogis

Konsep fusi horison, dalam konteks pemahaman manusia, dapat dipahami sebagai suatu proses yang mendalam dan kompleks. Dalam menggali makna ini, kita dapat merenungkan bagaimana konsep ini berperan sebagai elemen integral dari cara kita berinteraksi, bereksistensi, dan berelasi dengan sejarah, kebudayaan, serta sesama manusia. Fusi horison, pada hakikatnya, memainkan peran formatif dalam membentuk karakter dialogis manusia.

Pertama-tama, kita dapat menjelajahi bagaimana fusi horison bekerja dalam konteks aktivitas memahami, memandangnya sebagai suatu pola lingkaran hermeneutik yang melibatkan proses menyeluruh dan komprehensif. Gagasan inti di sini adalah hubungan timbal-balik dan terbuka antara elemen-elemen umum dan khusus, lama dan baru, masa lalu dan masa sekarang. Ini melibatkan merengkuh horison baru tanpa meninggalkan yang lama, ekspansi pemahaman terhadap hal-hal yang dianggap belum diketahui, dan membuka dimensi keterhubungan mutlak antara parsialitas dan universalitas. Pola gerak lingkaran hermeneutik ini menggambarkan dinamisme, keterbukaan, dan keterbatasan horison-horison yang terlibat dalam suatu tindakan memahami.

Kedua, fusi horison membentuk kerangka pemahaman melalui proses penyadaran, penerimaan, dan pengakuan atas prasangka-prasangka yang memengaruhi atmosfer proses memahami. Proses ini melibatkan pengakuan terhadap "bangunan" pemahaman yang terbentuk secara sedimentatif, historis, kultural, dan dinamis-terbuka. Penyadaran terhadap prasangka-prasangka ini memainkan peran penting dalam menjaga keaslian dialog antar budaya. Tanpa menyadari prasangka-prasangka yang mungkin memengaruhi persepsi, dialog dapat terjebak dalam "tirani" prasangka yang dapat menghalangi pertukaran ide dan pemahaman yang sebenarnya.

Proses penyadaran prasangka-prasangka terjadi ketika kita memasuki relasi dan komunikasi dialogis. Prasangka-prasangka ini menjadi bagian dari kesadaran verbal kita, dan tugas hermeneutika adalah melihat apakah prasangka-prasangka tersebut menguatkan atau memperlemah komunitas hermeneutik. Proses transformasi prasangka-prasangka ini melibatkan dialog dalam bentuk lingkaran hermeneutik, di mana prasangka-prasangka yang tidak konsisten dengan kebutuhan makna diselaraskan dengan makna-makna yang lebih luas dan universal. Hasilnya adalah transformasi prasangka ke dalam bentuk-bentuk baru yang lebih selaras dan adaptif dengan lingkungan hidup kita.

Ketiga, kita perlu memahami bahwa dimensi formatif fusi horison tidak hanya mencakup dinamika horison individu, tetapi juga terkait dengan batasan dan kondisi historis, linguistik, dan kultural. Aktivitas memahami selalu terjadi dalam konteks sejarah, bahasa, dan kebudayaan, dan persoalan keterbatasan dan keterkondisian memahami membuka pintu ke dunia relasional antara horison individu dan horison sejarah, bahasa, serta kebudayaan.

Rasionalitas hermeneutik bekerja dalam jejaring dan keterhubungan dengan makna-makna yang lebih besar. Aktivitas memahami yang terbatas, terkondisikan, atau tersituasikan melibatkan pengungkapan makna melalui keterhubungan rasio dengan jejaring makna yang lebih besar. Dalam kerangka ini, keterbatasan aktivitas memahami membuka peluang untuk perjumpaan dan pengalaman hermeneutik melalui dialog, di mana hubungan atau relasi menjadi kunci untuk membuka ruang-ruang dialog antar budaya.

Keempat, kita memahami bahwa dimensi formatif fusi horison berperan dalam membentuk manusia sebagai sosok yang berkarakter dialogis. Konsep Bildung, yang terkait dengan formasi, transformasi, dan budaya, menjadi relevan di sini. Proses pembentukan dan pendidikan manusia dalam konsep Bildung menciptakan individu yang mampu menemukan hubungan antara kesatuan umum dan aspek-aspek yang berbeda, serta bentuk-bentuk universal dalam hal-hal yang bersifat partikular.

Bildung membantu membangun manusia berkarakter dialogis dengan mengajarkan proses internalisasi tradisi. Sejarah, tradisi, dan kebudayaan dianggap sebagai "engkau" dengan siapa "aku" menjalin relasi dialogis. Dalam konteks ini, tindakan memahami tidak hanya sebagai menempatkan sejarah, tradisi, dan kebudayaan sebagai objek pemahaman, melainkan sebagai tindakan yang selalu terhubung secara aktif dengan elemen-elemen tersebut.

Fusi horison dalam pandangan hermeneutik Gadamer memberikan kontribusi penting dalam upaya untuk saling memahami melalui pembentukan karakter manusia sebagai sosok yang berkarakter dialogis. Dalam konteks dialog antar budaya, langkah-langkah untuk membentuk manusia berkarakter dialogis melibatkan kesediaan untuk terlibat dalam proses pembentukan dan pendidikan, menyadari prasangka-prasangka yang mungkin memengaruhi persepsi, memahami keterbatasan dan keterkondisian dalam aktivitas memahami, dan membuka diri terhadap hubungan dan relasi sebagai kunci untuk dialog yang autentik.

Pentingnya pokok persoalan dan bahasa bersama dalam dialog antar budaya menjadi fokus dalam pemahaman konsep ini. Proses menemukan bahasa bersama melibatkan tahap awal di mana bahasa bersama adalah medium pembentukan internal dan kemudian bertransformasi menjadi bahasa yang hidup dalam dialog antar budaya. Bahasa bersama menciptakan jalan menuju ke dialog yang lebih dalam dan memungkinkan transformasi pemikiran bersama.

Dengan demikian, konsep fusi horison dalam hermeneutika Gadamer bukan hanya sekadar teori pemahaman, melainkan merupakan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana manusia dapat membentuk karakter dialogis melalui proses pembentukan, kesadaran prasangka-prasangka, keterbatasan dan keterkondisian memahami, serta hubungan dialogis dengan sejarah, tradisi, dan kebudayaan. Dengan memahami konsep ini secara menyeluruh, kita dapat mengembangkan landasan untuk menciptakan dialog antar budaya yang autentik dan bermakna.

Bagaimana Relevansi untuk Dialog antar Budaya di Indonesia

Dalam upaya membangun dialog antar budaya di Indonesia, konsep hermeneutik fusi horison memiliki relevansi yang besar. Pemahaman konsep ini memberikan landasan filosofis dan metodologis untuk mengeksplorasi cara manusia dapat saling memahami dan menjembatani perbedaan budaya dalam konteks keanekaragaman masyarakat Indonesia.

Gagasan utama dalam fusi horison adalah bahwa melalui proses pembelajaran (Bildung), manusia dapat menemukan hal-hal yang universal dalam peristiwa-partikular. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya, pendekatan ini menjadi kunci untuk memahami dan menghargai berbagai tradisi, adat, dan kepercayaan yang hidup berdampingan.

Proses fusi horison bukanlah tugas yang mudah di Indonesia, mengingat kompleksitas dan tingginya tingkat kemajemukan di negara kepulauan terbesar di dunia ini. Keanekaragaman budaya tidak hanya menjadi potensi kekayaan tetapi juga tantangan besar untuk mencapai harmoni dalam dialog antar budaya. Hal ini terwujud dalam beragam prasangka historis, linguistik, dan budaya yang mungkin mempengaruhi interaksi antar kelompok.

Dalam menghadapi tantangan ini, kesadaran akan prasangka-prasangka menjadi kunci untuk membangun pemahaman bersama. Setiap upaya untuk membangun dialog antar budaya memerlukan kemauan untuk berkomunikasi dan mendengarkan satu sama lain. Penyadaran terhadap prasangka-prasangka ini memungkinkan individu dan kelompok untuk saling memahami titik tolak dan perspektif masing-masing.

Proses penyadaran prasangka-prasangka ini tidak hanya menjadi landasan untuk saling memahami, tetapi juga membuka jalan bagi proyeksi ke arah keutuhan makna hidup bersama. Dalam konteks ini, proyeksi keutuhan makna-makna bersifat menyatukan dan menjembatani perbedaan horison historis, linguistik, dan kultural. Proyeksi ini memungkinkan masyarakat Indonesia menemukan bahasa bersama dalam praksis berdialog.

Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, menjadi representasi konkret dari konsep fusi horison dalam kehidupan berbudaya. Pancasila tidak hanya sebuah rumusan formal, tetapi juga proses "menjadi" landasan berdialog antar budaya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mencerminkan hasil dari interaksi dan perjumpaan dialogis masyarakat Indonesia dengan berbagai latar belakang budaya.

Sebagai pandangan hidup, nilai-nilai Pancasila perlu terus mengalami proses penyadaran, penghayatan, pendalaman, dan penegasan dalam "dunia-batin" masyarakat. Penghargaan terhadap nilai-nilai universal dalam kelima sila Pancasila dapat menjadi bahasa bersama yang menjembatani dialog antar budaya. Pancasila bukan hanya warisan sejarah tetapi juga narasi kebudayaan yang mengaktualisasikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, proses pembentukan bahasa bersama dan kesepahaman umum memerlukan penghayatan nilai-nilai Pancasila secara kreatif. Pancasila bisa dianggap sebagai narasi kebudayaan yang menciptakan rasa kebersamaan dan komunalitas dalam hidup bersama. Melalui narasi kebudayaan ini, nilai-nilai universal Pancasila dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk dialog antar budaya.

Penting untuk membedakan antara Pancasila sebagai rumusan dasar negara dan Pancasila sebagai proses "menjadi" landasan berdialog antar budaya. Sebagai rumusan dasar negara, Pancasila terdapat dalam rumusan kelima silanya. Namun, sebagai proses "menjadi", Pancasila terus mengalami evolusi dalam "dunia-batin" masyarakat, menjadikannya lebih dari sekadar dokumen sejarah.

Penyegaran pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila perlu menjadi fokus utama agar Pancasila tetap hidup dan relevan sebagai landasan berdialog antar budaya. Proses ini juga membantu menghadapi aneka bahaya ekstremisme dengan memperkuat nilai-nilai universal yang terkandung dalam Pancasila.

Dengan demikian, konsep hermeneutik fusi horison memberikan landasan filosofis yang kuat untuk memahami dan menghadapi kompleksitas dialog antar budaya di Indonesia. Melalui pemahaman nilai-nilai Pancasila dan proses fusi horison, masyarakat Indonesia dapat membangun bahasa bersama yang memungkinkan dialog yang autentik dan bermakna, menjembatani perbedaan budaya menuju kehidupan bersama yang harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method. Terj. Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall. London: Continuum, 2004.

Gusmao, Martinho G. Da Silva. Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang Mengagungkan Tradisi. Yogyakarta: Kanisius, 2012.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Prasetyono E. Fusi Horison Dalam Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Model Saling Memahami Dalam Dialog Antar Budaya. Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Jakarta, 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun