Mohon tunggu...
Helma Herawati
Helma Herawati Mohon Tunggu... Guru - GURU SD NEGERI JETIS 1 YOGYAKARTA & PENDIRI PONPES AN-NUUR KERINCI

HELMA HERAWATI, Lahir di Siulak Panjang- Kerinci-Jambi, Hobby membaca dan menulis, Pekerjaan Guru SD Negeri Jetis 1 Yogyakarta dan Pembina Pondok Pesantren AN-NUUR KERINCI

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sedekah Ijazah

29 November 2022   22:37 Diperbarui: 3 Desember 2022   21:42 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Andai ijazah boleh disedekahkan, akan saya berikan pada orang yang membutuhkan, faktanya di luar sana masih banyak yang membutuhkan ijazah, ribuan mahasiswa yang sedang berjuang untuk memperoleh ijazah. Itu merupakan bukti bahwa ijazah sangat diperlukan. Terkadang setelah kita dapat ijazah itu diabaikan.

Di sisi lain, walau mereka membutuhkan dan saya sedekahkan kepada mereka. Sedekah saya tidak berarti apa-apa dan tidak bermanfaat bagi mereka. Lalu untuk apa ijazah saya? Hanya di simpan sebagai dokumen. Tanda saya pernah kuliah. Pernah berjuang untuk mendapatkannya.

Yaa..., untuk mendapatkan ijazah itu perlu perjuangan pengorbanan. Setidaknya korban uang, tenaga, dan waktu. Pada saat wisuda, Saya terima ijazah itu dengan senyum terindah, itulah seyuman ketika saya berjuang melawan air mata.

          Inilah kisah perjuangan saya.

Sebelas  tahun yang lalu, dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan saya nekat untuk melanjutkan studi pada program Pasca Sarjana (S2) Jurusan Teknologi Pendidikan di Universitas Jambi. Berharap akan dapat bantuan beasiswa dari pemerintah Provinsi, tapi saya hanya mendapatkan surat izin kuliah dari bupati. 

Saya kuliah secara mandiri, semua keungan saya tanggulangi sendiri, seperti SPP, membeli buku, fotokopi, dan sebagainya semua itu biaya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah atau pun pihak lain.

Semangat tetap membara, walaupun harus berpacu dengan waktu. Pagi saya menunaikan tugas sebagai guru SD pulang pukul 12.30 WIB, sore kuliah sampai malam, dari pukul 13.30 -- 20,30 WIB, pulang kuliah malam hari harus mendampingi anak-anak mengerjakan PR, setelah itu mengerjakan tugas dari kampus, apalagi ketika melaksanakan penelitian dan menyusun laporan thesis, benar-benar menguras tenaga dan pikiran. 

Hidup yang serba kekurangan  juga membuat kita kesulitan untuk memiliki buku referensi hingga saya harus mencari kemana-mana,  ke perpustakaan kampus, perpustakaan wilayah, meminjam pada teman, dan lain-lain.  Itulah rutunitas yang saya jalani selama 2 tahun 3 bulan, betapa sulitnya membagi waktu karna saya adalah orang tua tunggal dari kedua putra putri saya yang masih kecil sudah yatim dan kedua adik saya yang sudah yatim piatu.

 Berangkat dari rumah menuju kampus menggunakan sepeda motor Supra Fit. Menempuh perjalanan 20 km, di tengah keramaian kota selalu berhadapan dengan sopir angkot yang ugal-ugalan sering membuat sport jantung. 

Selain itu, ketika sudah berada di daerah luar kota dan harus melewati jalanan yang sangat sepi, rawan kecelakaan dan kejahatan, hujan dan panas saya lalui sendirian, bahkan terkadang harus menelusuri gelapnya malam karena PLN padam, akan tetapi tidak memadamkan semangat saya untuk meraih gelar Magister Pendidikan (M.Pd).

Setelah melewati perjuangan yang terasa begitu panjang, tibalah saatnya saya wisuda pada tanggal 4 April 2014. Berangkat dari rumah dengan rasa sangat bahagia, saya memakai baju kebesaran. Jubah dan toga walaupun itu barang pinjaman dari kakak tingkat yang sudah wisuda tahun lalu. Begitu juga putra putri saya, mereka sangat bahagia, apalagi ketika itu saya wisuda bersamaan dengan adik bungsu yang dari kecil tinggal bersama saya.

Ia wisuda S1 - Sarjana Ekonomi. Rasa lelah saya terobati saat itu, prosesi wisuda terasa begitu hikmat diiringi dengan tetesan air mata bahagia. Baru terasa maknanya bahwa senyum yang paling indah adalah senyum seseorang ketika berjuang melawan air mata.

 Esok harinya, ijazah itu saya fotokopi dan saya serah kepada kepala sekolah untuk kelengkapan administrasi. Sejak saat itu, semua surat-surat resmi yang berkaitan dengan kedinasan mencantumkan gelar M.Pd di belakang nama, hingga pada suatu hari terjadi perubahan. Saat itu saya berada di kantor dinas pendidikan untuk urusan mutasi ke Yogyakarta.

Betapa terkejutnya saya ketika seseorang bertanya kepada saya, "Apakah ibu sudah mendapat izin pencatuman gelar?"

Saya menjawab "belum".

 Kemudian, saya bertanya kembali, "Apa syarat dan bagaimana prosedurnya?" Beliau menjelaskan dan menyebutkan satu persatu syaratnya lalu saya menuliskan yaitu : Fotocopy SK pangkat terakhir, SK Capeg, SK PN, ijazah dan transkrip nilai, Surat izin belajar dari Bupati, Sertifikat akreditasi Prodi, Surat keterangan dari Universitas, dan  SKP-PAK ( 2 tahun) semua Fotokopian dilegalisir.

 Setelah mendapat arahan dari beliau, saya segera melengkapi persyaratan tersebut  dan menyerahkan ke kantor dinas pendidikan pada bulan Februari 2016. Ketika melihat teman-teman menerima SK kenaikan pangkat bulan April 2016, sedangkan saya belum dapat SK izin pencatuman gelar, saya datang ke dinas untuk menanyakan apa penyebabnya.

Saya telusuri dari dinas berkas usulan itu sudah di serahkan ke BKD dan sudah diterusan ke pusat. Kata petugasnya "Di tunggu saja buk"

 Saya berpikir positif "Mungkin bulan depan akan turun".

Ternyata tidak. bulan berikutnya saya diminta memperbarui berkas, saya mengikuti sesuai perintah tersebut hingga saya mutasi ke yogyakarta. Bulan November 2016, saya belum mendapat izin tersebut tetapi semua surat-surat persyaratan mutasi itu mencantum gelar M.Pd., tetapi SK mutasi yang saya terima dari BKD tetap S.Pd.

Saya bertanya "Mengapa S.Pd?" Beliau menyarankan agar saya memperbaikinya di BKN regional 1 Yogyakarta. Hari itu juga saya langsung ke BKN tapi sudah tutup, besoknya saya ke sana lagi, di BKN saya dapat informasi bahwa saya harus mengajukan permohonan melalui dinas pendidikan.

Saya mendapatkan tugas mengajar di SD Negeri Jetis 1. Saya pun melakukan hal yang sama. Saya mengajukan lagi pada tahun 2017 dan 2018 namun belum membuahkan hasil. Pada masa pandemi saya berdiam diri namun tetap mencari informasi dan informasi yang saya dapatkan malah simpang siur (read: tidak jelas). 

Pada waktu mengikuti diklat CPAK saya sering bertanya pada pemberi materi, itupun juga belum jelas. Beda orang tempat saya bertanya, beda lagi jawaban yang saya dapatkan. 

Ada yang menjawab "Tidak perlu lagi izin pencatuman gelar" karna peraturan itu di keluarkan tahun 2016 dan mulai diberlakukan pada tahun 2019, sedangkan ijazah saya 2014." Yaa ... saya tetap berpikiran positif, tetap berprasangka baik dengan harapan bisa langsung dicantumkan nanti ketika naik pangkat IV B dengan menyertakan ijazah dan kelengkapannya.

Pada bulan Juni 2021, saya menyusun DUPAK. Saya menyertakan ijazah S2 untuk kenaikan pangkat, tetapi belum di proses dan saya ajukan lagi Juni 2022. Semuanya serba online dan sudah saya lakukan sesuai prosedur, namun SK kenaikan pangkat IV B yang saya terima masih tertulis gelar S.Pd. Saya kembali bertanya "Mengapa masih S.Pd.? Apakah bisa direvisi?, Apakah saya harus melengkapi berkas usulan lagi?"  Beliaunya pun bingung untuk menjawab pertanyaan saya.

          Lalu saya melangkah sendiri mencari informasi. Saya datang ke BKN Regional 1 Yogyakarta, tetapi jawabannya sangat menyedihkan. Beliau berkata, "Coba ibu tanyakan ke BKD. Apakah ijazah ibu diakui  atau tidak?"

          Seketika saya terdiam dan rasanya makdeg ... Jantung saya bergetar sangat kuat. Saya sangat sedih dengan berlinang air mata, saya cium ijazah saya. Teringat masa perjuangan saya, suka duka saya untuk mendapatkannya.

           Saya kembali bertanya "Mengapa tidak diakui?"

           Sambil membuka map saya memperlihatkan berkas yang saya bawa dan memberi keterangan. "Ini ijazah dan transkrip nilai, saya kuliah di Universitas Negeri, Jurusannya  terakreditasi B, sudah dapat surat izin dari bupati."

Melihat reaksi saya yang sangat sedih, beliau langsung mengambil gawai lalu menghubungi seseorang, dalam telepon itu beliau berbicara dalam bahasa jawa. Saya hanya mengerti sedikit-sedikit namun saya berusaha untuk tetap tenang dan menunggu percakapan selesai dengan penuh harapan, akan ada berita yang lebih baik. 

Akhirnya, beliau memberikan gawai itu kepada saya dan saya berbicara dengan pegawai BKPSDM. Ternyata hasilnya masih sama, saya diminta mengirimkan scan ijazah dalam bentuk pdf via WA dan sudah saya kirimkan.

Delapan tahun saya memiliki ijazah S2, namun hingga hari ini belum dapat izin pencantuman gelar dan...

 "Sampai kapan saya harus mengajukan permohonan yang sama?"

                                                                                                                                                                                                                   Salam Penulis, 

                                                                                                                                                                                                                   Helma Herawati

Dokumen Wisuda, 5 April 2014
Dokumen Wisuda, 5 April 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun