Datuk Meringgih telah menghancurkan ladang perekonomian Baginda Sulaiman sehingga usahanya bangkrut. Kebun sawitnya dibakar atas suruhan Datuk Meringgih, dan perahu-perahunya pun dihancurkan sehingga Baginda tak bisa lagi menjalankan usahanya. Dengan kepicikannya itu, Datuk Meringgih berpura-pura belas kasihan dengan meminjamkan uang sebagai modal usaha Baginda. Namun, Baginda tak mampu mengembalikan pinjamannya itu dalam tempo yang sudah ditentukan.
Karena tidak sanggup membayar utangnya kepada Datuk Meringgih, Baginda Sulaiman dihadapkan pada dua pilihan: ingin dipenjarakan atau Sitti Nurbaya dikawini oleh Datuk Meringgih. Baginda Sulaiman menyanggupi dimasukkan penjara, namun Sitti Nurbaya menolaknya dan menyanggupi untuk dijadikan istri Datuk Meringgih. Akhirnya, Sitti Nurbaya menyerahkan diri demi baktinya kepada Baginda Sulaiman.
Keputusan Sitti Nurbaya, menjadi istri Datuk Meringgih, merupakan pilihannya yang berat karena selain janji cintanya dengan Samsulbahri, dia juga ingin menyelamatkan ayahnya, Baginda Sulaiman agar tidak dipenjara karena kondisinya sedang sakit parah.
Di sini jelaslah bahwa keputusan Sitti Nurbaya lebih menyayangi ayahnya, Baginda Sulaiman, ketimbang janjinya kepada Samsulbahri. Ini bukanlah penghianatan cintanya, namun cenderung lebih pada sikap budi pekerti seorang anak kepada orang tuanya. Ia ingin agar ayahnya yang sedang sakit keras itu selamat dari penjara. Bukti balas budi seorang anak kepada orang tua merupakan cerminan pengorbanan yang bermakna dalam hidup Sitti Nurbaya.
Kisah dalam buku ini terbagi ke dalam enam belas bagian. Pembaca akan terbuai dengan pantun-pantun indah dan berisi petuah atau nasihat yang bermakna dalam kehidupan. Pantun cinta untuk remaja, pantun orang tua, pantun agama, dan pantun berisi nasihat lainnya. Buku ini layak dibaca oleh kalangan tua dan muda.
Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922. Karya pendahulunya yaitu novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Peristiwa dalam novel ini berlatar belakang daerah Sumatra. Latar peristiwa ceritanya sama-sama mengangkat adat perjodohan, namun tidak terlalu kelihatan pada novel Sitti Nurbaya. Untuk itu, bahasa yang digunakan juga menunjukkan bahasa sastra lama dan akan ditemukan beberapa bahasa daerah melayu. Untuk kalangan milenial, tentu saja tidak terbiasa dengan bahasa pada cerita ini, namun tetap menarik dan merasa penasaran untuk membaca hingga akhir.
Rasa ingin tahu dalam membaca cerita Sitti Nurbaya yaitu bagaimana nasib hubungan cinta Samsulbahri dengan kekasihnya yang telah mereka ikrarkan bersama di Bukit Padang sebelum kepergiannya menimba ilmu di Sekolah Kedokteran Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H