Judul Buku         :   Sitti Nurbaya
Pengarang         :   Marah Rusli
Penerbit           :   Balai Pustaka
Kota Terbit        :   Jakarta
Tahun Terbit      :   1922
Jumlah Halaman  :   xvi, 386 halaman
Telah banyak ulasan tentang cerita novel Sitti Nurbaya. Novel ini sangat terkenal dalam perkembangan sejarah sastra di Indonesia. Sebagian penulis ada yang mengambil kesimpulan bahwa tema cerita ini ialah tentang perjodohan dan kawin paksa, kasih tak sampai, atau tentang perkawinan secara adat di Padang saat itu. Bisa saja hal itu terjadi karena secara keseluruhan kita memandang novel Sitti Nurbaya dan novel-novel tahun 20-an, pada masanya ada pada seputar lingkaran besar tema itu.
Namun, tidak sekadar menentukan tema, aspek lain dari cerita Sitti Nurbaya dapat juga melihatnya dari sudut pandang yang lain. Misalnya, ingin mengangkat nilai-nilai budaya lokal atau nilai-nilai kehidupan adat di Padang di tengah-tengah penjajahan Belanda saat itu. Nilai-nilai kehidupan itu dapat pula dilihat dari sudut pandang sikap, budaya, perjuangan hak emansipasi, keteguhan prinsip dan perilaku pengorbanan tokohnya. Bagaimana dengan sikap keteguhan Sitti Nurbaya saat dihadapkan pada dua pilihan berat Datuk Meringgih yang ditawarkan kepada Baginda Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya?
Penulis novel ini menempatkan tokoh Sitti Nurbaya sebagai judul novel. Pembaca akan diajak untuk menyimak perjalanan cerita kehidupan tokoh yang seakan-akan bagaimana membuka tabir cerita sosok perempuan bernama Sitti Nurbaya ini. Apakah saat itu perempuan merasa teraniaya, merasa terampas hak hidupnya, atau merasa terpenjara oleh sikap kerabat dalam ikatan adat dan budayanya?
Sebagai seorang perempuan yang hidup dalam kerabat yang kuat memegang prinsip adat saat itu, Sitti Nurbaya mengikuti pendidikan sekolah Belanda, Pasar Ambacang di Padang bersama Samsulbahri. Keakraban Sitti Nurbaya dengan Samsulbahri bagaikan kakak dan adik. Memang mereka masih ada ikatan persaudaraan. Mereka berdua selalu berangkat dan pulang sekolah bersama hingga akhirnya terungkap cinta kasih keduanya di Bukit Padang.
Samsulbahri melanjutkan sekolah kedokteran di Jawa, sementara Sitti Nurbaya masih tinggal bersama ayahnya, Baginda Sulaiman. Mereka terpisah, namun telah mengikat janji untuk sehidup semati. Sepeninggal Samsulbahri, keberadaan Sitti Nurbaya dihadapkan pada permasalahan hidup yang menimpanya. Kelicikan Datuk Meringgihlah, seorang saudagar kaya, namun kikir, yang menyebabkan permasalahan itu terjadi.