Kenangan masjid yang terus hidup
"Nindy, ngaji yook..."
"Nindy, nindy shalat yuk..."
Masih terngiang sahutan teman-teman masa kecil ketika memanggil nama ku dengan keras untuk  mengajak aku ke masjid untuk shalat dan ngaji bersama. Biasanya, dari rumah yang paling ujung dari masjid, kemudian kami memanggil teman-teman lain untuk berangkat bersama. Dulu, belum menggunakan alat komunikasi secanggih saat ini.
Dulu, bukan masjid namnya tapi langar atau mushala. Karena yaa kondisinya yang kecil dan belum permanen. Aku ingat, dulu langar itu masih menggunakan kayu, jadi setiap jalan akan berbunyi decitan krek..krek..kkreeekk. Dan jelas saja aku suka menjadi takut.
Lingkungan sekitar tempat tinggalku pun masih banyak rawa dan ketika habis magrib jalananpun gelap dan sepi. Oiya, belum lagi belakang langar kami itu rawa yang masih banyak hutan. Konon, dulu ada nenek-nenek tinggal di sana dan meninggal. Di sekitar rumahnya terdapat sumur, kabarnya nenek itu masih suka di sana. Jadi setiap mau ambil wudhu dan pintu langar belakang terbuka aku suka parno sendiri.
Seiring berjalanny waktu, masjid dekat rumahku berubah drastis. Bangunan yang permanen, Menara masjid dan sekarang udah ad AC nya pula. Pembangunan masjid juga sejalan dengan perkembangan ekonomi warga sekitar yang ikut bertumbuh. Sisi lain, semakin aku bertumbuh aku pun jarang ke masjid. Jadwal sekolah yang sangat padat, mengharuskan ku pulang sore terus dan setiba di rumah tubuh ini sudah Lelah aja, belum lagi lanjut tugas-tugas sekolah yang seakan tidak pernah jera menguji murid-muridnya.
Perjalanan Spiritualitas yang Tidak Disangka
Oktober 2015, mungkin salah satu kado terindah Tuhan kirimkan pada ku. Terang saja, siapa yang sangka aku mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Aceh. Kota yang selama ini bahkan tidak pernah terlintas olehku. Selain jauh, aku pun bingung mau ngapain di sana. Apalagi saat itu satu decade tragedy Tsunami terjadi di sana.
Mendapat kesempatan ke Aceh, jelas tidak aku abaikan begitu saja. Oktober sabagai bulan kelahiranku, tahun itu seperti menjadi momen kelahiran ku kembali. Mengunjungi kota Serambi Mekah yang ternyata sangat berkesan dan luar biasa. Saat itu aku menghadiri pertempuan perempuan akar rumput se  Sumatra, setelah itu kami mendapatkan kesempatan berkunjung ke museum dan masjid Baiturahman.
Aku dan rombongan berjalan bersama-sama menuju masjid setelah turun dari bis. Masjid ini terletak di tengah kota dan disekitar lingkungan masjid terdapat banyak penjual yang berdagang souvenir, makanan, dan  kebutuhan ibadah.
Aku membayangkan masjid ini persis seperti video-video yang ditayangkan di TV, bagaimana air bah memenuhi jalan dan bagaiaman masjid ini bertahan. Suasana haru dan merinding membuat tanpa sadar air mata ini jatuh juga.
Tidak sekadar masjid biasa, masjid ini menjadi salah satu situs bersejarah yang telah ada sejak era kejayaan Kesultanan Aceh dan bertahan hingga detik ini. Masjid ini memiliki perjalanan yang panjang , mulai dari tragedi pembakaran oleh kolonial Belanda tahun 1873 hingga hantaman tsunami di akhir 2004.
Warna putih menjadi dominasi masjid ini dengan tiga kubah besar. Saat itu, masjid masih dalam tahap renovasi bagian luarnya akan dibuat payung raksasa menyerupai dengan  Masjid Nabawi, Madinah. Untuk memasuki area dalam masjid diwajibkan untuk menggunakan pakaian yang syari dan tidak ketat. Saat itu, setelah acara kami langsung saja. Kemudian, kami didatangi oleh petugas dan disuruh untuk menggunakan pakaian jubah hitam yang panasnya pun membuat basah baju.
Memasuki area dalam masjid, entah mengapa jantungku merasa deg-degan, kemudian terdengar suara orang-orang sedang melantunkan ayat suci kemudia diikuti suara azan. Ada suatu perasaan yang tidak bisa aku jelaskan, perasaan tenang dan damai, perasaan menyaksikan keagungan sang pencipta. Aku pun melihat desain dalam masjid 360 derajad, melihat langit-langitnya, karpetnya, desain pintu dll. Aku tiba-tiba terbayang ketika tsunami terjadi bagaimana masjid ini dengan kokohnya melindungi orang-orang yang menyelamatkan diri, teriakan-teriakan yang pasti memilukan.
Sepanjang perjalananku di Aceh, melihat bangunan-bangunan yang sepi dan masih rata, kemudian berkunjung ke museum dan diakhiri ke masji Baiturahman membuatku tersadar, manusia ini apa yang disombongkan di dunia ini? Ketika alam murka, air bah diangkatnya tidak ada jabatan, tidak ada harta, tidak ada keluarga yang bisa kita bawa. Semua ini hanya sementara. Tidak ada yang benar-benar kekal di dunia ini, dan kita masih saja menyombongkan diri.
Di atas sejadah rekaat terakhir aku bersujud, memohon ampun pada Yang Kuasa bahwa hapuskanlah kesombongan dan keserakahanku di dunia ini, dan memohon perlindungan Nya. Ah, entahla baru itu rasanya aku menjadi haru kembali bersujud di masjid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H