Siapa yang hidup tanpa ekspektasi yang berarti untuk menopang hidupnya? Siapa yang hidup tanpa bergerak kepada tujuan? Siapa yang hidup tanpa mimpi di kepalanya? Kalau ada yang begini, semoga ia baik-baik saja.Â
Di dalam kehidupan ini, kita ingin mendapatkan apresiasi, nilai tambah, merasa unik, dan dikagumi oleh banyak orang.Â
Kita menaruh ekspektasi agar kita selalu bergerak mendapatinya. Kita bertaruh dan berani berjanji pada diri sendiri bahwa kita akan menjadikannya.Â
Kita sedang bermimpi dalam skala yang kita percaya mungkin akan kejadian, tetapi tidak ada batas waktu yang berbicara akan kesampaian atau hanya setengah atau seperempat jalan saja.Â
Kita punya banyak keinginan dan juga kerinduan untuk menyenangkan orang lain  serta memperoleh kesenangan dari mereka juga atau dengan alasan lainnya.Â
Namun, apa jadinya keinginan kita bila pilihan kita hanyalah menunda? Kita menunggu tontonan kita keluar dari layar dan berwujudkan diri kita. Kita menunggu bacaan kita hidup dan menjamah pikiran kita menjadi aktif.Â
Kita bermimpi menjadi orang yang sama, tetapi kita bertindak tidak sekeras orang yang kita inginkan. Bermimpi aja dulu, kalau kejadian berarti mujizat. Apakah begini? Hehehe...
Mimpi itu tidak hanya di kepala, ia tidak tinggal di awan-awan, atau menggantung di langit-langit rumah. Mimpi itu bukan ruang yang bangkit di tengah malam, bukan khayalan kawula muda yang nikmat saat duduk dan berdiam. Mimpi itu adalah fiksi yang bercerita, menggerakkan kaki bertemu karam, luka, tanjakan, kecuraman, mungkin juga kekalahan. Namun, pada akhirnya ia tidak saja berada di dalam kepala, ia menyentuh indra dan mengakar di dalam dada. Mimpi itu tidak akan bercerita jika hanya di kepala, ia perlu ditaklukan dengan cara kita masing-masing untuk menjalin ceritanya.
Saya menemukan banyak orang yang mengagumi hasil karya orang lain, mengagumi kekuatan orang lain, bahkan penampilan orang lain adalah dambaan yang dimimpikan akan kita alami dalam hidup kita.Â
Saya ingin mengatakan berhenti untuk halusinasi yang sungguh merepotkan itu. Lucunya, saya menemukan foto profil sosial media berwajah artis luar negeri padahal saya pernah bertemu dengan orang yang memiliki akun tersebut.Â
Saya bahkan duduk sebangku dengannya, tetapi saya tidak bisa berpikir positif bahwa foto profil tersebut adalah tampilan dirinya. Saya mengakui bahwa pandemi membuat kami tidak sering bertatap langsung, tetapi saya tetap meragukan bahwa itu adalah dirinya.Â
Merepotkannya lagi, saya mendapati status-status postingan yang setiap hari membuat saya merasa asing dengan orang di dalamnya. Mungkin teman saya ini tergolong fanatik dengan tokoh idolanya sehingga semua hal bukan lagi tentang dia tetapi tentang idolanya.Â
Saya tidak anti dengan artis Korea, tetapi saya hanya heran dengan teman saya yang saking mengidolakan tokoh idolanya ia lupa dengan teman di sekitarnya. Ia selalu update tentang ulang tahun, kegiatan harian, bahkan jadwal dan hasil karya terbaru yang di post itu membuat dia selalu hadir sebagai pendukung pertama. Pernah gak sih merasa risih sampai mengaku-ngaku bahwa mereka adalah suami atau pacar tokoh idolanya? Miris.Â
Orang-orang yang seperti ini terlalu sibuk dengan kehidupan orang lain, hingga lupa bahwa ada tanggung jawab besar yang sedang dihadapinya.Â
Tanggung jawabnya yaitu dirinya sendiri. Banyak waktu kita habiskan sekadar memastikan up date status seseorang sudah dapat disaksikan, sampai kita lupa bahwa di waktu itu kita bisa melakukan up grade diri dengan mengerjakan mimpi-mimpi kita.Â
Pernah gak mendengar orang mengeluh karena kehabisan paket kemudian merasa bersalah karena tidak mengikuti up date status idolanya di hari ini? Sungguh miris.Â
Banyak anak-anak di pedalaman yang tidak terjangkau jaringan dan tidak tersedia perangkat yang memadai untuk belajar secara daring, memikirkan bagaimana menabung cukup uang agar bisa belajar.Â
Banyak orang yang membutuhkan cukup uang agar uang sekolahnya tidak menunggak. Miris saya mendengar kisah orang-orang yang melakukan pamer album yang berhasil mereka beli hanya untuk kesenangan diri.Â
Bahkan di masa pandemi ini mereka lebih up date karya terbaru dari tokoh idolanya sampai lupa bahwa Indonesia kekurangan oksigen. Miris, hanya miris mengetahui semuanya terjadi.
Saya tidak berhak untuk melarang setiap orang punya mimpi akan menjadi seperti idolanya, saya tidak punya kepentingan untuk melarang orang berhenti membagikan status yang menyenangkan diri sendiri itu, saya juga tidak berharap orang-orang berhenti mengikuti up date tokoh idolanya.Â
Kali aja, di waktu yang tidak saya tahu ia akan benar-benar menjadi sama seperti mimpinya. Saya hanya berharap ada orang-orang yang mengerjakan tanggung jawabnya.Â
Menurut saya, saya mesti bertanggung jawab atas keaslian akun saya. Saya bertanggung jawab atas segala hal yang saya share di sosial media, saya bertanggung jawab untuk peduli pada bangsa ini.Â
Saya punya tanggung jawab atas pilihan saya setiap hari karena saya sadar saya bisa membangkitkan mimpi saya jika saya melakukannya.Â
Bukan jika saya melihatnya, bukan jika saya mendengarnya, bukan jika saya terus menunggunya. Jika saya melakukannya, maka saya bisa mendapatkannya.Â
Dengan membagikan status membuat kita berhasil mempengaruhi orang lain untuk melihat hal-hal yang tidak seharusnya bermanfaat untuk orang lain.Â
Saya awalnya berpikir bahwa status itu tentang mengedukasi, tentang hal positif, tentang sharing hal baik yang mungkin bisa memberikan inspirasi, motivasi kepada orang lain baik untuk berkarya, untuk berbagi pengetahuan, atau memberikan inovasi atau kreatifitas.Â
Namun, apa yang terjadi jika waktu tersebut untuk menyaksikan hiburan yang membuat saya ingin terus diisii dengan hiburan. Benar, saya tidak bisa memaksakan atau bahkan mengubah orang lain.Â
Tapi, saya belajar untuk membenahi diri. Hanya saya yang paling bisa mengingatkan diri saya sendiri. Kalau sampai orang lain yang mengingatkan saya, apakah saya sudah lupa bahwa saya punya kendali yang lebih besar terhadap diri saya? Saya punya setir, gas, dan rem untuk keinginan saya.
Saya berbagi bukan karena saya tidak suka pada orang-orang yang punya idola.Â
Saya peduli, saya mengingatkan saja. Apa benar hanya menyanjungi orang lain bisa membuat mimpi kita atau rencana kita berjalan dengan baik?Â
Jika iya, lanjutkan saja. Namun, jika itu hanya menunda mimpi kita menjadi nyata, maka ada baiknya kita mengingatkan diri sendiri untuk lebih peka pada kenyataan dan lebih percaya bahwa kita bisa melakukan mimpi kita.Â
Mimpi bukanlah ilusi belaka, tetapi fiksi yang harus digerakkan kepada kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H