Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sepenggal Aroma Jejak di Masa Lalu

8 Juni 2020   15:00 Diperbarui: 8 Juni 2020   15:03 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kata yang paling hangat disepanjang musim. Untuk semua ungkapan rindu tertuju pada gubuk di ujung barat Indonesia. Pengalaman yang kumulai dari tahun isakku merambat ke rumah-rumah tetangga, mengenal orang tua dan lingkungan bertumbuh. 

Aroma aspal yang kering dibawa angin masuk ke celah jendela. Musim kering membawa kakiku pada tanah retak dan daun-daun memadati jalanan. Batu-batu yang berkeliaran di jalan raya serta pohon-pohon besar menjadi tempat berteduh anak sekolah. Masa kecil yang menyenangkan.

"Ayo, sekarang giliranmu" teriak mereka padaku yang sedang melamun. Aku selalu membawa sial pada tingkatan ke tiga lompat tali. Anak-anak seperti kami sangat asing dengan istilah-istilah baru. Sederhananya lompat tali lebih terkenal dengan istilah fa wewe  di sekolahku. 

Kami tidak pernah mengenal lelah atau berhenti untuk mengeksplorasi halaman sekolah dengan tingkah laku yang aneh. Sudah tentu guru-guru membiarkan kami mengeksplor dunia kami. Hal ujian dan belajar menjadi ancaman yang sangat menakutkan di akhir semester. 

Orang tua akan menjadi bangga dengan prestasi hitam di rapor meskipun mereka tidak mengenal perjuangan yang kami lakukan untuk meraihnya. Di rumah kami dikenal sebagai anak. Anak perempuan yang harus lebih paham dengan jengkal-jengkal dapur. 

Memastikan kayu terbakar menjadi abu setiap paginya. Memastikan rumah tertutup rapat di malam hari. Aku pikir ini berbeda di setiap rumah tentunya. Namun, yakin atau tidak inilah yang terjadi pada umumnya. 

Perlombaan di musim kering adalah lomba mengisi ember-ember dengan air. Antrean yang menyita banyak waktu membuka peluang bagi kawanan nyamuk untuk beria sejenak. 

Seperti rombongan yang menghadiri acara sunatan semua berbondong-bondong menunggu aliran air yang sama. Aku membawa dua jiregen kecil di kiri dan kananku. Panas aspal kering membuat telapak kaki yang melaluinya merah terbakar. 

Pada masa kanak-kanak itu bukan soal yang rumit. Setelah menunggu terlalu lama hingga terkantuk kami bersiul-siul menunggu aliran air dijaga oleh salah seorang dari anggota rumah kami. Praktik korupsi dan curang terkadang terjadi bahkan selalu terjadi. 

Kami datang membawa 3 ember dan 2 jiregen. Sembari menungu ember-ember yang lain terisi penuh jiregen yang saya angkut ke rumah harus terisi kembali.

Antrean yang cukup membuat emosi meledak itu sekaliannya tidak tertahankan. Aroma permusuhan tidak langsung terlontarkan. Caci-maki tertinggal di antrean berikutnya untuk kami. Itu sudah menjadi hal biasa saja. Entah tua atau muda ekspresi kekesalan tidak pernah dilontarkan dengan tatap muka terhadap lawan. 

Masih teringat masa-masa lomba balap kayu. Kepala sudah menjadi sandaran untuk setiap barang sejak kecil otot-otot di tubuhku barang kali telah terlatih menjadi kuli. Mengangkat kayu bakar hingga cukup untuk persediaan seminggu. Tidak cukup dengan mengangkut bila telah tiba di bawah pohon karet. 

Kita harus memulainya dengan menumbangkan pohon-pohon yang sudah tidak mengeluarkan getahnya. Gerutu tentu merajalela bila dengan sadar terlihat daun kelapa yang menutupi jalan. Tidak asing dengan sapu lidi? 

Nah, aku harus bertengkar dengan waktu-waktu yang menyita begitu banyak keresahan dan tangis yang terpendam. Jari-jari tidak akan menciut bila mengerjakan hal-hal baik. Pesan-pesan seperti ini tidak asing terdengar bila kemalasan mendorong urat mengemukakan kesal kepada mama. 

Hari-hari yang sangat dekat dengan tanah. Aku ingin hujan segera berlari menombak tubuhku setiap kali kutemukan batang lidi berserakan di jalan. Alasan yang sangat sederhana mengharuskan aku balik ke rumah agar tidak sakit esok hari. 

Sepenggal kisah yang membawaku teringat pada iringan kata yang dirindukan gubuk yang pernah mengajarkanku bagaimana menjadi sakit. Aku menangis di bawah pohon-pohon di tengah hutan. Mohon-mohon memiliki nasib yang berbeda saat itu. 

Namun, aku dilatih menjadi pribadi yang rajin menghargai setiap jerih para pekerja yang berjuang setiap hari. Pernah merasakan penderitaan yang mengharuskanmu berteduh di rumah? Bercerita tentang perjalanan yang panjang dan terkadang menggelitik bila terdengar. Yah, ingin ke rumah lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun