Masih teringat masa-masa lomba balap kayu. Kepala sudah menjadi sandaran untuk setiap barang sejak kecil otot-otot di tubuhku barang kali telah terlatih menjadi kuli. Mengangkat kayu bakar hingga cukup untuk persediaan seminggu. Tidak cukup dengan mengangkut bila telah tiba di bawah pohon karet.Â
Kita harus memulainya dengan menumbangkan pohon-pohon yang sudah tidak mengeluarkan getahnya. Gerutu tentu merajalela bila dengan sadar terlihat daun kelapa yang menutupi jalan. Tidak asing dengan sapu lidi?Â
Nah, aku harus bertengkar dengan waktu-waktu yang menyita begitu banyak keresahan dan tangis yang terpendam. Jari-jari tidak akan menciut bila mengerjakan hal-hal baik. Pesan-pesan seperti ini tidak asing terdengar bila kemalasan mendorong urat mengemukakan kesal kepada mama.Â
Hari-hari yang sangat dekat dengan tanah. Aku ingin hujan segera berlari menombak tubuhku setiap kali kutemukan batang lidi berserakan di jalan. Alasan yang sangat sederhana mengharuskan aku balik ke rumah agar tidak sakit esok hari.Â
Sepenggal kisah yang membawaku teringat pada iringan kata yang dirindukan gubuk yang pernah mengajarkanku bagaimana menjadi sakit. Aku menangis di bawah pohon-pohon di tengah hutan. Mohon-mohon memiliki nasib yang berbeda saat itu.Â
Namun, aku dilatih menjadi pribadi yang rajin menghargai setiap jerih para pekerja yang berjuang setiap hari. Pernah merasakan penderitaan yang mengharuskanmu berteduh di rumah? Bercerita tentang perjalanan yang panjang dan terkadang menggelitik bila terdengar. Yah, ingin ke rumah lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H