Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hari Minggu

21 April 2020   22:10 Diperbarui: 21 April 2020   22:15 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Biarkan saja semua keluhmu tertumpah. Tetap sampaikan meskipun itu menyakitkan. Bagi kita kawanan yang berperang dengan segala persoalan menunggu waktunya datang perubahan. Aku menunggu angin sepoi-sepoi itu mendebarkan niatku, mengusik segala nyaman yang kian membuatku tegar.

Para kawanan burung terus bersiul-siul meski waktu telah berubah menjadi gelap. Hari ini menjadi langkah yang nyata untuk kamu dan aku. Serangkaian kata-kata menghiasi kegelisahan dan kebingungan yang takkan pernah memiliki ujung selesai. Di bawah awan-awan yang sibuk berlari.

Di tengah udara yang selalu menyendiri ada pula sepi ku rasakan. Bingung sekali ingin berkata apa. Tumpukan jadwal belajar selalu mengusik pikiranku. Tapi, ribuan halu aku telah menyelesaikannya.

Pantas sekali aku bermimpi sebanyak napasku berhembus. Menghitung-hitung kesempatan akan datang berkali-kali. Seolah-olah aku sedang menggandeng tinta mengajaknya berdansa di atas permadani kertas.

Heran, seheran-herannya mataku mendelik. Kacau, hari ini sudah hampir pukul 3 sore, lamunanku masih merayap di selaput pikirku. Mataku kering dan hembusan napas berulang-ulang kukeluarkan dengan nada sumbang. Hari ini kesempatannya datang lagi, pilihan terbaik bila aku terdiam di atas kesakitan dan memikirkan hal-hal yang berguna.

Ketimbang tatapan kosong, linglung, dan akan nyata menjadi Sabari dalam novel karya Andrea Hirata. Bila kau tertarik koleksi aja yang judulnya Ayah. Gelutku tidak pula berakhir tanganku semakin lihai menari. Namun, tampaknya tak berhasil. Pandang saja coret-coretan ini penuh dengan halusinasi bertuliskan "DONE" untuk ujian-ujian akhir. Apa lagi usaha yang perlu kulakukan untuk meyakinkan engkau.

Tidak cukup dengan ini, masa-masa di mana gerakan-gerakan melambat menggaruk-garuk kepala dan akhirnya menjadi tak normal. Aku masih bisa berpaling, menegakkan diri agar segera meraih lembaran-lembaran yang membuat emosiku tidak stabil. Aku melihat ada coretan-coretan hitam yang sengaja membuat jadwalku tidak lagi kulihat. Kubalikkan tubuhku dan menghentak keras di lantai.

"Awwww...."

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan telah berdiri di hadapanku. Penglihatanku buram. Jelas sekali orang ini dekat denganku, rambutnya yang tidak tertata rapi dan daster yang dikenakannya sudah tidak lagi asing bagiku. Aku mengelus-elus kepalaku sendiri. Tidak kusadari bahwa di bawah alam sadar tugas-tugas itu turut menghantuiku. 

"Kamu bermimpi?" tanyanya pelan padaku.

"Hm" singkat kuberi jawab. Ia menyentuh kepalaku dengan tekstur tangannya yang kasar. Aku semakin menyadari ketulusannya padaku. Namun, dengan jujur aku masih merasa malu dengan kejadian ini. Aku membenamkan wajahku di balik kain yang layaknya kusebut selimut. Bagi sebagian kaum, ini merupakan potongan kain yang tidak terpakai. Namun, bagiku ini sungguh cukup untuk menghangatkan. 

Tidak ada rintik hujan yang menyampaikan kabar akan gangguan jaringan. Tidak juga petir menggemparkan tiang-tiang panel. Tidak ada lagi ada alasan bagiku untuk terus berbaring. Aku merasakan keriput di tangannya menjadi kulit yang mati. Sebentar lagi, tanpa kutunggu bisa jadi ajal sudah mendekat.

Aku mencoba untuk mengerjakan yang bisa kukerjakan. Kehendak ini pun kulakukan bukan kerena dia akan tiada. Atau terbersit bahwa ini mampu membalaskan kepeduliannya. Tidak, ini bukan atas dasar kehendak siapa pun. Bila aku harus menyelesaikan di garis akhir karna aku percaya pada mimpi-mimpiku.

Sehambat-hambatnya keriput di dalam tengkorakku menghasilkan ide, stimulus apa pun akan kuajak dia bekerja. Mimpi itu bukan buat mereka yang mengharapkannya menjadi nyata. Mimpi hanya buat mereka yang mewujudkannya.

Biar saya ada yang tidak setuju dengan semua pikirku, ini bukan argumen yang membutuhkan anggukan darimu. Ini hanya tulisan yang ingin mengajak kamu mewujudkannya. Di bawah angin sepoi di dalam ruang yang berudara kutuliskan, "Maukah kamu bermimpi?"

Sudah cukup banyak di luar sana yang mengharapkan duduk di atas kursi, berdiri di depan umum, dan menandatangani bawah surat. Pengesahan kebijakan menjadi tujuan di kala tidak ada yang menentang. Bagaimana bisa menjadi wujud bila sebentar kepala terantuk memejamkan mata untuk menjadi jaminan bakalan tidak terulang lagi.

Para pemuda kaum mana pun, aku menyukai mimpimu yang memiliki tujuan yang benar. Bilamana pikiranmu untuk menyenangkan orang lain engkau mencapainya, ingat bahwa setiap orang bakal punya ekspektasi yang semakin hari makin besar.

Wujudkan aja tekad-tekad yang kau susun di dalam pikiranmu, tanggalkan rasa lelah, cemas, dan penakutmu yang menggebu. Hanya untuk sesaat kamu menangis karena kegagalan mimpimu, tapi untuk selamanya mereka menangis karena kamu sudah tinggal nama.

Apa lagi, kukira kita cukup berbisik hingga di sini Minggu ini mari memulai mewujudkan mimpi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun