Aku berbohong bila sahutku lelah padamu. Tidak pernah langit mendesah lelah menggantung, begitu pun sang mentari tidak pernah mengeluh.
Aku berbohong pula bila sahutku tak lelah padamu. Mataku sudah perih memandangi slide-slide yang kian singgah sebentar di memoriku. Tentu di saat seperti ini sulit menemukan orang yang bersemangat untuk melanjutkan menggendong tas kemudian mengupas tuntas kewajiban.Â
"Ayolah, hari ini saja..." serumu memohon tanpa peduli lelah sudah memeluk tubuhku sejak di kelas para intelektual. Selalu cerita-cerita tentang perjalanan hari yang membosankan, rutinitas yang tidak ada akhirnya, hingga satu-satunya yang dirindukan adalah merebahkan lelah.
"Jadi bagaimana?"
"..."
"Aku tunggu"
Tidak ada penolakan di bibirku sekalipun aku mendengar hatiku mendesah tak sanggup untuk merenggangkan otot-otot yang tipis menempel di tulangku. Kuberi isyarat agar kau tidak memohon untuk membuat jadwal dadakan lagi.Â
Kutanggalkan kemeja putih, jaket hitam, celana hijau tua, dan flatshoes yang selalu menemaniku berada dalam kumpulan para intelektual.
Kupindahkan botol minum yang tidak pernah bersentuhan dengan sabun cuci hingga seminggu lamanya ke dalam tas yang lebih enteng untuk digendong.
"Bagaimana?"
Engkau tersenyum dan mengayunkan kedua jenjangmu menyapa tangga-tangga yang setengah hari menunggu untuk dilalui. Aku duduk berdiam menunggumu melakukan hal yang sama seperti yang sudah kulakukan.Â