Perjalanan saya ke Ekuador pada Januari 2018 adalah sebuah perjalanan yang tak terlupakan, diawali dengan penerbangan dari Ambon menuju Amsterdam. Perbedaan suhu yang ekstrem menjadi pengalaman pertama yang menantang saat saya tiba di Amsterdam, di tengah musim dingin yang menggigit.Â
Satu hari yang saya habiskan di Barendrecht, sebuah kota kecil yang tenang di pinggiran Rotterdam, terasa seperti jeda singkat untuk merenungi petualangan panjang yang akan datang. Musim dingin di Barendrecht benar-benar kontras dengan hangatnya Ambon, membuat saya merenungi betapa luasnya dunia ini dan betapa berbeda setiap sudutnya.
Dari Amsterdam, saya melanjutkan perjalanan ke Quito, ibu kota Ekuador yang terletak di ketinggian 2.850 meter di atas permukaan laut. Begitu tiba, saya langsung disambut oleh udara yang tipis, namun hangatnya cuaca membuat saya cepat menyesuaikan diri. Dari Quito, saya bergerak menuju Guayaquil,Â
 kota pelabuhan yang penuh dengan kehidupan, sebelum akhirnya saya memulai perjalanan menuju tujuan yang paling menantang---Salinas de Bolivar di Guaranda.
Salinas de Bolivar adalah sebuah desa kecil di pegunungan Andes, terletak di ketinggian 3.500 meter di atas permukaan laut. Sebelum menginjakkan kaki di sini, pegunungan Andes hanyalah sebuah konsep yang saya pelajari di buku-buku geografi, sebuah rangkaian gunung megah di Amerika Selatan yang terasa sangat jauh dan tidak terjangkau. Saya tak pernah membayangkan akan memiliki kesempatan untuk benar-benar berada di tengah-tengah Andes, melihat sendiri keindahan alamnya yang memukau.
Di Salinas, kehidupan berjalan dengan ritme yang berbeda. Desa ini kecil, dengan penduduk yang ramah dan kehidupan yang sederhana namun penuh makna. Udara di sini segar dan dingin, namun juga tipis, membuat setiap langkah terasa lebih berat dan napas lebih sulit. Saya harus sering berhenti untuk mengatur napas, sesuatu yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Namun, tantangan fisik ini membuat saya semakin menghargai keindahan alam sekitar.
Selama di Salinas, saya tinggal di La Mingga Hostel, sebuah tempat penginapan yang sederhana namun sangat nyaman. Hostel ini seolah menjadi rumah kedua, dengan suasana hangat yang dihadirkan oleh pemiliknya dan para pelancong lainnya. Setiap malam, kami duduk di sekitar perapian, berbagi cerita dan pengalaman, sementara angin pegunungan berhembus lembut di luar. Dari La Mingga, saya bisa melihat perbukitan hijau yang mengelilingi desa, sebuah pemandangan yang sangat kontras dengan gambar-gambar di buku geografi yang saya ingat dari masa sekolah.
Kehidupan di Salinas mengajarkan saya banyak hal tentang ketahanan dan kesederhanaan. Penduduk lokal hidup dari hasil pertanian dan peternakan, dengan produk-produk seperti keju dan cokelat yang diolah secara tradisional. Mereka bekerja keras, namun selalu menyambut tamu dengan senyum dan kehangatan yang tulus. Setiap hari, saya belajar tentang bagaimana mereka menjaga keseimbangan antara kehidupan modern dan tradisi yang sudah turun-temurun.
Malam di Salinas adalah saat-saat yang paling menenangkan. Dengan langit yang dipenuhi bintang, saya sering merenungi perjalanan saya, dari kelas geografi di sekolah hingga akhirnya berdiri di tengah-tengah Andes. Kenyataan bahwa saya bisa merasakan dan melihat langsung apa yang dulu hanya sebuah pelajaran, memberi saya perspektif baru tentang betapa luas dan menakjubkannya dunia ini.
Perjalanan ini bukan hanya sebuah petualangan fisik, tapi juga sebuah perjalanan spiritual, di mana saya merasa lebih dekat dengan alam dan dengan diri saya sendiri. Menginjakkan kaki di Andes, sebuah tempat yang dulu hanya ada dalam imajinasi saya, adalah sebuah pengalaman yang mengubah cara pandang saya terhadap dunia dan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H