Seiring berjalannya hari, kami pun menjadi sangsi, suatu hari mungkin mata air kami bisa dihitung dengan jari. Itu pasiti..! karena mesin pencakar langit kini parkir di kampung kami. Mau menggusur hutan-hutan kami, pohon-pohonnya diambil mau dikirim keluar negri. Diatas tanah yang digusur itu katanya mau digali dan di lobangi, mau ditambang. Gubernur kami bilang itu semua untuk memperkecil ratio gini. Mereka juga bilang, kami bisa sekolah tinggi, dan orang tua kami dapat gaji, asal mau serahkan seluruh tanah-tanah itu kepada mereka.Â
Mata air kami yang berjumlah seribu dimungkinkan tak dapat diwarisi ke cucu lagi. Orang tua kami pun melawan dan  resistensi atas janji-janji ilusi gubernur.  Kami masih melawan kawan..., ia kita harus melawan sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya
Kami terus duduk enggan membisu, mamparodikan kehidupan yang senantiasa didisiplinkan oleh kapitalisme. Semestara diluar sana, gerimis juga enggan menepi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H