Negara/pemerintah dapat menegakan otoritas yang dimiliki melalui pencabutan segala perijinan operasional bagi sejumlah percetakan buku baik online maupun ofline atau pengusaha fotocopy yang melanggar ketentuan undang-undang hak cipta.Â
Negara juga semestinya menjamin kesejateraan bagi penulis-penulis hebat. Pasalanya para pembajak buku jauh lebih diuntungkan secara ekonomis bila dibandingkan penulisnya sendiri. Kerja-kerja intelektual menulis buku adalah kerja panjang yang melelahkan. Kerja-kerja mereka harus dihormati dan diproteksi oleh negara.Â
Kita sebagai konsumen tentu tidak harus menunggu niat baik dari kebijakan-kebijakan negara dalam mengendalikan praktik pembajakan ini. Sebagai konsumen kita memiliki otoritas untuk bertindak secara jujur dan bertobat atas perilaku mencela ini.Â
Pembajakan buku adalah pekerjaan maling. Maling adalah orang-orang yang mengambil keringat dari hasil kerja orang lain. Jika kita tidak jujur maka kita bukanlah orang-orang terpelajar, seperti kata Pramedya A. Toer, "orang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan".
Tindakan tersebut harus dimbangi dengan derasnya gerakan sosial masyarakat sipil yang peka dengan praktek-praktek ini. Dimana isu pembajakan buku dapat juga difaraming dalam gerakan sosial politik dengan mengkapanyekan perlawanan terhadap praktek "pencurian" yang terus dilanggengkan dalam tatanan masyarakat kita.
Sebagai konfirmasi atas penyakit pembajakan buku yang bergentayangan seperti hantu, tulisan ini saya akhiri dengan pertobatan untuk membeli buku-buku bajakan. Para konsumen buku bajakan bertobatlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H