Bila kita bersenlacar ke kota-kota besar di Indonesia yang kapitalisme industialnya sudah maju, kita dapat menyaksikan secara telanjang mata, lapak-lapak buku bajakan berjemaah. Pembelinya pun berjubel, kalah banding dengan toko-toko buku bergensi. Disana kita juga dapat menyaksikan buku-buku berkualitas diobral dengan harga yang murah.
Pengelaman saya saat di kota pelajar Yogyakarta tahun 2016 silam, saya ikut terjerembab dalam lingkaran bisnis buku bajakan. Bisnis selalu menghadirkan dua pelaku yang salaing membutuhkan, produsen dan konsumen. Â Waktu itu, saya adalah konsumen maniak buku bajakan. Separuh lebih koleksi buku-buku yang saya miliki adalah bajakan.Â
Mahasiswa mana jika memiliki uang pas-pasan, dapat mengoleksi buku-buku asli yang mahalnya minta ampun. Saya waktu itu lebih memilih membeli buku-buku bajakan, bagaimana tidak terpukau? Dengan bermodalkan 100 ribu rupaih saya bisa membeli tetralogi pulau buru yang termasyur itu.
Beberapa hari yang lalu pun saya memesan buku via aplikasi jual-beli online. Buku itu dijual dengan harga yang murah, padahal jika dibandingkan dengan buku aslinya dua kalilipat harganya. Saya menduga itu pasti buku bajakan.
Ini semacam pengakuan dosa, bahwa saya adalah konsumen buku bajakan. Bukan karena saya pamer kejujuran, daripada telunjuk jari menunding orang lain, lupa kalau jemari lain yang justru menunjuk diri sendiri (hehe).
Di kampung saya, praktik pembajakan buku juga marak dilakukan oleh pengusaha-pengusaha fotocopy. Mereka meraup keuntungan dengan mengcopy buku-buku pelajaran sekolah atau buku bacaan lainnya. Dengan alasan berwirausaha, praktek-praktek pembajakan buku justru terus dilanggengkan secara sadar.
Masih lekang dalam berangkas memori, sejak dibangku Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah-SMP dan SMA kami mengcopy buku-buku mata pelajaran. Walaupun tanpa tujuan bisnis, tetap saja melanggar hak cipta kepengarangan. Tindakan semacam ini terus dilakukan berjemaah setiap tahun pelajaran.Â
Praktek pembajakan buku seperti yang saya lakoni ini baik online maupun ofline terjadi ditengah minimnya kotrol dan peran negara/pemerintah, menguatnya sikap hipokrit masyarakat kita dan watak kapitalis para pengusaha percetakan yang mencuri nilai lebih kerja orang lain.
Padahal undang-undang telah menjamin akan adanya perlindungan hak cipta kepengaran oleh negara. Namun negara hilang ketika buku sebagai kebudayaan, hasil cipta karsa anak-anak bangsanya dimaling oleh oknum tak beradab. Negara justru memfasilitasi praktik pembajakan buku dan mengambil keuntungan dari pajak industri percetakan dan pajak penjualan pelapak-pelapak buku bajakan ini.Â
Pada titik ini, ada semacam proses pembiaran yang sengaja dilakukan, baik oleh negara, produsen pencetak buku bajakan dan masyarakat sebagai konsumen di tengah dinamika tatanan masyarakat yang kapitalistik.
Kita tidak dapat membendung derasnya laju modernisasi teknologi percetakan. Namun kita masih memiliki otoritas untuk memblokir segala macam praktek pembajakan buku, sebagai penghormatan kita bagi karya-karya kepengarangan.Â