Keheningan malam merayap di sekitar gedung sekolah yang sepi. Namun, di ruang rapat di lantai atas, tiga sosok bersiap-siap merencanakan sesuatu yang akan mengubah arah perjalanan masa depan.
"Kita harus memastikan bahwa dia yang akan menjadi wakil ketua OSIS," ujar ayahku, wajahnya tegang namun penuh keyakinan.
Paman, yang duduk di seberangnya, mengangguk setuju. "Tapi aturan pencalonan harus diubah. Kita harus membuatnya lebih menguntungkan bagi kita."
Aku duduk di antara mereka, hati berdebar-debar. Tak terbayangkan bagaimana sekolah bisa menjadi tempat persekongkolan ayah dan paman untuk kepentingan ku.
"Mari kita rancang ulang syarat-syarat pencalonan," ucap ayah, mulai mengeluarkan kertas dan pulpen dari tasnya.
Kami mulai menyusun rencana dengan cermat. Ayah, sebagai kepala sekolah, akan menggunakan wewenangnya untuk mengubah aturan pencalonan sesuai keinginan kami. Paman, yang merupakan wakil kepala sekolah, akan memastikan agar rencana tersebut terealisasi tanpa hambatan.
"Syarat utama: kandidat harus memiliki rata-rata nilai minimal 9.0," kata paman sambil menuliskannya di atas kertas.
"Sementara itu, kita akan memastikan bahwa pesaingnya tidak mencapai standar tersebut," tambah ayah dengan senyum penuh kelicikan.
Aku mendengarkan mereka dengan campur aduk perasaan, meskipun aku merasa bersyukur atas dukungan mereka.
Rencana itu terus dipelajari dan diperbaiki hingga larut malam. Setelah segala detail tersusun dengan sempurna, kami saling bertatapan dengan kepuasan.
"Besok, semua akan berjalan sesuai rencana," ucap ayah dengan tegas.
Aku mengangguk, namun hati kecil ku berbisik dengan ragu. Apakah ini benar-benar hal yang tepat untuk dilakukan? Namun, ketika aku melihat wajah bangga ayah dan paman, aku menghentikan keraguan dan memilih untuk percaya pada mereka.
Esok harinya, perubahan drastis terjadi di sekolah. Calon lain yang sebelumnya bersaing dengan ku, tiba-tiba dinyatakan tidak memenuhi syarat karena rata-rata nilai mereka tidak mencapai standar yang baru ditetapkan.
Aku menjadi wakil ketua OSIS tanpa saingan. Tentu di balik kemenangan tersebut ada campur tangan ayah dan paman, kesempatan tidak terulang untuk kedua kali. Meskipun kemudian apakah ini benar-benar prestasi yang aku dapatkan dengan cara yang tepat adalah urusan belakangan.
Hingga akhirnya, permainan di balik layar ini kemudian membawa kasak kusuk di sekolah. Aku pun tetap berjalan dengan senyum sumbringah, karena bagi ku: kejujuran dan integritas bukanlah permata berharga dari pada segala bentuk kesuksesan yang diperoleh dengan cara yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H