Mohon tunggu...
Helena Sutanti
Helena Sutanti Mohon Tunggu... -

Seorang wanita dalam pengembaraan mencari makna kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Be Positive, Be A Good Wife

8 Februari 2011   15:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:47 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin menceritakan pengalaman saya beberapa waktu yang lalu, mungkin sekitar 7 bulan yang lalu. Hari itu hari sabtu yang agak terik, kebetulan saya lagi ga ada kerjaan di rumah. Tiba-tiba saudara saya telpon,

"Len, ke sini dong, aku sendirian nih. Si Evvie (kakaknya) pergi. Kamu bisa ga? Ajak anak-anak sekalian aja". Tumben saudara saya bilang sendirian, biasanya kan rumahnya rame banget? Tapi ga papa lah, saya juga ga ada kerjaan ini hehe. Saya tanyain ke anak-anak tapi ga ada yang mau ikut, lagi asyik maen game sih hehe. Yaudah saya sendirian aja tuh ke sana. Kebetulan rumahnya juga agak jauh, di daerah Jatibening. Semenetara saya di Kedoya. Jam 2an saya baru sampe di sana.

Abis ngobrol-ngobrol sama saudara saya, rupanya saudara saya ada tamu lagi. Tamu tsb seorang perempuan berusia kira-kira 40 tahun lebih, berjilbab orange dan memakai gamis orange juga. Setelah berbasa-basi sekadarnya, saya tahu kalo namanya Dina (sebut saja begitu). Setelah itu benar aja, datang tamu-tamu yang lain, kira-kira ada 5 orang. Maklum, rumah saudara saya ini memang 'rajanya' tamu. Tamu-tamu tsb sudah cukup akrab dengan Dina ternyata.

Dina menceritakan kepada kami bahwa ia memiliki seorang putri dengan down syndrome berusia 6 tahun. Ia menceritakan tentang mantan suaminya yang suka memukulinya, tidak menafkahinya. Suaminya itu sebut saja X, menurutnya merupakan pria yang tampan dan amat memesonanya. Mereka menikah 7 tahun lalu dan ternyata sekarang Dina baru berusia 37 tahun. Saya pun jatuh iba kepada Dina, membayangkan dirinya yang seorang diri mencari nafkah, menjajakan dagangan dari satu arisan ke arisan lainnya. Belum lagi anaknya yang membutuhkan perhatian dan pendidikan khusus yang tentu tidak murah harganya.

Setelah tamu-tamu itu pulang, Dina kembali menceritakan kisah hidupnya. Kali ini lebih rinci. Dina berasal dari keluarga berada, Ayahnya seorang pengusaha sukses. Namun, sampai usianya mendekati 20 akhir, ia belum menemukan satu pun calon pendamping hidup yang tepat untuknya. Meskipun banyak pria yang melamarnya. Sampai akhirnya ada seorang pria yang datang melamar ke rumahnya dan berhasil mengetuk pintu hatinya. Sebagaimana tradisi keluarga, ia tidak pacaran. Hanya beberapa kali bertemu dengan didampingi keluarga. Ia jatuh hati dengan pria tersebut dan tak lama kemudian mereka menikah. Laki-laki ini adalah seorang insyinyur yang baru bekerja sehingga gajinya tidak seberapa, namun toh Dina ikhlas menerimanya.

Mereka hidup bahagia di awal-awal pernikahan sebagaimana pasangan muda lainnya. Namun, bulan berganti bulan, perilaku suami Dina pun turut mengalami perubahan. X mulai suka menampar pipinya hingga kebiruan, menendangi perutnya yang mulai membuncit dan tidak pernah menafkahinya.  Jika ditanya kemana gajinya, X akan bilang bahwa uangnya sudah dikasihkan untuk ibunya. Dina tentu bingung dan kesal, menafkahi istri dan calon anak tidak, masa semua gajinya untuk ibunya? Ia tidak melarang X untuk memberi uang ibunya, namun tentu ia juga harus bisa adil kepada istri dan calon anaknya. Karena suaminya bersikap cukup temperamen, Dina memberitahunya pelan-pelan, takut membuat X tersinggung. Namun, apa yang X lakukan? X menampar Dina tanpa tedeng aling-aling!

Perilaku ibu mertuanya pun cukup untuk membuat saya geregetan. Si ibu ini kok seperti ndak tau diri, sudah tau anaknya 'begitu' bukannya dinasihati malah tambah dipanas-panasi. Ibu mertuanya memfitnah Dina menyeleweng dari suaminya. Saat itu Dina sedang menerima telepon dari kakak laki-lakinya yang di  Mesir, mereka mengobrol cukup akrab sebagaimana lazimnya kakak beradik. Bahkan si ibu mertua ini yang mengangkat telepon dan menyerahkannya kepada Dina. Tapi apa yang si ibu katakan setelah X pulang kerja? Ia bilang kalau Dina baru saja ditelpon mantan pacarnya. Dina pun kontan shock. Dia berusaha menjelaskan semuanya tetapi X tidak mau mendengar. Dia menyeret Dina yang saat itu sedang hamil 7 bulan ke dalam kamar dan menghajarnya habis-habisan di situ. Tangisan, teriakan, permintaan maaf (meskipun Dina tidak salah) dan sumpah Dina atas nama Tuhan tidak ia dengarkan. Ia seperti orang kesetanan. Duh, kejamnya!

Ternyata perlakuan kasar X tidak sampai di situ saja. Layaknya lakon-lakon di sinetron, Dina pun terus menjadi korban teraniaya yang tidak berani melawan dan sang suami serta ibu mertua sebagai tokoh antagonis yang jahatnya pol-polan. X selalu meminta pendapatan Dina yang diperolehnya dari berdagang. Jika tidak diberikan, ia akan menjenggut rambut Dina dan menampar pipinya. Bibir Dina pun dibuatnya berdarah. Dina mengaku bertahan demi sang jabang bayi yang dikandungnya. Sampai akhirnya sang jabang bayi lahir, namun dalam keadaan menyandang cacat mental. X tidak mau mengakui anaknya, darah dagingnya. Dina sangat sedih menghadapi hal ini. Belum lagi ibu mertua yang terus memanas-manasi X, mengatakan kalau inilah anak hasil zina, makanya cacat seperti itu. Pengertian-pengertian yang coba Dina berikan tidak mampu mengubah prasangka buruk mereka. Setiap kali Dina putus asa dan menyarankan untuk tes DNA, mereka pun kompak menolak dan tutup mulut untuk beberapa saat. Biasanya itu pun hanya bertahan beberapa hari saja. O ya, ibu mertua Dina tidak tinggal serumah dengannya, tapi rumahnya berdekatan. Suami Dina ini merupakan anak kesayangan ibu mertuanya.

Dina selalu menutup-nutupi perlakuan suaminya  di depan keluarganya. Jika sang ibu datang membesuk dan menyaksikan bilur-bilur kebiruan di wajahnya, ia akan berbohong dan berusaha menyakinkan bahwa ia terjatuh di kamar mandi atau alasan-alasan lainnya. Suatu hari, sang suami pulang terlambat. Dina menanyakan dari mana ia dan anda tahu apa yang X katakan? Ia mengaku selingkuh dengan teman kantornya karena Dina tidak mampu memuaskannya lagi. Padahal menurut Dina, mereka termasuk sering berhubungan. Dina sangat terpukul mendengar hal ini, apalagi sang suami mengatakannya langsung tanpa menenggang rasa sedikit pun. Bahkan X tidak merasa bersalah sedikit pun! Ia mengatakannya dengan santai dan wajah yang cengegesan.

Dina merasa kecewa dan amat sakit hati. Kepercayaan yang selama ini berusaha ia bangun hancur berantakan. Ia merasa amat down. Akhirnya dengan sangat berat hati, ia kembali ke rumah orang tuanya. Sang kakak yang tidak terima dengan derita yang dialami adiknya, langsung datang menemui X dan berniat mau menghajarnya. Namun, dengan alasan bahwa itu adalah ayah anaknya, Dina tidak rela siapa pun menyakiti X. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan keluarga, keputusan bercerai yang ia ambil. Setelah bercerai, ia tinggal menumpang di salah satu rumah orang tuanya (kebetulan orang tuanya memiliki banyak rumah). Namun, ia berusaha mencari nafkah sendiri tanpa meninggalkan anaknya. Ia ingin mengasuh anaknya sendiri. Maka ia pun memilih untuk menjajakan pakaian, dll ke arisan-arisan.

Dina menceritakan lakon tragis hidupnya dengan air mata yang berlinangan tetapi saya lihat di situ, di matanya, ada sorot ketegaran seorang wanita yang telah banyak mengalami pahitnya hidup itu. Saya merangkulnya dan berusaha menghibur duka laranya. Meskipun kami baru berkenalan beberapa jam yang lalu, tapi rasanya saya sudah dekaaaat sekali dengannya. Seakan-akan kami ini sudah berteman sejak lama. Sambil menjernihkan pikiran saya sendiri, saya berpikir masalah yang Dina alami (KDRT) ini kok seperti tidak ada habisnya? Mau dibawa kemana masalah ini, nasib perempuan-perempuan seperti Dina?

Setelah sholat isya, saya coba membahasnya dengan Dina. Saya coba tanyakan langsung kepadanya apa yang dari tadi mengganjal di hati saya.

"Dina, jujur sama saya, apa kamu masih mencintainya? Apa kamu rela bertahan dengannya selama ini demi cinta? Tolong, saya mau coba bicara dari hati ke hati sama kamu"

Dina terdiam beberapa saat, dengan air mata yang siap menitik di pipinya.

"Dina, cobalah untuk jujur, bukan hanya jujur sama saya, tetapi yang paling utama jujur kepada dirimu sendiri. Apa yang saat ini kamu rasakan kepadanya?"

"Mbak, sejujurnya saya masih amat mencintainya. Sedetik pun saya tidak pernah bisa menghapus bayangannya. Saya benar-benar mencintainya" sambil menangis terisak-isak Dina menjelaskan.

Saya rangkul dia,  saya berusaha memberikan pengertian pelan-pelan kepada Dina.

"Dina, apa kamu pernah jatuh cinta sebelumnya? Apa yang kamu rasakan saat harus berpisah dengannya?"

"Terakhir kali saya jatuh cinta mungkin saat SMA. Ya, waktu itu saya pernah  mengalami cinta monyet tapi tidak lama, hanya sekitar 6 bulanan. Saya sedih saat ia meninggalkan saya dan selingkuh dengan teman saya yang cantik. Dengar-dengar dari temannya, ia memutuskan saya karena saya tidak cantik menurutnya"

Saya manggut-manggut, kemudian saya lanjutkan,

"Apa kamu merasa kamu cantik? Coba kamu pede, kamu bilang jujur sama saya"

"Hehehe, ga lah mbak, aku biasa aja. Suamiku juga ga pernah muji aku"

"Oh, begitu?" tanya saya keheranan.

"Iya, mbak"

Saya mencoba memberi pengertian kepada Dina bahwa semua wanita itu pada dasarnya cantik. Cantik bagian dari keindahan dan bukankah perempuan makhluk yang penuh dengan keindahan? Kembali lagi ke masalah KDRT.

"Dina, tadi siang kamu bilang sama saya kamu bertahan demi anak-anak? Apakah benar begitu?"

"Iya mbak, bagaimanapun anak-anak akan lebih baik tinggal dengan orang tuanya"

"Dina, coba sekarang kamu bayangkan, kalau Fathiyya (anaknya) sudah besar dan menyaksikan ayahnya bersikap seperti itu terhadap ibunya, apakah itu tidak akan mengganggu mentalnya? Apakah Fathiyya akan suka melihat ibunya diperlakukan begitu?"

Dina hanya terdiam dan tidak menjawab apa-apa.

"Dengar ya Dina, KDRT macam begitu bukan hal yang bisa ditolerir atas nama cinta. Karena apa? Karena di dalam rumah tangga ini bukan cuma antara kamu dan suamimu, tetapi juga antara kalian dan Fathiyya. Kekerasan apapun bentuknya tidak akan baik buat pertumbuhan anak, apalagi kalau ia mulai beranjak remaja. Lingkungan yang seperti itu tidak akan kondusif buat dia, mau bagaimana pun kamu berusaha melindunginya. Baik buat anak-anak menurutmu adalah menurut cinta, bukan menurut rasio. Saya bicara seperti ini bukan saya mau ikut campur urusan kamu, tapi murni karena saya sayang sama kamu. Cinta memang tidak selalu hadir dalam bentuk kebahagiaan, cinta bisa hadir dalam ketidak cocokan. Tetapi cinta tidak akan pernah hadir dalam bentuk kekerasan. Percayalah sama saya, kamu bisa mendapatkan yang terbaik buat jalan hidupmu kalau kamu perlahan mencoba untuk bangkit,  mencoba untuk tidak tergantung dengannya, mencoba untuk menghapus pikiran bahwa hanya dia seorang yang mencintaimu dan bisa menerimamu apa adanya. Katakan pada dirimu bahwa kamu mampu, kamu kuat, kamu bisa mandiri. Saya yakin kamu adalah wanita yang tegar, saya bisa lihat dari sorot mata kamu. Tapi mungkin cinta yang ada, yang terus menghantuimu, yang membuat kamu merasa lemah. Melupakan seseorang yang pernah ada di hati kita memang sangat sulit. Tapi coba perlahan yakinkan dirimu kalau kamu bisa. Lepas dari apa yang sudah terjadi, kamu tidak boleh menyesal menikah dengannya. Karena kalau ga ada dia, tentu ga akan ada Fathiyya. Kamu sekarang punya status baru, dia juga, tetapi Fathiyya tetap anak kalian berdua apa pun yang terjadi. Jangan sampai tali antara ayah dan anak terputus meskipun kalian tidak serumah. Menurut saya itu lah yang paling tepat untuk kalian"  jelas saya panjang lebar saking geregetannya hehehe.

Saya lihat Dina pelan-pelan bisa mengerti. Setelah berpelukan, saya pun pulang ke rumah meski sudah larut malam. Hahaha, panjang bener ya pembicaran saya sama Dina?

Beberapa bulan kemudian saya dengar dari Diana (saudara saya itu), Dina rujuk dengan mantan suaminya. Keluarganya sudah capai mengingatkan Dina, tetapi Dina tetap pada keputusannya. Keluarga tidak bisa apa-apa, keputusan memang ada di tangan Dina.

Dina, kamu sudah tau bagaimana pandangan orang lain tentang masalahmu, apa pun keputusanmu kamu sendiri yang tau mana yang terbaik untukmu dan apa akibatnya. Mbak Elen hanya bisa mencoba memberimu pengertian, karena memang hanya sampai di situlah tugas Mbak Elen sebagai sesama perempuan.

Begitulah Kompasianer, banyak dari kita, para wanita, yang pernah mengalami KDRT tidak tahu atau tidak mau benar-benar menyelesaikannya sehingga masalah ini tidak ada habisnya. Penyeleseaian sering terbentur dengan kesalahan dalam memaknai cinta. Apapun kondisi anda, biarpun anda merasa bahwa kondisi anda tidak normal (secara fisik), kekerasan TETAP TIDAK PANTAS anda dapatkan! TIDAK ADA LAGI alasan dia mencintaiku, dia mau menerima segala kekuranganku, dia yang memperkenalkan aku kepada pintu pernikahan, dll.

KDRT merupakan masalah internal rumah tangga anda namun bila penyelesaian dengan bicara dari hati ke hati dengan pasangan tidak kunjung menemukan titik temu, tak ada salahnya anda mencoba berkonsultasi kepada ahlinya (psikolog pernikahan & keluarga). Menceritakan KDRT yang anda alami kepada khalayak umum bukanlah jalan yang terbaik menurut saya. Beruntung bila anda menemukan orang yang mau mendengar anda dengan hati, tetapi apakah semuanya akan seperti itu? Tidak jarang yang malah memanas-manasi hati anda. KDRT tidak hanya melulu urusan fisik tetapi juga meliputi verbal dan batin. Bila anda mengalami KDRT yang berujung pada kekerasan yang membahayakan nyawa anda, jangan ragu untuk melapor kepada pihak berwajib. Tidak perlu malu bila semuanya memang demi kebaikan.

Satu lagi yang tidak kalah penting, saat ini kok saya seperti melihat banyak ibu-ibu yang mengaku mendapat KDRT dari suaminya dan curhat kepada khalayak (seakan-akan agar semua orang tahu), tetapi masih rela bertahan dan satu rumah? Apa tidak malu? Masih 'mau' tapi kok dicerita-ceritain? Sosok yang seperti ini menghilangkan simpati saya. Sosok seperti ini BUKANLAH sosok wanita tegar sejati yang bisa menginspirasi tetapi malah kok seperti cari perhatian? Atau barangkali sensasi?

Wanita tegar adalah wanita mandiri yang percaya diri, yang mampu menyelesaikan masalah yang dialaminya hingga tuntas dan membangun kebahagiaannya tanpa mengorbankan orang-orang terdekatnya sehingga mampu menginspirasi orang lain. Bukan wanita yang hanya curhat sana-sini tapi masalah yang dialaminya (KDRT) tidak kunjung tuntas.

Menceritakan keburukan pasangan anda kepada khalayak juga akan menurunkan harga diri anda secara tidak langsung. Mungkin niat anda hanya berbagi, tetapi saya rasa berbagi yang paling tepat adalah kepada ahlinya (psikolog). Sebagai sesama wanita dan ahli di bidang tsb, saya yakin mereka bisa menemukan solusi yang tepat bagi anda. Tinggal bagaimana anda, mau menerima solusi tsb atau tidak, semua terserah anda. Mungkin anda tidak menyadarinya, tetapi anak-anak anda pun akan menjadi  'disepelekan'  jika publik tahu sikap ayahnya terhadap ibunya dan terhadapnya.

So, Be Positive, berpikirlah yang baik-baik tentang diri anda. Tidak ada kata terlambat untuk menggali bakat-bakat terpendam anda dan menunjukkannya pada dunia. Tularkan aura positif kepada orang-orang di sekitar anda, jangan hanya selalu berbagi tentang duka lara anda :) .

Be A Good Wife, jadilah istri yang kuat, sabar, cerdas, tegas, mampu menyenangkan suami dan sebagai tempat suami menyandar bila ia sedang membutuhkan anda, sebagaimana janji awal pernikahan yakni saling melengkapi. Selalu introspeksi diri, rendah hati namun tidak rendah diri :) .Posisikan diri anda dengan tepat di dalam rumah tangga yaitu sebagai mitra kerja suami dalam mengasuh buah hati :) .

And last but not least, sebagai suami, jadilah pelindung bagi istri dan buah hati anda. Sayangilah mereka seperti mereka selalu menyayangi anda :) .

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Kompasianer, untuk teman-teman sesama perempuan yang pernah mengalami lakon seperti Dina.

-Helena Sutanti-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun