Saya ingin menceritakan pengalaman saya beberapa waktu yang lalu, mungkin sekitar 7 bulan yang lalu. Hari itu hari sabtu yang agak terik, kebetulan saya lagi ga ada kerjaan di rumah. Tiba-tiba saudara saya telpon,
"Len, ke sini dong, aku sendirian nih. Si Evvie (kakaknya) pergi. Kamu bisa ga? Ajak anak-anak sekalian aja". Tumben saudara saya bilang sendirian, biasanya kan rumahnya rame banget? Tapi ga papa lah, saya juga ga ada kerjaan ini hehe. Saya tanyain ke anak-anak tapi ga ada yang mau ikut, lagi asyik maen game sih hehe. Yaudah saya sendirian aja tuh ke sana. Kebetulan rumahnya juga agak jauh, di daerah Jatibening. Semenetara saya di Kedoya. Jam 2an saya baru sampe di sana.
Abis ngobrol-ngobrol sama saudara saya, rupanya saudara saya ada tamu lagi. Tamu tsb seorang perempuan berusia kira-kira 40 tahun lebih, berjilbab orange dan memakai gamis orange juga. Setelah berbasa-basi sekadarnya, saya tahu kalo namanya Dina (sebut saja begitu). Setelah itu benar aja, datang tamu-tamu yang lain, kira-kira ada 5 orang. Maklum, rumah saudara saya ini memang 'rajanya' tamu. Tamu-tamu tsb sudah cukup akrab dengan Dina ternyata.
Dina menceritakan kepada kami bahwa ia memiliki seorang putri dengan down syndrome berusia 6 tahun. Ia menceritakan tentang mantan suaminya yang suka memukulinya, tidak menafkahinya. Suaminya itu sebut saja X, menurutnya merupakan pria yang tampan dan amat memesonanya. Mereka menikah 7 tahun lalu dan ternyata sekarang Dina baru berusia 37 tahun. Saya pun jatuh iba kepada Dina, membayangkan dirinya yang seorang diri mencari nafkah, menjajakan dagangan dari satu arisan ke arisan lainnya. Belum lagi anaknya yang membutuhkan perhatian dan pendidikan khusus yang tentu tidak murah harganya.
Setelah tamu-tamu itu pulang, Dina kembali menceritakan kisah hidupnya. Kali ini lebih rinci. Dina berasal dari keluarga berada, Ayahnya seorang pengusaha sukses. Namun, sampai usianya mendekati 20 akhir, ia belum menemukan satu pun calon pendamping hidup yang tepat untuknya. Meskipun banyak pria yang melamarnya. Sampai akhirnya ada seorang pria yang datang melamar ke rumahnya dan berhasil mengetuk pintu hatinya. Sebagaimana tradisi keluarga, ia tidak pacaran. Hanya beberapa kali bertemu dengan didampingi keluarga. Ia jatuh hati dengan pria tersebut dan tak lama kemudian mereka menikah. Laki-laki ini adalah seorang insyinyur yang baru bekerja sehingga gajinya tidak seberapa, namun toh Dina ikhlas menerimanya.
Mereka hidup bahagia di awal-awal pernikahan sebagaimana pasangan muda lainnya. Namun, bulan berganti bulan, perilaku suami Dina pun turut mengalami perubahan. X mulai suka menampar pipinya hingga kebiruan, menendangi perutnya yang mulai membuncit dan tidak pernah menafkahinya. Â Jika ditanya kemana gajinya, X akan bilang bahwa uangnya sudah dikasihkan untuk ibunya. Dina tentu bingung dan kesal, menafkahi istri dan calon anak tidak, masa semua gajinya untuk ibunya? Ia tidak melarang X untuk memberi uang ibunya, namun tentu ia juga harus bisa adil kepada istri dan calon anaknya. Karena suaminya bersikap cukup temperamen, Dina memberitahunya pelan-pelan, takut membuat X tersinggung. Namun, apa yang X lakukan? X menampar Dina tanpa tedeng aling-aling!
Perilaku ibu mertuanya pun cukup untuk membuat saya geregetan. Si ibu ini kok seperti ndak tau diri, sudah tau anaknya 'begitu' bukannya dinasihati malah tambah dipanas-panasi. Ibu mertuanya memfitnah Dina menyeleweng dari suaminya. Saat itu Dina sedang menerima telepon dari kakak laki-lakinya yang di  Mesir, mereka mengobrol cukup akrab sebagaimana lazimnya kakak beradik. Bahkan si ibu mertua ini yang mengangkat telepon dan menyerahkannya kepada Dina. Tapi apa yang si ibu katakan setelah X pulang kerja? Ia bilang kalau Dina baru saja ditelpon mantan pacarnya. Dina pun kontan shock. Dia berusaha menjelaskan semuanya tetapi X tidak mau mendengar. Dia menyeret Dina yang saat itu sedang hamil 7 bulan ke dalam kamar dan menghajarnya habis-habisan di situ. Tangisan, teriakan, permintaan maaf (meskipun Dina tidak salah) dan sumpah Dina atas nama Tuhan tidak ia dengarkan. Ia seperti orang kesetanan. Duh, kejamnya!
Ternyata perlakuan kasar X tidak sampai di situ saja. Layaknya lakon-lakon di sinetron, Dina pun terus menjadi korban teraniaya yang tidak berani melawan dan sang suami serta ibu mertua sebagai tokoh antagonis yang jahatnya pol-polan. X selalu meminta pendapatan Dina yang diperolehnya dari berdagang. Jika tidak diberikan, ia akan menjenggut rambut Dina dan menampar pipinya. Bibir Dina pun dibuatnya berdarah. Dina mengaku bertahan demi sang jabang bayi yang dikandungnya. Sampai akhirnya sang jabang bayi lahir, namun dalam keadaan menyandang cacat mental. X tidak mau mengakui anaknya, darah dagingnya. Dina sangat sedih menghadapi hal ini. Belum lagi ibu mertua yang terus memanas-manasi X, mengatakan kalau inilah anak hasil zina, makanya cacat seperti itu. Pengertian-pengertian yang coba Dina berikan tidak mampu mengubah prasangka buruk mereka. Setiap kali Dina putus asa dan menyarankan untuk tes DNA, mereka pun kompak menolak dan tutup mulut untuk beberapa saat. Biasanya itu pun hanya bertahan beberapa hari saja. O ya, ibu mertua Dina tidak tinggal serumah dengannya, tapi rumahnya berdekatan. Suami Dina ini merupakan anak kesayangan ibu mertuanya.
Dina selalu menutup-nutupi perlakuan suaminya  di depan keluarganya. Jika sang ibu datang membesuk dan menyaksikan bilur-bilur kebiruan di wajahnya, ia akan berbohong dan berusaha menyakinkan bahwa ia terjatuh di kamar mandi atau alasan-alasan lainnya. Suatu hari, sang suami pulang terlambat. Dina menanyakan dari mana ia dan anda tahu apa yang X katakan? Ia mengaku selingkuh dengan teman kantornya karena Dina tidak mampu memuaskannya lagi. Padahal menurut Dina, mereka termasuk sering berhubungan. Dina sangat terpukul mendengar hal ini, apalagi sang suami mengatakannya langsung tanpa menenggang rasa sedikit pun. Bahkan X tidak merasa bersalah sedikit pun! Ia mengatakannya dengan santai dan wajah yang cengegesan.
Dina merasa kecewa dan amat sakit hati. Kepercayaan yang selama ini berusaha ia bangun hancur berantakan. Ia merasa amat down. Akhirnya dengan sangat berat hati, ia kembali ke rumah orang tuanya. Sang kakak yang tidak terima dengan derita yang dialami adiknya, langsung datang menemui X dan berniat mau menghajarnya. Namun, dengan alasan bahwa itu adalah ayah anaknya, Dina tidak rela siapa pun menyakiti X. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan keluarga, keputusan bercerai yang ia ambil. Setelah bercerai, ia tinggal menumpang di salah satu rumah orang tuanya (kebetulan orang tuanya memiliki banyak rumah). Namun, ia berusaha mencari nafkah sendiri tanpa meninggalkan anaknya. Ia ingin mengasuh anaknya sendiri. Maka ia pun memilih untuk menjajakan pakaian, dll ke arisan-arisan.
Dina menceritakan lakon tragis hidupnya dengan air mata yang berlinangan tetapi saya lihat di situ, di matanya, ada sorot ketegaran seorang wanita yang telah banyak mengalami pahitnya hidup itu. Saya merangkulnya dan berusaha menghibur duka laranya. Meskipun kami baru berkenalan beberapa jam yang lalu, tapi rasanya saya sudah dekaaaat sekali dengannya. Seakan-akan kami ini sudah berteman sejak lama. Sambil menjernihkan pikiran saya sendiri, saya berpikir masalah yang Dina alami (KDRT) ini kok seperti tidak ada habisnya? Mau dibawa kemana masalah ini, nasib perempuan-perempuan seperti Dina?