Begitulah Kompasianer, banyak dari kita, para wanita, yang pernah mengalami KDRT tidak tahu atau tidak mau benar-benar menyelesaikannya sehingga masalah ini tidak ada habisnya. Penyeleseaian sering terbentur dengan kesalahan dalam memaknai cinta. Apapun kondisi anda, biarpun anda merasa bahwa kondisi anda tidak normal (secara fisik), kekerasan TETAP TIDAK PANTAS anda dapatkan! TIDAK ADA LAGI alasan dia mencintaiku, dia mau menerima segala kekuranganku, dia yang memperkenalkan aku kepada pintu pernikahan, dll.
KDRT merupakan masalah internal rumah tangga anda namun bila penyelesaian dengan bicara dari hati ke hati dengan pasangan tidak kunjung menemukan titik temu, tak ada salahnya anda mencoba berkonsultasi kepada ahlinya (psikolog pernikahan & keluarga). Menceritakan KDRT yang anda alami kepada khalayak umum bukanlah jalan yang terbaik menurut saya. Beruntung bila anda menemukan orang yang mau mendengar anda dengan hati, tetapi apakah semuanya akan seperti itu? Tidak jarang yang malah memanas-manasi hati anda. KDRT tidak hanya melulu urusan fisik tetapi juga meliputi verbal dan batin. Bila anda mengalami KDRT yang berujung pada kekerasan yang membahayakan nyawa anda, jangan ragu untuk melapor kepada pihak berwajib. Tidak perlu malu bila semuanya memang demi kebaikan.
Satu lagi yang tidak kalah penting, saat ini kok saya seperti melihat banyak ibu-ibu yang mengaku mendapat KDRT dari suaminya dan curhat kepada khalayak (seakan-akan agar semua orang tahu), tetapi masih rela bertahan dan satu rumah? Apa tidak malu? Masih 'mau' tapi kok dicerita-ceritain? Sosok yang seperti ini menghilangkan simpati saya. Sosok seperti ini BUKANLAH sosok wanita tegar sejati yang bisa menginspirasi tetapi malah kok seperti cari perhatian? Atau barangkali sensasi?
Wanita tegar adalah wanita mandiri yang percaya diri, yang mampu menyelesaikan masalah yang dialaminya hingga tuntas dan membangun kebahagiaannya tanpa mengorbankan orang-orang terdekatnya sehingga mampu menginspirasi orang lain. Bukan wanita yang hanya curhat sana-sini tapi masalah yang dialaminya (KDRT) tidak kunjung tuntas.
Menceritakan keburukan pasangan anda kepada khalayak juga akan menurunkan harga diri anda secara tidak langsung. Mungkin niat anda hanya berbagi, tetapi saya rasa berbagi yang paling tepat adalah kepada ahlinya (psikolog). Sebagai sesama wanita dan ahli di bidang tsb, saya yakin mereka bisa menemukan solusi yang tepat bagi anda. Tinggal bagaimana anda, mau menerima solusi tsb atau tidak, semua terserah anda. Mungkin anda tidak menyadarinya, tetapi anak-anak anda pun akan menjadi  'disepelekan' jika publik tahu sikap ayahnya terhadap ibunya dan terhadapnya.
So, Be Positive, berpikirlah yang baik-baik tentang diri anda. Tidak ada kata terlambat untuk menggali bakat-bakat terpendam anda dan menunjukkannya pada dunia. Tularkan aura positif kepada orang-orang di sekitar anda, jangan hanya selalu berbagi tentang duka lara anda :) .
Be A Good Wife, jadilah istri yang kuat, sabar, cerdas, tegas, mampu menyenangkan suami dan sebagai tempat suami menyandar bila ia sedang membutuhkan anda, sebagaimana janji awal pernikahan yakni saling melengkapi. Selalu introspeksi diri, rendah hati namun tidak rendah diri :) .Posisikan diri anda dengan tepat di dalam rumah tangga yaitu sebagai mitra kerja suami dalam mengasuh buah hati :) .
And last but not least, sebagai suami, jadilah pelindung bagi istri dan buah hati anda. Sayangilah mereka seperti mereka selalu menyayangi anda :) .
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Kompasianer, untuk teman-teman sesama perempuan yang pernah mengalami lakon seperti Dina.
-Helena Sutanti-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H