Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Personal Branding Palsu dalam Peribahasa

15 Juni 2021   19:03 Diperbarui: 15 Juni 2021   19:17 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Personal branding berperan penting dalam kesuksesan seseorang dimana seseorang membangun citra dirinya untuk mempengaruhi persepsi orang lain tentang dirinya.  Melalui jenama (brand) pribadi,  seseorang menunjukkan siapa dirinya kepada khalayak umum. 

Kemajuan teknologi saat ini turut membantu orang-orang berlomba-lomba mempresentasikan jenama pribadi melalui media sosial. Tidak hanya public figure, seniman, dan professional, anak-anak remaja dan ibu-ibu rumah tangga pun tidak mau ketinggalam menciptakan jenama pribadi.  

Masalahnya, dalam membangun jenama pribadi tersebut, banyak cara-cara yang dilakukan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Seringkali seseorang menampilkan sesuatu yang tampak bagus di luar, tapi kosong di dalam. Beberapa peribahasa menggambarkan dengan tepat jenama pribadi palsu ini.

Tong Kosong Nyaring Bunyinya

Kita cukup akrab dengan peribahasa yang satu ini. Tong kosong nyaring bunyinya menggambarkan tong yang tidak ada isi di dalamnya, kalau dipukul akan mengeluarkan bunyi yang nyaring. Sebaliknya tong yang berisi air di dalamnya, justru tidak mengeluarkan suara nyaring jika dipukul. Arti dari peribahasa ini adalah seseorang yang banyak bicara tapi miskin ilmu.

Air Beriak Tanda Tak Dalam

Mirip dengan tong kosong nyaring bunyinya, air beriak tanda tak dalam juga memiliki arti banyak bicara tanda orang yang berilmu dangkal.

Sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, orang yang baru menguasai suatu ilmu pengetahuan atau skill tententu, merasa diri paling banyak tahu. Tidak jarang, mereka menggangap dirinya lebih dari orang-orang lain. Mereka selalu memamerkan betapa cerdas dan pintarnya mereka. Mereka selalu merasa diri benar.

Jika kita kulik lebih jauh, yang mereka tahu hanya permukaan atau kulit saja. Apa yang mereka bicarakan hanyalah omong kosong. Kadang kala, hanya bermodal googling, merasa diri sudah menjadi ahli. Celakanya, banyak tong kosong nyaring bunyinya ini yang aktif di media sosial dan menimbulkan polemik. Keadaan menjadi makin panas karena para pengikutnya (followers) ikut-ikutan membela habis-habisan. Perang di media sosial pun tak terhindari.

Tong kosong nyaring bunyinya sejalan dengan Dunning-Kruger effect. Individu yang mengalami Dunning-Kruger effect mengalami bias kognitif sehingga keliru menilai kemampuan dirinya sendirinya dan merasa kemampuannya jauh lebih tinggi dari sebenarnya. Hal ini terjadi karena kurangnya self-awareness sehingga individu tersebut tidak dapat menilai pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya secara akurat.

Saya mengakui, saya juga sering terjebak dalam Dunning-Kruger effect ini, entah saya sadari ataupun tidak. Padahal semakin berilmu seseorang, semakin rendah hati, semakin lebih banyak mendengarkan orang lain dibandingkan berbicara. Justru biasanya orang-orang yang banyak ilmu itu lebih diam. Seperti kata pepatah, air yang tenang menghanyutkan. Kerendah hatian untuk terus menerus belajar tanpa menggangap ilmu yang dikuasainya sudah sempurna atau sudah tahu segalanya. Seperti ilmu padi, semakin berisi, semakin merunduk

Saya ingat professor saya mengatakan kepada saya bahwa membaca jurnal ilmiah di bidang yang beliau kuasai seperti makan cemilan. Sementara saya sendiri membaca beberapa jurnal ilmiah malah jadi sakit kepala. Meskipun demikian, beliau tidak pernah berhenti belajar tentang penelitian-penelitian terbaru, bahkan sampai beliau pensiun. Menurut beliau, belajar itu tidak akan pernah selesai sampai kita meninggalkan dunia ini.

Tanpa belajar, kita tidak akan bertumbuh. Dan tanpa bertumbuh, kita sebenarnya mati.

Saya lupa dimana saya membaca nukilan ini. Mungkin di salah satu buku John Maxwell. Semakin kita belajar, semakin kita sadar bahwa kita tidak tahu apa-apa.

Agak Lebih Daripada Agih

Peribahasa lain yang dekat dengan pencitraan adalah agak lebih daripada agih. Peribahasa ini memiliki arti banyak bicara sedikit kerja. Kalau kata orang asing “Not Action Talk Only” atau sering disebut dengan akronim NATO.

Di dunia kerja, orang-orang NATO ini sering membuat jengkel atasan maupun rekan kerja. Biasanya orang-orang ini menguasai forum diskusi dengan mengajukan banyak pertanyaan atau berbicara berbelit-belit. Tidak jarang mereka juga mengkritik ide-ide atau pekerjaan orang lain dan membicarakan kesuksesan yang mereka raih.

Saat diberikan pekerjaan, hasilnya justru mengecewakan. Jauh dari janama diri yang selama ini mereka gaungkan. Laporan tidak selesai atau melebihi tenggat waktu. Ujung-ujungnya, atasan harus turun tangan dan kadang-kadang pekerjaan mereka dialihkan ke rekan kerjanya agar pekerjaan selesai.

Di dunia politik, jangan ditanya berapa banyak politikus yang modelnya seperti ini. Kerjanya hanya mengkritik. Giliran dirinya diberi tanggung jawab memegang posisi tertentu, hasil kerjanya nol besar. Bahkan ada yang sampai diganti saat reshuffle kabinet.

Besar Pasak daripada Tiang 

Besar pasak daripada tiang. Lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. Peribahasa lain yang agak mirip adalah air mudik sungai, semua teluk diranai. Peribahasa ini memiliki arti orang yang boros dan tanpa perhitungan dalam mengatur keuangan.

Demi janama pribadi, banyak orang yang rela mengeluarkan banyak uang demi mengikuti tren terkini. Belanja barang-barang branded yang sedang in dan mem-postingnya di media sosial. Berlibur ke resort-resort eksotik dan ke mancanegara dengan naik pesawat kelas satu. Hang-out di tempat-tempat yang lagi hype dengan makanan-makanan mewah.

Semuanya didasari oleh motivasi ingin terlihat wah dan berkelas. Akhirnya terjebak hutang kartu kredit yang menumpuk. Ada juga demi terlihat mewah, memakai barang-barang palsu atau yang dikenal barang kW. Demi pencintraan berkelas dan mewah, apa saja dilakukan.

Personal branding bukan berarti kita melakukan apa saja supaya citra diri baik. Sesuatu yang palsu, bukan yang autentik, pada akhirnya akan tidak akan bertahan. Personal branding harus dibangun dari mengenal diri sendiri terlebih dahulu. Tanpa mengenal diri sendiri, tidak ada kesejatian.

Kesuksesan tidak bisa diperoleh dalam semalam. Ibarat kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Semua hal dalam hidup ini butuh proses. Tidak ada cara instan seperti layaknya memasak mi instan. Dan biasanya, justru hal-hal yang berharga dalam hidup, jalannya tidak mudah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun