Persoalan sampah menjadi salah satu permasalahan besar di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan jumlah timbulan sampah juga meningkat.
Sampah yang tidak dikelola dengan baik memberi dampak bagi lingkungan, seperti pencemaran udara dan bau yang tidak sedap, kekurangan oksigen di daerah pembuangan sampah, emisi gas-gas berbahaya yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah, penularan penyakit yang ditimbulkan oleh sampah, dan pemandangan yang tidak nyaman secara estetika.
Tentunya kita masih ingat tragedi longsornya gunungan sampah di TPA Leuwigajah pada tahun 2005. Ledakan gas metana mengakibatkan 157 jiwa melayang. Longsoran sampah juga menggulung dua kampung di sekitarnya.
Selain berdampak pada lingkungan, sampah juga menjadi salah satu penyebab banjir. Kurangnya kesadararan masyarakat yang membuang sampah sembarangan langsung ke saluran air ataupun sungai, menyebabkan terjadinya banjir saat turun hujan deras.Â
Saat banjir di Jakarta beberapa waktu lalu, kita dapat melihat dari berita barang-barang seperti kasur hingga sofa yang mengapung di Sungai Ciliwung.
Berdasarkan riset yang diadakan oleh Sustainable Waste Indonesia (SWI) pada tahun 2017, 24% dari sampah yang dihasilkan atau setara dengan 25 juta ton sampah tidak dikelola dan dibuang langsung ke lingkungan seperti ke sungai, danau, pantai dan laut. Hasil riset ini menunjukkan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sampah.
Hasil survei BPS yang dilakukan pada tahun 2017 tentang Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup Indonesia juga mendukung tentang rendahnya kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah. Indeks ketidakpedulian terhadap sampah menunjukkan angka 0.72.
Dikutip dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, timbulan sampah pada tahun 2020 mencapai sekitar 36,4 juta ton. Komposisi sampah berdasarkan jenis sampah meliputi sisa makanan 30,8%, sampah plastik 18,5%, sampah kayu/ranting/daun 12%, dan sampah kertas 11,2%.
Capaian kinerja pengelolaan sampah adalah sebagai berikut: pengurangan sampah sebesar 15,98% dan penanganangan sampah sebesar 37,34%.Â
Sampah yang terkelola sebesar 53,32% dan sampah yang tidak terkelola sebesar 46,68%. Dari data SIPSN ini dapat kita lihat bahwa masih banyak sampah yang belum dikelola.
Pengelolaan Sampah Di Indonesia
Pengelolaan sampah telah diatur dalam Undang-Undang no. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Dalam undang-undang tersebut, pengelolaan sampah mencakup pengurangan sampah dan penanganan sampah.
Pengurangan sampah dilakukan dengan pendekatan 3R (reduce, recycle, reuse), yakni pengurangan timbulan sampah, pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah mencakup pemilahan sampah, pengumpulan sampah, pengangkutan sampah, pengolahan sampah, dan pemrosesan akhir sampah.
Sebagai turunan dari UU No.18/2008, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik.
Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan terkait pengelolaan sampah yang dikenal sebagai Jakstranas. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Dalam Jakstranas tersebut, pemerintah menetapkan target pengurangan sebesar 30% pada tahun 2015 dari timbulan sampah nasional dan target penanganan sampah sebesar 70% pada tahun 2015 dari timbulan sampah nasional.Â
Key Performance Indicator (KPI) untuk pengurangan sampah adalah penurunan jumlah sampah per kapita, penurunan jumlah timbunan sampah di sumber, dan penurunan jumlah sampah yang terbuang ke lingkungan.
Sedangkan KPI untuk penanganan sampah mencakup peningkatan jumlah sampah terdaur ulang dan menjadi sumber energi, penurunan jumlah sampah ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan penurunan sampah yang terbuang ke lingkungan. Pemerintah juga melarang beberapa jenis plastik sekali pakai seperti kantong belanja plastik, sedotan plasti, dan wadah styrofoam.
Dengan adanya UU No.18/2018, kebijakan pengelolaan sampah mengalami transformasi dari pendekatan end of pipe berbasis ekonomi linier dengan pola kumpul-angkut-buang menjadi pendekatan berbasis ekonomi sirkular (circular economy) dengan pola kumpul-pilah-olah-angkut.
Dalam circular economy, sampah tidak lagi dianggap tidak berguna dan harus dibuang. Paradigma pengelolan sampah tidak lagi berfokus pada penyelesaian di tempat pemrosesan akhir, tapi dengan menggunakan prinsip 3R.Â
Sampah dianggap sebagai sumber daya, baik sebagai bahan baku maupun sebagai energi terbarukan sehingga dimanfaatkan semaksimal mungkin sebelum dibuang ke tempat sampah.
Namun dalam kenyataannya, praktek pengelolaan sampah masih jauh panggang dari api. Ada beberapa persoalan sampah yang dijumpai di Indonesia.
Kapasitas pengelolaan sampah masih relatif rendah
Pengelolaan sampah yang baik dan benar hanya berkisar 32%. Sebagian besar operasional tempat pemrosesan akhir (TPA) masih berupa pembuangan terbuka. Pada tahun 2018, TPA terbuka di seluruh Indonesia mencapai 55,56%.
Penegakan hukum belum maksimal
UU Nomor 18 tahun 2008 tidak memperbolehkan operasional TPA dengan pembuangan terbuka sejak 2013. Namun hingga saat ini, masih banyak TPA yang beroperasi dengan teknik pembuangan terbuka.
Alokasi lahan TPA
Kapasitas TPA terbatas sementara jumlah sampah terus meningkat. Hanya sebagian kecil sampah yang dapat direduksi oleh pemulung.Â
Pembangunan TPA baru juga mengalami kesulitan karena adanya penolakan dari masyarakat sekitar. Otonomi daerah juga menyulitkan pencarian lahan di luar wilayah administrasinya.
Kurangnya jumlah petugas kebersihan
Tidak berimbangnya antara jumlah petugas dengan jumlah sampah yang harus ditangani. Akibatnya, sampah sering menumpuk di rumah-rumah atau di tepi jalan atau pun tempat lain yang bukan peruntukkannya.
Tren peningkatan sampah plastik yang sangat tajam
Pada tahun 1995, komposisi sampah plastik di Indonesia hanya 9%. Pada tahun 2020, sampai plastik meningkat menjadi 18,5%.
Kepedulian publik atas pengelolaan sampah masih rendah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan survei BPS tahun 2018, indeks kepedulian masyarakat terkait pengelolaan sampah sebesar 0,72. Ini berarti 72% masyarakat Indonesia belum memiliki kepedulian terhadap pengelolaan sampah. Sampah masih bercampur dan belum dipilah.
Peran dan tangggung jawab produsen dalam pengurangan sampah belum menjadi kewajiban
Belum ada kewajiban bagi produsen untuk menyediakan fasilitas pengumpulan dan daur ulang sampah produknya.
Kurangnya Sosialisasi Terkait Pengelolaan Sampah kepada Masyarakat
Saat saya mempelajari tentang pengolaan sampah ini, saya mendapati dua SNI terkait pengelolaan sampah, yakni SNI 19-2454-2002 dan SNI 3242-2008.
SNI 19-2454-2002 berisi tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan yang bertujuan untuk memberikan dasar-dasar dalam perencanaan pengelolaan teknik operasional sampah perkotaan bagi perencana dan pelaksana yang bergerak di dalam pengelolaan sampah perkotaan.
SNI 3242-2008 berisi tentang Pengelolaan Sampah Pemukiman, merupakan revisi dari SNI 03-3242-1994, dengan perubahan sebagian pada penerapan 3R mulai dari kegiatan di sumber sampai dengan TPS.
Dalam SNI 3242-2008 poin 4 tentang persyaratan umum, disebutkan bahwa masyarakat diikutsertakan dalam pengelolaan dan retribusi atau iuran serta semaksimal mungkin melaksanakan konsep 3R di sumber. Sampah dipilah antara sampah organik dan non-organik.
Pada poin 5 tentang sistem pengelolaan disebutkan bahwa jumlah wadah sampah minimal 2 buah per rumah yaitu:Â
- Wadah sampah organik untuk mewadahi sampah sisa sayuran, sisa makanan, kulit buah-buahan, dan daun-daunan menggunakan wadah dengan warna gelap
- Wadah sampah anorganik untuk mewadahi sampah jenis kertas, kardus, botol, kaca, plastik, dan lain-lain menggunakan wadah warna terang.
Pada SNI 19-2454-2002, selain pemilahan sampah organik dan non-organik, ada tambahan untuk sampah bahan berbahaya dan beracun yang diberi warna merah dengan lambang khusus atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Wadah sampah yang digunakan memiliki kriteria tidak mudah rusak dan kedap air, ekonomi dan mudah diperoleh/dibuat oleh masyarakat serta mudah dikosongkan.
Sependek pengetahuan saya, saya belum pernah mendapatkan informasi seperti yang diatur dalam kedua SNI ini. Saya juga menanyakan teman-teman saya yang tinggal di berbagai kota. Jawaban yang sama saya peroleh bahwa tidak pernah ada sosialisasi terkait pemilahan sampah dan wadah sampah. Kesadaran pemilahan sampah justru diperoleh dari penggerak lingkungan ataupun dari media, baik dalam skala lokal maupun global.
Efektifitas Pemilahan Sampah
Saat ini, kesadaran masyarakat terkait penanganan sampah sudah mulai meningkat, khususnya di kota-kota besar. Sudah banyak orang yang mulai mengurangi sampah dari sumbernya, misalnya dengan penggunaan kantong khusus yang dapat dipakai berulang saat berbelanja.Â
Penggunaan sedotan plastik juga dikurangi dengan menggunakan sedotan yang dapat dipakai berulang seperti sedotan dari stainless steel ataupun bambu.
Pemilahan sampah juga sudah dilakukan dengan memisahkan sampah organik dan non-organik. Sampah-sampah organik diolah menjadi kompos, baik dengan cara konvensional ataupun dengan menggunakan Eco-enzyme. Selanjutnya, kompos digunakan sebagai pupuk untuk tanaman. Sampah-sampah kemasan minuman plastik juga sudah dipisahkan setelah sebelumnya dibilas dan dikeringkan.
Setelah dipilah, sampah kemudian diletakkan di dalam wadah terpisah. Namun apa yang terjadi setelah sampah dipilah?Â
Petugas kebersihan yang mengangkut sampah mencampur semua sampah menjadi satu di dalam gerobak atau truk sampah. Kalau semua pada akhirnya dicampur menjadi satu, untuk apa dilakukan pemilahan sampah? Ini sama saja seperti pekerjaan sia-sia.
Saat ini, tidak semua daerah memiliki bank sampah. Untuk daerah yang memiliki bank sampah, masih ada keengganan masyarakat karena letaknya yang relatif jauh dari pemukiman sehingga dibutuhkan waktu untuk mengantarkan sampah tersebut ke bank sampah.Â
Alternatif lain adalah menunggu tukang loak atau pemulung lewat untuk mengambil barang-barang bekas. Namun kedatangan pemulung tidak dapat diprediksi. Akhirnya sampah yang dapat didaur ulang tadi dimasukkan lagi ke dalam tong sampah.
Agar penanganan sampah berjalan efektif, pendekatan holistik dari hulu ke hilir perlu dilakukan. Ini berarti masyarakat perlu dilibatkan secara aktif. Perlu dilakukan sinergi antara masyarakat dengan pemerintah dan dukungan pihak swasta.
SNI 19-2454-2002 dan SNI 3242-2008 tentang pengelolaan sampah perlu disosialisasikan kepada masyarakat sehingga ada persepsi yang sama terkait penanganan sampah.Â
Jika sampah dipilah berdasarkan jenisnya, berarti masing-masing rumah tangga harus menyiapkan tiga wadah sampah: sampah organik, sampah non-organik, dan sampah berbahaya dan beracun (B3).
Untuk mempermudah, perlu ada kesepakatan untuk aturan warna dari masing-masing wadah. Misalkan sampah organik diberi warna hijau, sampah anorganik diberi warna biru, dan sampah B3 diberi warna merah.Â
Jika tidak memungkinkan, masing-masing wadah sampah diberi label. Untuk kawasan pemukiman padat, pemerintah perlu menyiapkan wadah untuk penampungan sampah yang dekat dengan lokasi dan akses yang mudah untuk truk pengangkut sampah.
Di sisi lain, dinas kebersihan atau instansi terkait juga perlu menyediakan truk-truk atau gerobak sampah yang bersekat agar sampah tidak bercampur.Â
Jika tidak memungkinkan, dilakukan penjadwalan pengambilan sampah berdasarkan jenisnya. Jadwal pengangkutan diinformasikan dengan jelas kepada masyarakat sehingga masing-masing rumah tangga dapat menyiapkan apa yang diperlukan.
Penjadwalan yang jelas juga dapat mencegah sampah dibuang sembarangan di jalan-jalan atau tempat -tempat lain yang bukan diperuntukkan sebagai tempat penampungan sampah.Â
Biasanya karena sampah sudah menumpuk di rumah dan petugas kebersihan belum datang, akhirnya orang-orang membuang sampah ke tempat yang bukan peruntukkannya. Atau cara lain dengan membakar sampah. Padahal membakar sampah berbahaya karena menimbulkan polusi. Pembakaran sampah juga menghasilkan karbon monoksida dan dioksin (dihasilkan dari pembakaran plastik) yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Sinergi antara pemilahan sampah dari sumbernya (dalam hal ini rumah tangga) dan pengangkutan sampah oleh dinas kebersihan sangat diperlukan.Â
Sinergi tersebut akan membuat proses pengelolaan sampah menjadi efektif dan efisien. Waktu dan usaha yang dilakukan untuk tahapan selanjutnya sebelum sampah akhirnya dibuang ke TPA menjadi berkurang.
Jika sampah sudah dipilah dan dimanfaatkan ulang, maka volume timbulan sampah yang akan dibuang ke TPA juga akan berkurang.Â
Hasilnya, lahan TPA yang digunakan tidak perlu diperluas. Ini juga akan membantu pemulung dan pengepul dalam bekerja di lingkungan yang berisiko.
Terkait pengelolaan sampah ini, ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan:
Tata cara pengelolaan sampah
Siapa yang bertanggung jawab mengecek pelaksanan pengelolaan sampah di lapangan apakah sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku atau sesuai standar SNI terkait?
Sosialisasi kepada masyarakat
Siapa yang bertanggung jawab memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait pemilahan sampah dan 3R?
Sampah popok dan pembalut
Bagaimana cara menangani sampah popok dan pembalut yang aman? Apakah langsung dibuang atau dibersihkan terlebih dahulu? Kapan paling lambat sampah popok dan pembalut disimpan sebelum diangkut?
Sampah masker
Seperti yang kita ketahui, sampah masker besifat infeksius. Apakah cukup hanya dengan merobek atau menggunting masker lalu dikemas rapi? Berapa lama sampah masker tesebut aman disimpan sebelum diangkut? Jika sampah tidak diangkut berhari-hari, apakah perlu sampah masker diberi disinfektan terlebih dahulu sebelum dibuang? Bagaimana dengan keamanan (safety) petugas kebersihan yang mengangkut sampah jika sampah dicampur begitu saja?Â
Berdasarkan Surat Edaran Menteri LHK No.SE.02/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius Limbah B3 dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan COVID-19, pemerintah daerah menyiapkan tempah sampah/drop box khusus masker di ruang publik. Bagaimana dengan sampah masker dari rumah tangga, apakah ada tempat khusus?
Sampah B3
Sampah berbahaya dan beracun (B3) biasanya mengandung logam berat seperti raksa dan kadmium, yang berbahaya bagi kesehatan. Bagaimana dengan pengelolaan sampah baterai bekas, Â lampu bekas, dan tinta printer bekas? Apakah diangkut secara terpisah? Selama ini, sampah B3 juga diangkut dicampur menjadi satu dengan sampah lainnya.
Apakah ada kewajiban bagi perusahaan yang memproduksi barang-barang tersebut, menyediakan layanan untuk  mengupulkan dan mendaur ulang sampah?
Minyak jelantah
Minyak jelantah biasanya dibuang ke saluran pembuangan wastafel di dapur. Padahal ini bisa menyumbat pipa saluran air dan pada akhirnya dapat mencemari saluran air di seluruh kota. Bagaimana penanganan minyak jelantah? Apakah ada penanganan khusus oleh dinas kebersihan setempat?
Selama pandemi, jumlah layanan pesan antar makanan secara dalam jaringan mengalami peningkatan. Begitu juga dengan belanja daring. Pembelian secara daring ini membuat sampah plastik wadah makanan dan sendok plastik, pembungkus plastik, selotip, serta burble wrap juga meningkat.
Di sisi lain, infrastruktur pengelolaan sampah dan jumlah petugas kebersihan tidak bertambah. Bagaimana cara pengelolaan sampah plastik selama pandemi? Apakah ada upaya untuk mengurangi sampah plastik?
Pelatihan untuk pemulung dan pengepul
Apakah ada pelatihan untuk para pemulung dan pengepul terkait keamana (safety), terutama di saat pandemi ini?
Inilah kegelisahan beberapa anggota masyarakat, termasuk saya, terkait pengelolaan sampah. Mudah-mudahan ke depan, sinergi antara semua pihak terkait dapat terwujud sehingga masalah sampah dapat diatasi. Harapannya, kita dapat mewarisi bumi yang bersih dan aman bagi generasi penerus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H