Setelah Ayu selesai bicara, ada keheningan sejenak. Dengan suara yang terdengar ragu-ragu, Dewi melanjutkan.
“Mbak, tadi Ibu sempat bicara. Kata Ibu mohon maaf atas semua kesalahan Ibu.”
Ayu terkejut mendengar apa yang baru saja Dewi ucapkan. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya diam.
“Udah dulu ya, Mbak Ayu. Aku mau lihat Ibu dulu.”
“Iya, Wi. Kabari ya kalau ada apa-apa.”
Dewi memutuskan teleponnya. Ayu masih diam di tempat duduknya. Firasatnya semakin tidak enak. Untuk apa ibu meminta maaf? Kenapa baru sekarang? Kemarahan muncul di dalam hatinya. Kalaupun ibunya berpulang, dia tidak akan pulang rumah. Ayu memutuskan tidur pagi itu untuk melupakan semuanya.
Jam 10 pagi, Ayu terbangun. Dia mendengar bunyi telepon masuk dari gawainya. Dia mengangkat gawainya. Kali ini, Mas Bayu yang menelepon.
“Ayu, Ibu sudah nggak ada. Kalau bisa pulang segera ya.”
“Kapan Mas Bayu? Tadi barusan Dewi telepon Ibu udah bisa makan”
“Iya, tadi memang Ibu udah bisa makan. Dokter bilang besok atau lusa, Ibu sudah bisa dipindah. Tadi Dewi pikir Ibu lagi tidur. Pas dibangunin sama suster mau minum obat, Ibu diam aja. Nggak bangun-bangun.”
Hening. Ayu berpikir mencari alasan supaya dia tidak pulang.
“Tapi Mas Bayu, sekarang lagi lebaran. Cari tiket pesawat susah. Mungkin lebih baik nggak usah tunggu aku.”
"Bapak maunya kamu ada di sini."
Ayu memang sengaja tidak pulang lebaran kali ini. Alasannya sehabis lebaran, dia harus ke lapangan untuk melihat pembangunan proyek. Jadi harus menyiapkan banyak hal sebelum berangkat. Padahal alasan sesungguhnya karena dia memang tidak ingin pulang. Tahun lalu, Ayu bertengkar hebat dengan Mas Bayu. Seperti biasa, Ibu membela Mas Bayu. Ayu merasa sakit hati. Dari kecil hingga kini dia dewasa, Ibu tidak pernah berpihak padanya. Ibu memang tidak pernah mencintainya.
“Bisa diusahain nggak, Yu. Bapak mau Ibu dikubur setelah kamu datang”
“Aku usahain, Mas”