Orang bijak mengendalikan kemarahannya; Orang yang bertemperamen panas menunjukkan kebodohan besar.
viral dua orang perempuan yang melawan polisi yang bertugas mengawasi pencegahan mudik saat lebaran. Jauh sebelumnya, pemerintah sudah mengumumkan larangan mudik Lebaran 2021 yang berlaku mulai dari 6 – 17 Mei 2021.
Seminggu belakangan ini, kita dikejutkan dengan beritaAturan ini tertuang dalam Surat Edaran kepala Satgas Penanganan Covid-19 No. 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6 – 17 Mei 2021.
Selain surat edaran tersebut, peraturan lain yang terkait adalah Peraturan Menteri Perhubungan No. 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Selama periode larangan mudik, masyarakat dilarang melakukan mobilisasi dengan moda transportasi apapun. Tujuan dari larangan mudik ini adalah untuk mencegah terjadinya lonjakan kasus Covid-19.
Aturan ini dikecualikan bagi kendaraan pelayanan distribusi logistik dan pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik, yaitu: bekerja/perjalanan dinas, kunjungan keluarga sakit, kunjungan duka anggota keluarga meninggal, ibu hamil yang didampingi oleh satu orang anggota keluarga, dan kepentingan persalinan yang didampingi maksimal dua orang.
Bagi masyarakat yang melanggar peraturan ini dan tetap ngeyel, diminta putar balik kendaraan oleh polisi yang bertugas. Namun dalam prosesnya, tidak semua orang menuruti permintaan polisi untuk putar balik. Inilah yang terjadi dengan dua orang perempuan yang sempat menjadi viral.
Yang menarik dari berita viral ini adalah kedua pelaku adalah perempuan, tinggal di kota yang berbeda, dan dengan penampilan yang berbeda. Namun keduanya melakukan perlawanan dengan cara yang bisa dikatakan sama-sama barbar dengan gaya preman.
Salah satu di antaranya dicegat oleh polisi di pos penyekatan di daerah Cicurug, perbatasan Sukabumi-Bogor. Pertama kali dicegat dan diminta putar balik, pengemudi tidak menggubris perintah polisi, bahkan memarahi Kapolsek. Kendaraan terus berjalan melewati jalur tikus.
Saat melewati pos berikutnya, polisi kembali meminta kendaraan putar balik. Tak terima diberhentikan, seorang perempuan marah-marah dan memaki-maki petugas. Dia juga mengatakan bahwa dia juga berasal dari keluarga polisi.
Di tempat lain di daerah Cilegon, seorang perempuan juga marah-marah saat petugas meminta kendaraan untuk putar balik. Perempuan itu juga sempat turun dari mobil dan memaki dengan menunjuk-nunjuk ke petugas yang berusaha memberikan penjelasan terkait larangan berkunjung ke Pantai Anyer.
Perempuan itu beralasan bahwa tujuannya ke Anyer bukan untuk berlibur, tetapi untuk melayat neneknya yang meninggal dunia. Namun, karena dia tidak dapat menunjukkan bukti, polisi tetap meminta kendaraan putar balik.
Perempuan itu lantas mengamuk, lalu menutup pintu mobil dengan keras. Dia juga membanting barang ke dasbor. Tak hanya marah-marah, perempuan itu juga tidak memakai masker. Setelah berdebat panjang, akhirnya mobil pun putar balik.
Selain dua kejadian ini, ada kejadian lain dimana perempuan mengamuk memaki habis-habisan kurir yang mengantarkan barang yang dibeli via dalam jaringan. Perempuan itu merasa barang yang dibelinya tidak sesuai dengan pesanan. Padahal kurir hanya mengantar barang, tidak tahu menahu apa isi paket yang diantarnya.
Bulan sebelumnya, di kota Solo, seorang perempuan yang mudik dari Jakarta dan mengaku istri pejabat, marah-marah saat petugas melakukan pendataan. Perempuan itu bahkan meminta Wali Kota Solo untuk menghadap dirinya.
Tahun lalu, video seorang perempuan yang membonceng seorang anak kecil di sepeda motor juga mengundang perhatian para warganet. Perempuan ini melajukan kendaraannya melawan arah sehingga menimbulkan kemacetan. Saat diingatkan oleh pengguna kendaran lain, malah marah-marah.
Mengapa video-video viral perempuan marah-marah ini menyedot perhatian banyak orang?
Pertama, pelaku kejadian adalah perempuan yang identik dengan perannya sebagai ibu, penuh dengan kelembutan dan cinta kasih. Orang-orang lebih mudah memaklumi jika yang marah-marah dan memaki-maki petugas adalah laki-laki. Budaya patriaki menuntut laki-laki bersikap jantan (macho) dan tindakan melawan atau pemberontak adalah cara menunjukkan sikap jantan.
Kedua, beberapa kejadian berlangsung saat masih suasana lebaran. Setelah berpuasa selama sebulan lamanya, diharapkan orang lebih dapat mengendalikan diri, lebih panjang sabar, dan lebih mudah memaafkan. Namun dalam kejadian ini, yang terjadi justru sebaliknya. Ini juga sebagai pengingat bahwa ujian sesungguhnya adalah bagaimana berperilaku justru saat-saat sebelas bulan di luar bulan ramadhan.
Ketiga, beberapa pelaku menggunakan hijab. Dalam pandangan awam, perempuan-perempuan yang menggunakan hijab tentu memiliki pengetahuan tentang agama lebih dalam dibandingkan perempuan-perempuan yang tidak menggunakan hijab. Bukan berarti hijabnya salah. Ini sebagai pengingat bahwa agama tidak cukup hanya sebagai simbol, atribut dan ritual.
Keempat, budaya dekingan ternyata masih kental dipraktekkan. Dua dari lima kejadian viral yang dijelaskan di atas, mengemukakan pernyataan yang sama bahwa mereka memiliki keluarga atau kenalan pejabat. Seolah-olah jika memiliki kenalan pejabat atau orang-orang yang berpengaruh, maka boleh melakukan apa saja sekehendak hati, termasuk melanggar peraturan.
Kelima, warganet dapat melihat dampak dari kemarahan yang tak terkendali. Seperti yang dikatakan pepatah di atas “Orang bijak mengendalikan kemarahannya; Orang yang bertemperamen panas menunjukkan kebodohan besar.” Emosi yang tidak terkendali seringkali justru membuat pelaku harus “membayar” mahal atas kelakuannya. Pastinya pelaku menjadi malu karena videonya yang marah-marah sudah ditonton oleh banyak orang. Bisa jadi kejadian viral ini jadi bahan omongan tetangga. Belum lagi harus berurusan dengan polisi dan jejak digital yang tidak bisa dihapus.
Keenam, ada anak dan balita yang menyaksikan kejadian ini. Sepatutnya, orang tua adalah teladan bagi anak. Dan ibu adalah guru pertama yang memperkenalkan anak kepada dunia dan yang paling banyak berperan dalam menanamkan moral dan nilai-nilai kepada anak.
Apa yang akan diteladani oleh anak-anak jika ibu melanggar aturan dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas? Jika ibu mencontohkan gaya preman seperti ini, bagaimana nantinya anak akan bertumbuh?
Mengutip perkataan Bung Karno “Kalau perempuan itu baik, maka jayalah negaranya. Tetapi kalau perempuan itu buruk, maka runtuhlah negara”.
Apakah dengan pelaku meminta maaf dan menempelkan materai, urusannya menjadi selesai? Kalau begini caranya, orang-orang tidak akan menghargai aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Orang-orang akan menganggap enteng aturan. Toh tinggal minta maaf dan buat surat pernyataan/surat perjanjian di atas materai. Atau diangkat menjadi duta. Kapan masyarakat akan belajar disiplin? Dan apa yang terjadi jika generasi muda mencontoh kelakukan barbar seperti ini?
Sebaiknya perlu dipertimbangkan kembali hukuman dengan cara tempel materai ini. Karena persoalan melawan aturan ini tidak saja tentang orang-orang dewasa, tapi juga generasi muda yang akan meniru kelakuan orang-orang dewasa.
Perlu diingat, anak-anak adalah generasi penerus bangsa ini. Jika orang-orang dewasa tidak dapat memberikan teladan yang baik, bagaimana kehidupan mereka di masa yang akan datang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H