Di tempat lain di daerah Cilegon, seorang perempuan juga marah-marah saat petugas meminta kendaraan untuk putar balik. Perempuan itu juga sempat turun dari mobil dan memaki dengan menunjuk-nunjuk ke petugas yang berusaha memberikan penjelasan terkait larangan berkunjung ke Pantai Anyer.
Perempuan itu beralasan bahwa tujuannya ke Anyer bukan untuk berlibur, tetapi untuk melayat neneknya yang meninggal dunia. Namun, karena dia tidak dapat menunjukkan bukti, polisi tetap meminta kendaraan putar balik.Â
Perempuan itu lantas mengamuk, lalu menutup pintu mobil dengan keras. Dia juga membanting barang ke dasbor. Tak hanya marah-marah, perempuan itu juga tidak memakai masker. Setelah berdebat panjang, akhirnya mobil pun putar balik.
Selain dua kejadian ini, ada kejadian lain dimana perempuan mengamuk memaki habis-habisan kurir yang mengantarkan barang yang dibeli via dalam jaringan. Perempuan itu merasa barang yang dibelinya tidak sesuai dengan pesanan. Padahal kurir hanya mengantar barang, tidak tahu menahu apa isi paket yang diantarnya.
Bulan sebelumnya, di kota Solo, seorang perempuan yang mudik dari Jakarta dan mengaku istri pejabat, marah-marah saat petugas melakukan pendataan. Perempuan itu bahkan meminta Wali Kota Solo untuk menghadap dirinya.
Tahun lalu, video seorang perempuan yang membonceng seorang anak kecil di sepeda motor juga mengundang perhatian para warganet. Perempuan ini melajukan kendaraannya melawan arah sehingga menimbulkan kemacetan. Saat diingatkan oleh pengguna kendaran lain, malah marah-marah.
Mengapa video-video viral perempuan marah-marah ini menyedot perhatian banyak orang?Â
Pertama, pelaku kejadian adalah perempuan yang identik dengan perannya sebagai ibu, penuh dengan kelembutan dan cinta kasih. Orang-orang lebih mudah memaklumi jika yang marah-marah dan memaki-maki petugas adalah laki-laki. Budaya patriaki menuntut laki-laki bersikap jantan (macho) dan tindakan melawan atau pemberontak adalah cara menunjukkan sikap jantan.
Kedua, beberapa kejadian berlangsung saat masih suasana lebaran. Setelah berpuasa selama sebulan lamanya, diharapkan orang lebih dapat mengendalikan diri, lebih panjang sabar, dan lebih mudah memaafkan. Namun dalam kejadian ini, yang terjadi justru sebaliknya. Ini juga sebagai pengingat bahwa ujian sesungguhnya adalah bagaimana berperilaku justru saat-saat sebelas bulan di luar bulan ramadhan.
Ketiga, beberapa pelaku menggunakan hijab. Dalam pandangan awam, perempuan-perempuan yang menggunakan hijab tentu memiliki pengetahuan tentang agama lebih dalam dibandingkan perempuan-perempuan yang tidak menggunakan hijab. Bukan berarti hijabnya salah. Ini sebagai pengingat bahwa agama tidak cukup hanya sebagai simbol, atribut dan ritual.
Keempat, budaya dekingan ternyata masih kental dipraktekkan. Dua dari lima kejadian viral yang dijelaskan di atas, mengemukakan pernyataan yang sama bahwa mereka memiliki keluarga atau kenalan pejabat. Seolah-olah jika memiliki kenalan pejabat atau orang-orang yang berpengaruh, maka boleh melakukan apa saja sekehendak hati, termasuk melanggar peraturan.