Kuliah di Pulau Jawa memberi keuntungan bagi saya. Lebih banyak museum dan tempat-tempat bersejarah yang dapat saya kunjungi. Saat liburan semester, beberapa kali saya tidak pulang ke rumah. Saya berlibur mengunjungi rumah teman-teman. Pengalaman berlibur ini memberi saya cara pandang baru terhadap peninggalan bersejarah.
Untuk pertama kalinya saya mengunjungi Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Mengingat novel karya Pram, membuat saya jadi membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat zaman itu. Bagaimana konstelasi politik dan kekuasaan saat itu? Apa yang menjadi lambang kejayaan kerajaan saat itu? Semaju apa teknologi saat itu?
Kalau dulu ke tempat wisata, saya hanya mengagumi keindahan bangunan dan mengambil foto di beberapa tempat. Sekarang saya lebih tertarik mengambil foto arca maupun relief-relief yang ada di dinding-dinding candi. Peralatan-peralatan gerabah, alat perang atau apapun yang ada di lokasi, saya ambil foto. Saya juga mengunjungi museum di sekitar lokasi untuk mendapatkan informasi lebih jauh.
Untungnya teman-teman saya waktu itu tidak keberatan. Mereka juga menaruh minat yang sama terhadap benda-benda peninggalan sejarah. Jadi saya tidak harus terburu-buru saat berada di museum.
Latar belakang pendidikan engineering saya membuat saya tertarik untuk mempelajari bagaimana teknik membangun candi-candi oleh para leluhur. Bagaimana membuat fondasi, menyusun batu-batu tanpa semen atau perekat, dan membuat drainase. Hal ini sudah saya tuliskan juga di artikel saya yang lain untuk blog competition Kompasiana "Sound of Borobubur" (link).
Mengunjungi kawasan Trowulan memberikan saya paradigma baru tentang tata kota. Trowulan adalah kawasan kerajaan Majapahit pada masa kepemimpinan Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani dan Hayam Wuruk. Beberapa bangunan seperti istana kerajaan, candi, makam, gapura, dan kolam air dapat ditemukan di Trowulan.
Saya dulu berpikir zaman baheula pasti tata kotanya jelek. Ternyata anggapan saya salah. Menurut saya, Trowulan menjadi bukti bahwa leluhur kita memiliki tata kota yang baik, sangat terorganisir. Jika dibandingkan dengan saat ini, kita kalah jauh. Tata kota kita saat ini bisa dibilang amburadul, tidak jelas peruntukkan kawasannya.
Saat berkunjung di Trowulan, saja jadi teringat novel Pram yang telah saya baca sebelumnya tentang kerajaan Majapahit dan Singosari. Saya juga menyadari  bahwa sejarah tidak hanya melulu soal bangunan, ada banyak hal lain yang dapat dipelajari. Buktinya masalah tata kota ini. Kita harus belajar banyak dari para leluhur.
Sejarah Meningkatkan Rasa Kemanusiaan
Sejak membaca karya-karya Pram, saya pun mulai merambah membaca karya para penulis asing. Teman saya menghadiahkan El Filibusterismo karya Jose Rizal setelah menghadiri konferensi di Manila. Selama ini saya mengenal Jose Rizal sebagai pahlawan nasional Filipina. Namun, saya tidak pernah membaca karyanya.
Selain Jose Rizal, saya juga membaca buku-buku karya penulis Amerika Latin. Garcia Marquez dengan bukunya yang berjudul Seratus Tahun Kesunyian dan Luis Sepulveda dengan bukunya yang berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Karya penulis latin ini membuka mata saya pada penderitaan rakyat yang disebabkan oleh kediktatoran dan kekerasan politik di kawasan Amerika Latin.