Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menjalankan Hobi Tak Semudah yang Terlihat

28 April 2021   17:51 Diperbarui: 4 Mei 2021   15:45 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa pandemi ini membuat orang ramai-ramai menekuni hobi lama yang sudah lama ditinggalkan ataupun mencoba hobi baru yang lagi tren. Mulai dari memasak, berkebun sayur-sayuran, menanam tanaman hias, memelihara ikan cupang, sampai merajut. Dari menjalankan hobi ini, tidak jarang membuka peluang sumber pendapatan baru bagi si pemilik hobi. Media sosial turut berperan dalam menyebarkan semangat menjalankan hobi ini.

Gimana gak tertarik melihat foto-foto cake yang terlihat lezat dan dihias dengan menarik. Atau foto teman beserta anak-anak sedang panen sayur-sayuran yang ditanam di pekarangan rumah, lalu membuat salad ataupun pecal dengan sayuran yang baru saja dipanen. Hijau menyegarkan. Atau melihat tanaman janda bolong dan kaktus-kaktus mungil yang lucu.

Ada lagi teman yang membagikan foto bunga-bunga mawar yang berwarna warni dengan kelopak bunga sempurna. Benar-benar menambah asri suasana rumah. Atau teman yang menunjukkan foto anaknya yang sedang memakai kardigan hasil rajutannya.

Saya juga akhirnya ikut-ikutan mencoba hobi baru. Saya pun tertarik mencoba membuat kue, roti dan pudding. Ada beberapa teman yang berbaik hati, sambil menguggah foto hasil masakannya, juga membagikan resepnya sekaligus. Saya jadi bersemangat membeli bahan-bahan yang diperlukan. Setelah semuanya lengkap, saya pun mulai memasak.

Yang pertama kali saya coba membuat pudding agar-agar lumut. Entah kenapa pudding agar-agar lumut yang saya masak, warnanya tidak seperti hasil masakan teman saya. Bukan warna lumut yang didapat, tapi warnanya justru terpisah antara hijau dan putih.

Tadinya saya bermaksud kalau nanti setelah masak, saya mau ambil fotonya dan menunjukkan ke teman saya. Eh, tampilannya ternyata gak menarik sama sekali. Tapi soal rasa, masih lumayan. Lumayan menurut definisi saya adalah masih bisa dimakan. He he he.

Kemudian saya mencoba memasak bolu pisang (banana cake). Saya bersemangat sekali memasak, berharap kali ini saya berhasil. Eh, ternyata bantet. He he he. Mau tidak mau saya makan juga kue bantet karena sayang dibuang. Masih penasaran untuk mencoba lagi, saya akhirnya googling beberapa resep yang saya kira menarik.

Tapi akhirnya saya kebingungan sendiri karena masing-masing resep beda takaran dan ada  sedikit perbedaan bahan. Saya jadi bingung, ini mana yang mau diikuti? Akhirnya gambling, dengan memilih gambar resep yang paling menggugah selera.

Hasilnya memang gak bantet, tapi teksturnya jadi ringan mirip sponge cake. Padahal dari resep-resep yang saya kumpulkan, semua bolu pisang bertekstur agak padat. Nah lho, ini salahnya dimana?

Nah, karena ada teman yang menunggah sarapan dengan roti yang dibuat sendiri, sayapun ingin mencoba membuat roti sendiri. Kebetulan saya memang lumayan sering sarapan dengan roti. Berbekal resep hasil googling, saya pun mengumpulkan beberapa resep.

Lagi-lagi, bahan dan takaran agak berbeda. Saya akhirnya memilih satu resep, dengan asumsi kalau gagal nanti coba resep satunya lagi. Saya agak bingung dengan istilah adonan sampai kalis. Tahunya sudah kalis bagaimana? Menurut resep yang saya baca, kalis itu adonannya masih elastis.

Pertanyaannya, seberapa elastis? Akhirnya hanya mengandalkan perasaan, kira-kira ini sudah kalis. Saya senang akhirnya setelah mendiamkan adonan roti 1 jam lebih, saya bisa memanggangnya di oven.

Nah, di sini kerepotan lain muncul. Tahunya matang bagaimana? Saya hanya mengikuti petunjuk lama waktu memasak dari resep. Setelah saya keluarkan roti dari oven dan didiamkan beberapa lama, roti saya pindahkan dari cetakan ke loyang.

Saya lihat hasilnya, ternyata roti tidak mengembang seperti roti yang biasa dijual di toko roti. Kemudian setelah roti saya potong, teksturnya sedikit lembab dan kasar. Tidak terlihat mulus kering. 

Tidak mau menyerah, saya coba lagi membuat roti dengan resep berbeda, satu hasil googling dan satu lagi mengikuti resep yang ditulis produsen ragi di kemasan raginya.

Dan hasilnya adalah ………… eng ing eng, gagal lagi.

Saya gak tahu masalahnya dimana, apakah karena memang cara mengadon saya yang salah. Tapi saya sudah mengikuti seperti yang ditunjukkan oleh video resep yang saya coba. Berhubung saya sudah mencoba 3 kali, saya memutuskan mundur dari roti-rotian.

Nah, saat thanksgiving tahun lalu, salah satu teman yang tinggal di Amerika Serikat membagikan momen saat thanksgiving di rumahnya. Kali ini hanya ada keluarga inti berhubung masih masa pandemi. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah tampilan pai apel (apple pie) dengan bentuk anyaman di atasnya.

Kebetulan saya memang senang pai apel. Akhirnya saya pun mencari resep pai apel dengan tampilan persis seperti yang teman saya bagikan. Saya pun mulai siap-siap membeli bahan-bahan hingga cetakan pai.

Ternyata memasak pai apel membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Setelah membuat adonan, adonan didinginkan dulu di kulkas selama 1 jam. Lalu menyiapkan isian apel yang diberi kayu manis. Untuk memotong-motong apel ternyata juga membutuhkan kesabaran karena harus diiris tipis-tipis. Mengiris enam buah apel ternyata membuat tangan pegal juga.

Setelah didinginkan, adonan pai pun siap untuk dicetak. Berhubung saya kurang berseni, bagian membuat anyaman di bagian atas pai pun membutuhkan usaha keras. Saat membuat anyaman, potongan pastry ternyata menempel satu sama lain. Jadinya bentuk tidak rapi dan gak karu-karuan.

Berulang kali saya coba merapikan, tapi memang kesulitan karena potongan pastry yang saling menempel tadi.  Akhirnya saya menyerah. Saya masukkan adonan pai apel ke oven.

Menurut petunjuk, pai apel dipanggang selama 1 jam. Setelah matang, pie apel didinginkan selama 1 jam sebelum dipotong untuk dimakan. Jadi kalau dihitung-hitung total waktu memasak pai apel sampai siap disantap lebih dari 3 jam. Pantas pai apel harganya mahal.

Mencium wangi pai apel yang keluar dari oven membuat saya optimis. Sepertinya kali ini masakan saya berhasil. Dan memang saat pai apel matang, dibalik tampilannya yang acak kadut, rasanya benar-benar lezat. Lumayanlah dibandingkan pengalaman saya membuat roti dan bolu pisang yang sudah mencoba beberapa kali tetap gagal. Ha ha ha.

Saat teman saya membagikan foto tanaman kangkung, bayam, seledri, daun bawang dan pakcoy hasil kebunnya, dia menanyakan apakah saya mau mencoba berkebun. Dia senang hati akan membagikan bibit tanaman yang dia punya.

Saya pun menjawab tidak mau mencoba. Bukan apa-apa. Saya punya pengalaman yang kurang menyenangkan dengan tanam menanam. Sebelum pandemi, saya membeli kaktus di tukang bunga. Saya senang dengan kaktus mini yang bagian kepalanya bulat-bulat dengan warna pink, merah dan jingga.

Ada lagi kaktus yang bunganya lucu. Sayapun membeli kaktus yang dalam 1 pot, terdapat beberapa jenis kaktus. Saya mengikuti petunjuk bapak tukang bunga cara merawat kaktus. Saya sampai membeli penyemprot tanaman untuk memastikan saya tidak menyiram kaktus berlebihan. Dan seminggu 2 kali dibawa keluar agar mendapat cahaya matahari. Hasilnya dalam 1 bulan, kaktus saya mati.

Masih belum kapok, saya membeli lagi kaktus di tukang bunga. Saya cerita juga ke bapak tukang bunga kaktus yang saya beli bulan lalu mati. Lalu saya diajari lagi cara merawat kaktus. Saya ikutilah lagi petunjuk tukang bunga. Hasilnya mati lagi. Tiga kali saya mencoba menanam kaktus, tiga kali juga kaktus saya mati. Akhirnya saya menyerah.

Saat saya cerita tentang kaktus saya yang mati ke bapak saya yang kebetulan memang hobi tanam menanam, beliau tertawa. Kok bisa sih tanam kaktus mati? Menurut beliau dan banyak orang, menanam kaktus itu relatif mudah. Bukan seperti anggrek yang membutuhkan ketelatenan. Habis gimana lagi, saya sudah mengikuti petunjuk, tetap kaktusnya mati. Kayaknya memang saya kurang bertangan dingin. He he he.

Ada lagi teman yang mengajak saya mencoba merajut. Dia menunjukkan kaus kaki, kardigan dan syal yang dia rajut. Dia juga menunjukkan buku-buku merajut buatan Jepang dengan pola-pola yang lucu. Nah, saya belum pernah merajut sebelumnya. Tapi pernah mencoba sulaman kristik dulu saat baru lulus kuliah. Saat itu, sambil mencari-cari pekerjaan, saya mengisi waktu luang membuat sulaman kristik atas ajakan teman. Dia sudah berhasil membuat 1 sulaman dan hasilnya memang bagus. Sayapun diajak ke pasar baru Bandung membeli semua perlengkapan, dari medium untuk menyulam, benang, jarum, dan buku pola yang dijual dalam satu paket.

Hari pertama menyulam memang menyenangkan. Apalagi setelah melihat hasil sulaman yang sudah membentuk gambar tertentu. Hari kedua masih semangat. Hari ketiga saya mulai bosan. Saya ternyata bukan tipe orang yang bisa tahan duduk berlama-lama. Satu hal lagi, saya lebih senang melakukan sesuatu yang lebih kreatif. Sementara kalau menyulam, pola sudah tertentu dan harus diikuti. Mungkin kalau orang yang jam terbangnya tinggi, sudah mampu membuat sendiri tanpa pola. Akhirnya saya menyerah. Hari keempat, saya memberikan perlengkapan sulam ke teman saya. Saya sudah tak tertarik. Untungnya, teman saya melanjutkan sulaman saya dan hasilnya bagus. Dasar saya yang gak sabaran.

Karena pengalaman saya yang merasa bosan dengan sulaman kristik, saya dengan jujur bilang ke teman yang mengajak saya merajut, saya tidak tertarik. Saya pikir nanti jatuhnya sama saja seperti menyulam kristik, saya akan bosan duduk berlama-lama mengikuti pola.

Nah, dari pengalaman ini saya belajar jangan hanya mengikuti hobi karena hasil pekerjaan orang lain terlihat bagus. Karena untuk menjalani hobi, perlu ada usaha dan juga mungkin uang yang harus dikeluarkan. Belum lagi waktu. Butuh komitmen untuk menyelesaikan dan menghasilkan sesuatu. Untuk saya pribadi, kalau gak benar-benar niat, mending beli jadinya aja deh. Sayang, daripada beli bahan mahal-mahal, gagal pula. He he he

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun