Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Benarkah Menulis di Kompasiana Tidak Ada Motif Apa-apa? Sebuah Pengakuan

19 April 2021   17:10 Diperbarui: 19 April 2021   18:19 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Kompasiana.com

Satu minggu terakhir ini, ada beberapa artikel yang terbit di Kompasiana yang membahas masalah motivasi menulis di Kompasiana dan bagaimana cara agar tulisan kita banyak dibaca orang. Cukup menarik untuk disimak, baik isi artikel maupun komentar para pembaca. 

Di saat yang sama, saya juga menonton podcast Simon Sinek, salah seorang penulis tentang kepemimpinan. Saya lupa judul podcast-nya apa. 

Di podcast tersebut, Simon Sinek bercerita bagaimana dia mengalami “kompetisi dalam bayangan”. Dia merasa bersaing dengan salah seorang penulis sehingga terobsesi untuk mengecek dan membandingkan jumlah penjualan buku mereka. Padahal Simon Sinek tidak pernah bertemu ataupun terlibat konfrontasi tidak langsung dalam bentuk tulisan dengan si penulis saingannya.

Suatu saat, Simon Sinek dan penulis saingannya diundang dalam suatu acara. “Waduh, cilaka nih”, pikir Simon Sinek. Akhirnya sebelum acara dimulai, Simon memperkenalkan dirinya kepada si penulis saingan. 

Lalu, Simon juga dengan jujur mengatakan pada si penulis saingan bahwa dia membenci si penulis karena si penulis memiliki kekuatan yang merupakan kelemahan Simon. Si penulis saingannya ternyata juga mengatakan hal yang sama bahwa dia merasa Simon adalah saingannya. 

Jadi mereka berkompetisi dalam bayangan, tanpa saling tahu satu sama lain. Setelah mengungkapkan isi hatinya, Simon merasa lega dan mengalami perubahan sudut pandang bahwa mereka bisa saling mengisi untuk memberikan nilai tambah bagi orang banyak, khususnya para pembaca buku mereka.

Setelah menonton podcast itu, saya menyadari bahwa saya juga terjebak dengan kompetisi dalam bayangan ini selama menulis di Kompasiana. Saya pernah menulis di artikel saya sebelumnya bahwa saya adalah seorang anak bawang di Kompasiana. 

Saat ini saya sudah bergabung dengan Kompasiana dengan lama waktu “bekerja” lebih 2 minggu. Selama lebih 2 minggu ini, saya sudah menulis 14 artikel, termasuk cerpen dan puisi. Saat awal bergabung di Kompasiana, motivasi saya adalah untuk murni hanya untuk menulis apa yang ada di hati dan kepala saya. Sesederhana itu.

Saya mulai menulis tentang realita hidup sehari-hari yang saya temui. Untuk artikel jenis realita hidup ini, saya membutuhkan lebih banyak waktu untuk menulis. Meskipun saya tahu apa yang saya mau tulis, saya harus melakukan survei kecil-kecilan dengan menanyakan kepada orang-orang yang saya kenal terkait topik yang saya tulis. 

Setelah mendapatkan jawaban dari mereka, baru saya finalisasi tulisan saya. Untuk topik tertentu, saya harus membaca literatur terkait dan ini butuh waktu. Oleh karena saya punya kesibukan lain, saya baru bisa menyelesaikan tulisan saat akhir pekan. Itu sebabnya, artikel-artikel yang saya tulis kebanyakan terbit di akhir pekan. Kalau di hari kerja, biasanya malam hari.

Berbeda dengan puisi, saya biasanya menulis puisi secara spontan. Misal saat saya kehujanan menunggu taksi sepulang kerja. Lama saya menunggu taksi di tepi jalan depan gedung kantor dan saya kehujanan. 

Akhirnya saya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam gedung. Hampir 2,5 jam lamanya saya menunggu taksi karena memang kondisi saat itu macet berat. Sesampai di rumah, saya langsung menulis puisi terinspirasi dari kehujanan tadi. Atau saat teman baik saya, penderita kanker, memberitahu saya bahwa besok pagi dia akan operasi, saya terinspirasi menulis “Jika Esok Hari Tak Pernah Datang” malam itu juga.

Nah, kembali ke topik kompetisi dalam bayangan. Jujur saya akui, saya juga sering mengecek berapa orang yang membaca artikel saya. Berapa orang yang memberikan nilai pada artikel saya. 

Lalu saya membandingkan dengan artikel-artikel lain yang terbit pada hari yang sama. Ada sedikit rasa kecewa saat tulisan saya dibaca hanya oleh seuprit orang. Jumlah pembaca yang seuprit ini, terutama untuk tulisan kategori fiksiana. Entah orang memang secara umum tidak tertarik membaca fiksiana atau memang tulisan saya dianggap ora mutu. He he he. 

Saya belum pernah menganalisis fenoma rendahnya pembaca fiksiana ini dibandingkan pembaca pada kanal lain seperti politik misalnya.  Atau juga jam berapa “prime time” banyak orang yang membaca Kompasiana. Mungkin para kompasianer yang jago IT bisa membantu menemukan jawabannya.

Di sisi lain, ada kebahagiaan sendiri saat yang memberi nilai atau yang memberi komentar pada artikel saya adalah para dedengkot kompasianer. Rasanya seperti menerima WA atau telepon dari sang pujaan hati yang dinanti-nanti. 

Satu hal lagi yang saya amati. Biasanya yang memberi nilai pada artikel-artikel saya adalah orang-orang yang sama. Entah karena beliau-beliau kasihan lihat saya atau memang karena selera penulisan atau topik yang saya tulis mengena di hati mereka. He he he. Tanpa menyebutkan nama, apresiasi saya untuk para pembaca dan yang memberi nilai pada artikel saya.

Tanpa saya sadari, motivasi yang tadinya hanya untuk menulis, mulai bergeser menjadi mendapat pengakuan. Yang tadinya menulis dengan suasana “selow bro”, jadinya mulai lirik kanan kiri. Yang tadinya tidak tertarik dengan status centang, jadi ingin tahu bedanya apa sih centang-centangan ini. Setelah 2 minggu menjadi kompasiner, baru saya membaca FAQ di Kompasiana untuk mencari tahu perihal percentangan ini. 

Hingga saat ini, akun saya belum tervalidasi, boro-boro dikasih centang. Saya tidak menuliskan link media sosial saya karena saya anggap ini tidak perlu. Sosial media saya adalah untuk medium untuk berinteraksi dengan orang-orang yang saya kenal, yang menurut saya tidak ada sangkut pautnya dengan keanggotaan Kompasiana. Termasuk perihal gaji, ini sangat privasi. 

Di kantor pun, kita tidak tahu gaji teman yang duduk di kubikel sebelah. Ini menurut saya lho ya. Tapi mungkin Kompasiana memiliki pertimbangan lain. Kompasiana ingin memastikan bahwa saya benar-benar ada sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagai pemilik platform dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Saya menghargai aturan ini.

Setelah saya membaca FAQ Kompasiana, saya baru mengerti arti label artikel utama dan pilihan, centang hijau dan biru. Saya juga baru membaca metode pemberian poin dan status akun apakah debutan, junior, taruna, dan lain-lain. Telat banget ya saya. Padahal saat awal menulis, saya tidak peduli dengan status atikel dan percentangan ini. Sekarang jadi kepikiran. 

Untuk centang biru, ditulis bahwa akun konsisten menulis dengan tema yang sama, setidaknya 60% dari seluruh konten yang ditayangkan. Selain itu, akun telah memproduksi minimal 40% konten berlabel pilihan dan 20% berlabel artikel utama dari seluruh artikel yang ditulis. Sementara saya menulis seenak udelnya, perkara nanti masuk kategori mana, ya lihat nanti cocoknya masuk ke mana. Ha ha ha. Jadi bagaimana menjamin tulisan saya bisa konsisten dengan tema yang sama? Mbuh. Gak ngerti aku tuh.

Selain itu juga, saya menulis dengan gaya yang seenaknya saja, free style. Tidak mengikuti teknik-teknik tertentu. Apa yang ada di hati, dituliskan saja, mengalir sesukanya. Meskipun demikian, saya tetap belajar mengembangkan gaya menulis saya dengan mengamati gaya penulisan kompasianer lain. Mana yang cocok dengan saya, saya pelajari. 

Bagi saya menulis di Kompasiana adalah cara saya membebaskan diri, menemukan signature saya. Saya sengaja meninggalkan latar belakang engineering saya yang harus menulis sesuai metodologi ataupun penulisan laporan di kantor yang sudah ada templatnya, terutama saat menulis puisi dan cerpen. Jadi saya tidak tahu apakah tulisan saya sudah memenuhi kriteria penulisan yang baik atau tidak.

Menonton podcast Simon Sinek membawa saya pulang ke diri saya sendiri. Sebenarnya apa sih yang saya cari dari Kompasiana ini? Apakah label artikel dan status centang? Atau tingkatan akun junior, senior dan sebagainya? Apakah untuk mendapat pengakuan dan pujian dari orang lain? Simon Sinek bilang, finding your why

Dan saya memutuskan kembali ke alasan awal saya menulis di Kompasiana, hanya untuk menulis apa yang ada di dalam hati dan di kepala. Entah nanti artikel saya dibaca seuprit orang, puluhan orang, ratusan orang atau bahkan ribuan orang (yang ini khayalan ding), itu bukan urusan saya. 

Perkara orang lain punya motif yang berbeda dari saya, itu juga bukan urusan saya. Toh tiap-tiap orang punya gaya dan preferensinya masing-masing. Yang paling penting buat saya adalah apakah yang saya tulis itu bermanfaat bagi pembaca, atau setidak-tidaknya bagi diri saya sendiri.

Sekian pengakuan saya yang terjebak kompetisi dalam bayangan. Bagi kompasianer yang sering berkunjung ke artikel saya, saya ucapkan terima kasih atas dukungannya. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun