Idulfitri adalah hari yang ditunggu-tunggu umat Islam setelah sebulan lamanya berpuasa. Hari kemenangan sekaligus hari bahagia berkumpul bersama keluarga untuk bersilatuhrami.
Berkumpul bersama keluarga ini susah dilakukan di hari-hari lain, entah karena kesibukan ataupun tempat tinggal yang berjauhan. Orang-orang rela bedesak-desakan, bermacet-macetan, demi bisa pulang ke rumah atau kampung halaman.
Sayangnya tidak semua orang menikmati momen berkumpul bersama keluarga. Sebenarnya hati benar-benar sudah rindu bertemu dengan sanak keluarga.
Tapi untuk bercengkarama juga menjadi momen yang menakutkan. Tidak jarang malah jadi mengotori hati yang sudah kembali fitrah setelah berpuasa. Apa masalahnya? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena ke-KEPO-an yang kebablasan, yang menyebabkan orang-orang yang menjadi objek merasa tidak nyaman.
Untuk para jomlo, momok terbesar saat berkumpul bersama dengan keluarga adalah pertanyaan, “kapan kawin?”. “Emangnya kawin gampang?”. Yang mau bayar biaya resepsi siapa? Yang mau bayar beli rumah setelah nikah siapa? Yang mau kasih makan anak istri, siapa? Emang situ mau bayarin?”, kata si jomlo dengan dongkol dalam hati. Jangan sampai cinta yang semula benar-benar cinta menjadi “CINTA = cicilan tiada akhir” setelah menikah. Kan berabe.
Yang menyakitkan lagi, kalau persoalan kapan kawin ini dibahas di depan semua orang. Ada tante yang memberi saran tanpa diminta. “Apalagi sih yang dicari. Kerja udah mapan. Umur uda waktunya. Jangan pilih-pilih tebu, nanti malah keburu jadi bujang lapuk.”. Om yang lain juga ikut menimpali, “karepe milih sing apik, jebul oleh sing ala marga kakehan pilihan”. Komentar untuk jomlo perempuan lebih nyelekit lagi. “Kamu uda umur segini. Laki-laki gak ada yang mau lho sama perawan tua. Maunya sama yang muda. Makin tua juga nanti kamu susah punya anak. Ingat, perempuan ada jam waktunya”. Tante yang lain juga ikut berkomentar, ”Makanya kamu itu dandan dong. Jangan dekil kayak gitu. Rajin perawatan, luluran, pakai krim pemutih”. Atau komentar lain “Diet gih kamu. Gembrot begitu siapa yang mau”.
Ada lagi bude yang ikut membuat panas suasana. “Bude punya kenalan lho, si ibu Dewi. Anak gadisnya cantik lho. Nanti bude kenalan sama kamu.”. Sepupu yang seumuran juga gak mau kalah. “Teman kantorku ada tuh yang masih jomblo. Main ke tempatku yuk, nanti aku kenalin”. Tiba-tiba semua orang berganti profesi menjadi biro jodoh. Akhirnya rasa rindu untuk bertemu dengan keluarga besar pun berubah jadi kekesalan. “Tahu gitu, mending gak usah pulang kampung”. Kalau dijawab, “Jodoh kan di tangan Tuhan, Om Tante”. Malah dibalas, “Iya, memang jodoh di tangan Tuhan. Tapi manusia juga harus berusaha”. Daripada meladeni pembicaraan yang gak akan selesai-selesai, akhirnya si jomlo berdiam diri. Padahal, siapa tahu si jomlo memang belum niat menikah karena ingin meniti karir. Atau merasa belum mapan secara ekonomi. Atau bisa jadi merasa belum benar-benar move-on dari mantan. Daripada memaksa diri malah menyakiti diri dan orang lain, mending jomlo dulu.
Giliran yang sudah menikah kena minyak panas KEPO. “Kamu uda isi belum? Coba makan ini nih”, kata seorang tante. Tante yang lain ikut berkomentar ”Coba rajin minum ini nih”. Bude yang satu lagi gak mau kalah “Coba kamu pijat ke mak Engkom. Si Ani berhasil lho hamil setelah pijat sama mak Engkom. Anaknya malah 2 lagi sekarang”. Dan biasanya, lagi-lagi perempuan yang jadi tertuduh penyebab tidak adanya kehadiran anak dalam pernikahan. Padahal bisa jadi keduanya sudah berusaha ke sana kemari demi mendapatkan keturunan. Kalau si istri sudah pernah hamil dan mengalami keguguran, pertanyaan kapan hamil ini lebih menyayat hati. Luka yang belum sembuh, kini berdarah kembali. Padahal sudah berusaha keras ikhlas menerima, eh malah diungkit-ungkit lagi. Momen melepas kerinduan bersama keluarga menjadi momen meneteskan air mata.
Bagi pasangan yang sudah punya anak, pertanyaan yang akrab didengar dari anggota keluarga lainnya adalah “Ngak nambah anak lagi biar si mas punya teman?. Padahal punya anak 1 saja, rasanya sudah berat. CINTA = cicilan tiada akhir, menjadi teman akrab kebanyakan pasangan menikah. Eh, dilalah disuruh nambah anak. “Apa orang-orang pada gak mikir opo yo. Bayar biaya masuk sekolah anak sekarang mahalnya sama dengan 2-3 bulan gaji. Asal nyuruh nambah anak aja”, kesal di istri kepada suami saat mereka beranjak tidur. Belum lagi kerepotan mengasuh anak karena keduanya bekerja. Mencari orang yang bisa telaten menjaga anak bukan perkara mudah. Gonta-ganti pengasuh ataupun yang membantu melakukan pekerjaan rumah tangga sudah menjadi drama yang lumrah dihadapi para pasangan.
Istri yang bekerja sebagai karyawan juga tak luput dari ke-KEPO-an ini. “Jeng, si Budi kan masih kecil. Apa gak kasihan ditinggal kerja gitu”. Padahal si istri sudah berusaha keras mengatasi kegalauannya saat berangkat pagi-pagi ke kantor dan meninggalkan anak di rumah. Saat di kantor, ada perasaan cemas apakah anak baik-baik saja. Apa sudah makan atau belum. Si istri merasa dihakimi tidak sayang anak, lebih mementingkan karir. Padahal dia bekerja toh demi untuk kesejahteraan dan masa depan si kecil.
Kalau anggota keluarga yang sudah berumur dan kebetulan anaknya tidak bisa ikut pulang kampung, penderitaannya beda lagi. “Mas, kok anakmu pada belum menikah. Apa kamu gak kepingin nimang cucu?”. Padahal baru saja kejadian sebelum puasa bertengkar dengan anak tertua karena merasa didesak untuk segera menikah. “Bapak suruh si Sri deh yang nikah. Jangan saya didesak-desak terus”. Tadinya hati sudah adem ayem pasrah kalau memang anak-anak belum ketemu jodohnya, eh sekarang malah jadi sedih. Apalagi lihat adik-adiknya sudah pada punya cucu. Jadi kepikiran untuk mendesak Budi untuk segera menikah nanti setelah pulang ke rumah.