Sebagai mahluk sosial, manusia pasti membutuhkan sesuatu dalam hidupnya. Salah satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia adalah segi ekonomi. Ekonomi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kegiatan utama dalam ekonomi meliputi produksi, distribusi dan konsumsi.
  Hukum Islam mengajar tentang konsumsi, yang mana akan menjadi pelajaran bagi kita semua dalam praktek konsumsi di kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak hanya berbicara tentang makanan apa saja yang diperbolehkan(halal) dan terlarang(haram) tetapi lebih dibicarakan tentang etika dan moralitas dalam berkonsumsi yang baik sesuai syariat Islam.
A. Etika Konsumsi dalam Islam
   Menurut Islam anugrah-anugrah Allah itu milik semua manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu tetapi bukan berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri, sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak di antara anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya.
   Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang diciptakan Allah untuk manusia adalah ketaatan kepadanya (Yang berfirman kepada nenek moyang manusia)yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an:"...dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya sesuai dengan kehendakmu..." dan yang menyuruh semua umat manusia:"Wahai manusia makanlah apa yang ada di bumi dengan cara yang sah dan baik" karena itu orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintahnya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang diciptakan Allah untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) dilarang dalam Islam selama keduanya bersifat merusak atau tidak baik.
   Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartanya untuk kepentingan diri, keluarga dan fi sabilillah. Disisi lain Islam mengaharamkan sikap boros dan menghamburkan harta sebagaiman dalam Islam disebutkan dengan istilah Israf dan tabzir. Israf berarti pemborosan atau penggunaan harta secara berlebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum seperti berlebihan dalam makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Sedangkan Tabzir berarti menghambur-hamburkan  atau mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni untuk menuju tujuan yang terlarang seperti penyuapan. Inilah bentuk kesimbangan yang diperintahkan dalam Al-Qur'an yang mncerminkan sikap keadilan dalam konsumsi. Seperti yang disyaratkan dalam QS. Al-Isra'(17) : 29.
   Dalam ekonomi Islam, kepuasan kebutuhan dikenal dengan pengertian terpenuhi kebutuhan baik bersifat fisik maupun spiritual. Islam sangat mementingkan keseimbangan kebutuhan fisik dan non fisik yang didasarkan atas nilai-nilai syariah. Seorang Muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus memperimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi adalah halal. Oleh karena itu kepuasan seorang Muslim tidak didasarkan oleh banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi tetapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang dikonsumsinya. Jika mengkonsumsi sesuatau mendatangkan kemafsadatan pada diri atau lingkungan, maka tindakan itu harus ditinggalkan sesuai dengan kaidah : "Menolak segala bentuk lebih diutamakan daripada menarik manfaat".
   Jika dilihat kandungan maslahah dari suatu barang/jasa yang terdiri dari manfaat dan berkah maka disini tampak bahwa manfaat kepuasan adalah identik. Sebagai contoh dua orang, Fulan dan Wulan yang dalam keadaan yang sama lapar dan kesukaannya pun sama-sama dengan daging sapi. Fulan tidak mempermasalahkan kehalalan daging sapi sehingga ia mengonsumsi daging sapi dengan cara yang tidak halal, sementar Wulan adalah orang yang mematuhi perintah Allah yaitu dengan makan daging sapi yang halal(disebelih dengan cara sesuai syariat).Â
   Disini dilihat bahwa maslahah yang diterima Wulan  lebih besar dai pada yang diterima Fulan. Hal ini mengingat bahwa maslahah tidak saja berisi manfaat dari barang yang dikonsumsi saja namun juga terdiri dari berkah yang terkandung dalam barang tersebut.
   Jadi perilaku seorang Muslim dalam mengonsumsi sesuatu yang kemungkinan mengandung mudarat atau maslahat maka menghindari kemudaratan harus lebih diutamakan, karena akibat dari kemudaratan yang ditimbulkan mempunyai ekses yang lebih besar daripada mengambil sedikit manfaat. Maslahah dalam ekonomi Islam diterapkan sesuai dengan prinsip rasionalitas Muslim, bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Imam asy-syatibi mengatakan bahwa kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila 5 unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu : Agama(ad-din), Jiwa(an-nafs), Akal(al-aql) Keturunan(an-nasl) dan Harta (al-mal).Â
   Semua pemenuhan kebutuhan barang dan jasa adalah untuk mendukung terpeliharanya kelima unsur pokok tersebut. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia, tetapi juga kesejahteraan di akhirat. Mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal  juga merupakan prinsip konsumsi yang diajarkan Rasulullah, seperti makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Karena tambahan nilai guna yang akan diperoleh akan semakin menurun apabila seseorang terus mengonsumsinya. Pada akhirnya, tambahan nilai guna akan menjadi negatif apabila konsumsi terhadap barang tersebut terus ditambah.
   Dalam islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas/kepuasan, melainkan kemaslahatan. Pencapaian maslahah tersebut merupakan tujuan dari maqasyid al syari'ah. Konsep utilitas sangat subjektif karena bertolak belakang pada pemenuhan kepuasan atau wants, dan konsep maslahah relatif lebih objektif karena bertolakbelakang pada kebutuhan atau needs. Maslahah dipenuhi berdasarkan pertimbangan rasional normati dan posistif, maka ada kriteria yang objektif tentang suatu barang ekonomi yang memiliki mashlahah ataupun tidak.
               ........
Referensi :
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur'an. Bandung: Mizan Ikapi
Kahf, Monzer. 1979. Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Rozalinda. 2015. Ekonomi Islam. Depok: Rajagrafindo Persada
Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi islam. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada
Kadir, Riyadi. 2014. Prinsip dasar ekonomi islam. Jakarta: Kencana Prenamedia Group
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H