Heflin Laurensia Datubara (230904043) dan Theodora Stephanie Laowo (230904021)
Dalam lanskap demokrasi global, Indonesia berdiri sebagai contoh sebuah negara kepulauan yang berhasil mempertahankan kesatuan di tengah keberagaman, sembari terus berupaya menyempurnakan praktek demokrasinya. Kendati demikian, faktanya, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini, masih menghadapi problematika yang mencerminkan kompleksitas transisi dari rezim otoriter menuju sistem yang lebih terbuka dan partisipatif, yakni proses Pemilu.Â
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia merupakan salah satu mekanisme utama dalam praktik demokrasi yang bertujuan untuk menentukan pemimpin dan perwakilan rakyat melalui proses partisipasi publik. Sekitar 10 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia menggelar pemilihan umum perdana pada 29 September 1955. Pemilu 1955 sendiri dilakukan dalam dua tahap, yakni memilih anggota DPR yang dilaksanakan pada 29 September 1955 dan memilih anggota Konstituante pada 15 Desember 1955. Sementara Pilpres (Pemilihan Presiden) pertama kali diselenggarakan setelah memasuki era reformasi yaitu pada tahun 2004. Namun, meski telah lama mengasuh sistem ini, praktik pemilu di Indonesia masih menunjukkan ciri-ciri yang dapat dikategorikan sebagai "tertinggal" jika dibandingkan dengan negara-negara demokrasi mapan. Proses pemilu di Indonesia hingga saat ini dihadapkan pada sejumlah masalah, seperti proses yang memakan waktu lama, biaya operasional yang tinggi, potensi kecurangan, dan kesalahan manusia dalam penghitungan suara.
Selain itu, sistem pemungutan suara konvensional yang masih mengandalkan kertas menjadi salah satu indikator nyata dari ketertinggalan ini. Ditambah lagi pemilu konvensional akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama karena penggunaan besar-besaran kertas suara, tinta, dan material kampanye lainnya, yang berkontribusi pada peningkatan limbah. Di era digital yang semakin maju, ketergantungan pada metode manual akan menimbulkan inefisiensi, sekaligus membuka celah bagi berbagai bentuk kecurangan dan manipulasi. Kasus-kasus penggelembungan suara, pemilih ganda, dan sengketa hasil penghitungan yang berlarut-larut menjadi narasi yang terlalu sering mewarnai pesta demokrasi di negeri ini. Lebih dari sekadar masalah teknis, fenomena ini mencerminkan dinamika komunikasi politik yang kompleks. Ketidakpercayaan publik terhadap integritas proses pemilu, yang sebagian bersumber dari keterbatasan sistem yang ada, berpotensi mengikis legitimasi pemerintahan terpilih dan pada akhirnya dapat mengancam stabilitas demokrasi itu sendiri.Â
Di era digital yang terus berkembang pesat, teknologi telah merambah ke berbagai sendi kehidupan kita, tak terkecuali dalam ranah politik dan demokrasi. Kondisi ini menyoroti adanya kebutuhan mendesak untuk inovasi dan modernisasi dalam sistem pemilu di Indonesia guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pemilihan, sekaligus mengurangi dampak lingkungan. Salah satu inovasi yang menjanjikan adalah penerapan teknologi sidik jari sebagai alat verifikasi pemilih dan pencatatan suara. Teknologi sidik jari menawarkan berbagai keunggulan, seperti pengurangan waktu yang dibutuhkan untuk proses verifikasi, peningkatan keakuratan hasil, penghematan biaya operasional, dan pengurangan limbah. Selain itu, penggunaan sidik jari juga memiliki potensi untuk meningkatkan inklusi pemilih, termasuk mereka yang buta huruf, karena sidik jari adalah identitas unik yang dimiliki oleh setiap individu dan hanya ada satu-satunya sebagai anugerah Yang Maha Esa.Â
Jika diamati, penerapan teknologi ini berpotensi mengubah secara signifikan pola komunikasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam proses demokrasi di Indonesia. Pertama-tama, hubungan antara pemilih dan penyelenggara pemilu dapat menjadi lebih harmonis. Dengan sistem verifikasi yang lebih akurat dan transparan, kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilu dapat meningkat secara substansial. Pemilih akan merasa lebih yakin bahwa suara mereka benar-benar dihitung dan tidak disalahgunakan. Hal ini dapat mendorong komunikasi yang lebih terbuka dan konstruktif, menggantikan sikap skeptis yang sering kali menghunus pedang dalam hubungan antara pemilih dan penyelenggara pemilu.
Lebih dari itu, efisiensi yang ditawarkan oleh teknologi sidik jari dapat mengurangi secara drastis waktu yang dihabiskan untuk urusan administratif pada hari pemungutan suara. Kita bisa membayangkan bagaimana energi tersebut bisa dialihkan yang dahulu sibuk mengurus antrian panjang dan verifikasi manual, menjadi bentuk dialog substantif tentang isu-isu penting dalam pemilu. Ini bukan hanya tentang kenyamanan kita bersama, tetapi juga berbicara bagaimana menciptakan ruang yang lebih luas untuk diskusi politik yang bermakna. Pergeseran ini pun akan berdampak pada cara kandidat dan partai politik berkomunikasi dengan pemilih. Dengan sistem pemilu yang lebih efisien dan dapat diandalkan, mereka dapat mengalihkan fokus kampanye dari masalah teknis pemilihan ke substansi kebijakan dan visi mereka. Kita mungkin akan menyaksikan debat publik yang lebih berkualitas, di mana ide dan solusi menjadi fokus utama, bukan retorika kosong atau janji-janji populis.
Teknologi sidik jari pun ikut serta membuka peluang untuk komunikasi yang lebih personal dan tepat sasaran. Dengan data yang lebih akurat tentang partisipasi pemilih, kandidat dan partai dapat merancang strategi komunikasi yang lebih efektif untuk menjangkau kelompok-kelompok pemilih tertentu, terutama mereka yang selama ini mungkin terpinggirkan dalam proses politik. Ini bisa menjadi langkah signifikan menuju demokrasi yang lebih inklusif.
Berbicara tentang inklusivitas, salah satu aspek paling menjanjikan dari teknologi sidik jari dalam pemilu adalah potensinya untuk meningkatkan partisipasi politik kelompok-kelompok yang selama ini mengalami hambatan. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, angka buta aksara di Indonesia usia 15 s.d. 59 tahun sekitar 2.666.859 orang. Bagi jutaan warga Indonesia yang buta huruf atau memiliki tingkat literasi rendah, proses pemungutan suara konvensional sering kali menjadi pengalaman yang mengintimidasi dan membingungkan. Oleh karena itu, teknologi sidik jari hadir menawarkan solusi yang elegan untuk masalah ini. Dengan menggantikan tanda tangan atau cap jempol dengan pemindaian sidik jari, proses identifikasi dan verifikasi pemilih menjadi jauh lebih sederhana dan akurat.
Tidak hanya itu, teknologi ini juga membuka peluang baru untuk meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik yang mungkin kesulitan untuk menandatangani surat suara atau menusuk paku ke kertas, pemindaian sidik jari bisa menjadi alternatif yang jauh lebih mudah dan nyaman. Bukan suatu hal aneh lagi jika nanti seorang pemilih tunanetra yang dapat memverifikasi identitasnya dan memberikan suara secara mandiri, tanpa harus bergantung pada bantuan orang lain. Sekali lagi, ini bukan hanya tentang memudahkan proses pemungutan suara, tetapi tentang mengembalikan martabat dan kemandirian dalam partisipasi politik.
Indonesia, dengan geografinya yang terdiri dari ribuan pulau, menghadapi tantangan dalam penyelenggaraan pemilu. Di sinilah teknologi sidik jari, terutama jika diintegrasikan dengan solusi mobile, dapat memainkan peran krusial dalam menjangkau pemilih di daerah terpencil. Dengan perangkat pemindai sidik jari portabel yang terhubung ke database pusat melalui jaringan seluler, petugas pemilu dapat dengan mudah memverifikasi identitas pemilih bahkan di lokasi yang paling terpencil. Kita berharap dengan gaya modern ini kita mampu meningkatkan efisiensi proses pemungutan suara dan mengurangi risiko kecurangan dan duplikasi suara yang sering menjadi masalah di daerah-daerah yang sulit dijangkau.
Namun, seperti halnya dengan setiap inovasi besar, penerapan teknologi sidik jari dalam pemilu juga menghadapi sejumlah tantangan yang besar pula. Keamanan data dan privasi menjadi salah satu kekhawatiran utama. Kebocoran atau penyalahgunaan data biometrik pemilih dapat memiliki konsekuensi serius. Oleh karena itu, diperlukan sistem keamanan berlapis yang mampu melindungi data dari akses tidak sah, sekaligus mampu memastikan bahwa data tersebut hanya digunakan untuk tujuan pemilu.
Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Untuk memastikan penerapan teknologi sidik jari yang merata, diperlukan investasi besar dalam infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di seluruh negeri. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi juga bukan yang mustahil. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal, dan kita sebagai rakyatnya, kita dapat membangun fondasi teknologi yang diperlukan untuk pemilu yang lebih modern dan inklusif.
Terakhir, kita tidak boleh mengabaikan faktor resistensi terhadap perubahan. Setiap inovasi baru pasti akan menghadapi skeptisisme dan keengganan, baik dari pemilih yang terbiasa dengan sistem lama, petugas pemilu yang khawatir akan kompleksitas teknologi baru, maupun politisi yang mungkin melihat perubahan ini sebagai ancaman terhadap basis dukungan mereka. Mengatasi resistensi ini membutuhkan lebih dari sekadar sosialisasi teknis. Diperlukan narasi yang kuat tentang bagaimana teknologi ini dapat memperkuat demokrasi kita, membuat suara setiap warga negara lebih berarti, dan membuka pintu partisipasi bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.
Pada akhirnya, revolusi diam-diam yang dibawa oleh teknologi sidik jari ini berpotensi bukan hanya untuk mengubah cara kita memilih, tetapi juga cara kita berpartisipasi dalam demokrasi secara keseluruhan. Kita berharap Indonesia bisa kembali bersih dari noda-noda pemilu yang kelam. Oleh karena itu, sebagai pemilik hati dan jari, mari kita bawa demokrasi ke jalan terbaik untuk negeri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H