Mohon tunggu...
Hedy Lim
Hedy Lim Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang pembelajar yang pernah mengajar untuk tambahan, lalu mengajar sebagai profesi dan mengajar sebagai panggilan. Apapun alasannya, selalu suka mengajar, dan sekarang (setidaknya menurut PLPG) adalah seorang guru profesional :p

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Melihat Kembali Fenomena Bimbel Era Kiwari

3 November 2018   11:45 Diperbarui: 3 November 2018   18:37 1634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesuai arti kata "bimbingan" dari Bimbingan Belajar alias Bimbel tadi, maka sudah semestinya lembaga ini bertugas membimbing siswa untuk lebih memahami dan mengerti pelajaran yang didapat dari sekolah.

Namun kadang saya melihat begini, beberapa Bimbel mendahului sekolah, dalam arti, siswa di Bimbel bisa merasa ikutan jenuh dan lelah karena mendapat banyak tugas (PR) dari Bimbelnya untuk diselesaikan lagi di rumah. Lalu PR Bimbel minta bantuan lagi kemana? Bimbel kuadrat? Nah kan bingung.

Seyogyanya, ikut Bimbel, dapat membantu siswa mengatasi masalah cara belajarnya atau kesulitan mencerna topik tertentu. Bukan dijejali lagi oleh berbagai soal yang hanya bersifat "untuk diselesaikan". 

Prinsipnya hanya dijejali lalu tumpah keluar lagi semua, atau dijejali untuk paling tidak ada yang masuk tercerna. Anda ingin yang mana? Saya sih tidak dua-duanya mengingat yang pertama, benar-benar untuk apa? 

Tidak ada gunanya kalau hanya dimuntahkan lagi. Sementara yang kedua, terkesan kuat-kuatan saja dengan anak, yang kuat sekali makanya ada yang tercerna, yang tidak kuat akan makin stress dan frustasi.

Ada seorang anak (yang masuk kategori bernilai akademik baik) pernah mengeluarkan uneg-uneg seperti ini kepada saya. Demi untuk bertanya hal-hal yang kurang dimengerti dan membantunya dalam belajar agar supaya tidak ketinggalan di sekolah, maka bergabunglah anak ini dengan sebuah Bimbel yang berlokasi tidak jauh dari sekolahnya. Dan tentu saja kebanyakan siswa adalah siswa dari sekolah yang sama. 

Setelah tiga kali pertemuan, anak ini merasa gagal dan tidak mampu melanjutkan. Mengapa? Ternyata alasannya adalah, saat belajar di Bimbel tersebut, sang Guru mengajarkan dengan sangat cepat, memberikan soal-soal yang banyak sekali, tanpa memberikan kesempatan anak ini bertanya yang kurang dipahami. Jadi anak ini merasa tidak ada manfaatnya, untuk apa adu cepat dan banyak tapi belum terlalu mengerti. Cukup di sekolah saja begitu, jangan di Bimbel, pikirnya. Dan dia memilih mundur.

Bimbel seperti contoh di atas, masuk ke dalam kategori Bimbel yang (tak tertulis) hanya ingin menerima anak siap pakai atau sudah jadi, maksudnya anak tersebut memang sudah pintar secara akademik, tidak membutuhkan pertolongan apapun sebenarnya, tapi anak-anak ini saja yang berinisiatif sendiri ingin mendapatkan yang lebih banyak dari sekolah.

Jadi di sini, peran Bimbel pun sudah mirip seperti sekolah yang mengejar prestasi berdasarkan ranking sekolah. Suatu ketika saya pernah mendengar saat pertemuan sekolah, pernyataan turunnya peringkat sekolah karena hasil UN menurun. Kesan yang saya tangkap adalah jadi seperti salah siswa yang kurang gigih belajar. Ini kan jadi salah kaprah ya? 

Nah bagaimana jadinya kalau hal itu terjadi juga di Bimbel yang seyogyanya untuk mendukung anak dari hal yang kurang didapat di sekolah, malah memberikan kesan ada peringkat Bimbel per kecamatan / kotamadya misalnya. Kan jadi repot :-)

Bagi para orangtua, bantulah anaknya menemukan Bimbel yang tepat, mencari yang benar-benar berfungsi untuk membimbing bukan sekedar menjejal. Sebagai contoh, orang tua tahu cara menyikapi bagaimana jika Bimbel memberikan "worksheet" khusus dengan label sekolah A, sekolah B, sekolah C, dan seterusnya, mungkin bisa dipertimbangkan kira-kira begini "Bimbel ini bermaksud membimbing atau lebih kepada promo eksklusif bahwa mereka menguasai bahan pelajaran dari sekolah-sekolah tersebut?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun